Prolog

964 75 39
                                    

Jika hidupku bergenre romance, sudah pasti aku akan menjadi pemeran pembantu di hidup sendiri.

Atau pemain belakang panggung yang namanya sering muncul di credit title kisah orang lain.



Ibarat matahari selalu mengelilingi bumi, aku tidak pernah menjadi bumi itu.


Satu-satunya moment aku bisa merasakan jadi pemeran utama dalam genre ini adalah ketika membaca buku. Masuk ke dunia baru di mana seorang Iriela Dharsono bisa menjadi siapa saja. Bertemu pria tampan dan mapan. Kemudian saling jatuh cinta dengan mudahnya. Yang aku tahu tidak mungkin akan kualami karena hidup tidak berjalan semudah itu.

Anyway, aku punya rahasia.

Pria tampan di semua buku yang kubaca selama ini sebenarnya hanya punya satu wajah. Wajah yang sudah kulihat perkembangannya sejak umur 10 tahun. Wajah yang hanya bisa kukagumi dari jauh karena ia tak pernah bisa digapai. Wajah yang saat ini hanya bisa ku-like di Instagramnya saja—itupun bukan pake akun utama.

Hanya di dalam buku romance, Iriela bisa menjadi pemeran utama dan hidup bahagia bersama Bhagaskara.

"La, pencetin bell-nya dong. Mau pesen!" Wanita berhijab di depanku membolak-balik buku menu dengan semangat. Hhhh... lagi-lagi kepalaku membuat skenarionya sendiri. Padahal lagi di tempat ramai.

"Udah daritadiiii. Nah itu mbak waitress-nya ke sini. Lo gak pengen pesen wakame salad lagi, Na?"

Inaranti terkekeh sembari menutup buku menunya.

"As expected Iriela 'Gercep' Dharsono. Inget aja gue doyan salad di sini. Andai Wiras seperhatian lo."

"Apa sih, Na," aku tidak bisa menahan tawa saat Ina membandingkanku dengan pacarnya yang supersibuk itu. "Mbak, saya pesan dynamite roll, chuka iidako, ocha dingin 1, ocha panas 1, sama wakame salad. Dressingnya yang goma. Oh, minta tanuki sama mentai ya, Mbak."

Setelah mbak waitress pergi, Ina kembali bertanya. "Tumben lu minum ocha panas?"

"Enggak. Ocha panas buat lo."

"Dih. Kok gue?!"

"Suara lo udah serak begitu masih mau minum es? Gak boleh ya!"

"Lu persis nyokap gue. Kalo gak enak badan atau sakit pasti yang disalahin es. Lu juga dari kuliah sampe punya duit sendiri kenapa pesennya itu mulu sih? Gak pengen coba yang lain?"

"Lo tau sendiri kalo gue udah suka sama satu menu yaudah itu itu aja. Setia gue mah."

"Itu bukan setia, Lala. Tapi kurang eksplor. Please, bedain!"

Oke, kali ini Ina berhasil menyerang balik.

"Paham banget gue, La. Dalam kasus lo, setia sama bego itu beda tipis. Sekalinya naksir sama satu cowok yaudah ituuuu aja. Udah ditolak juga masih aja follow IG-nya pake second account."

"Enak aja!" Dengan cepat aku membela diri. "Dia gak nolak gue ya, Na. Dan gue juga gak pernah minta dia jadi pacar gue."

"Trus pas kita wisuda waktu itu? Itungannya apa?"

Aku tersenyum tenang. Tidak kelihatan getir sedikitpun membalas Ina kali ini. Jam terbangku dalam berpura-pura sedang baik-baik saja sudah tinggi. Cukup tinggi untuk berhasil membohongi sahabat sendiri.

"Gue cuma ngasi tahu orang itu kalo gue suka dia dari lama. Probably juga dia gak inget gue siapa walaupun pas SD kita selalu sekelas. Presentase gue bakal ketemu dia lagi di kemudian hari juga kecil karena gue tahu dia bakal lanjut sekolah di Jepang. Jadi gue nothing to lose."

Test DriveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang