bagian 4; Ajeng

76 17 4
                                    


🖌️🖌️🖌️



Pagi-paginya di sekolah, semua berjalan seperti biasanya. Padahal kalau boleh jujur, setelah kejadian malam itu, Ajeng jadi canggung sendiri dengan Junior. Tapi ntah kenapa anak laki-laki itu nampak biasa saja, seolah ucapannya yang malam itu tidak pernah dia keluarkan dari mulutnya sama sekali.

Sesekali Ajeng melirik kearah barisan pojok dekat pintu kelas. Dimana disitu tempatnya Junior duduk. Bahkan setelah kejadian itu, Ajeng jadi sulit fokus untuk belajar dan mendengarkan guru jika sedang menjelaskan. Anak perempuan dengan rambut yang dikuncir seperti ekor kuda itu menggeleng keras. Kemudian memijat keningnya pelan.

Qila yang melihat teman sebangkunya menunjukkan keanehan itu lantas mendekatkan mulutnya tepat di telinga Ajeng. Gadis itu berbisik menanyakan ada apa dengan Ajeng, namun hanya dibalas dengan gelengan pelan.
Ajeng meletakkan penanya pelan. Kemudian beranjak pergi meninggalkan bangkunya, meminta izin kepada guru mata pelajaran untuk pergi ke toilet.

"Loh Ajeng?"

Ajeng yang mendengar suara itu langsung menoleh, matanya bertemu tepat dengan mata cokelat terang milik Junior. Anak laki-laki itu tersenyum menampakkan gigi rapihnya disana. Ajeng kaku, gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali.

"Mau ke toilet?"
Ajeng hanya mengangguk malu. Biasanya ia tak seperti ini, Ajeng heran dengan dirinya sendiri. Biasanya kalau ditanya hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi Ajeng akan marah. Tapi kenapa rasanya malu jika bertemu Junior. Padahal Junior sendiri sepertinya biasa saja.
"Yaudah, gue duluan ya?"

Baru Ajeng hendak melangkah masuk kedalam toilet. Junior langsung berbalik, memanggil namanya lagi. Anak laki-laki itu langsung berjalan dengan santai kehadapannya. Ajeng bisa merasakan tubuh tinggi itu kini sudah sejajar dengan tubuhnya. "Nanti kapan-kapan kalo lo sedih, lo datang aja ke tempat itu." Katanya pelan. "Ini rahasia kita berdua, nggak ada yang boleh tau." Katanya lagi.

Ajeng meneguk salivanya dengan susah payah, degup jantungnya rasanya sudah tak karuan. Kalau Junior bisa dengar, mau ditaruh dimana muka Ajeng? Anak perempuan itu buru-buru melangkah masuk ke dalam toilet membuat Junior hanya bisa menatapnya heran.

🖌️🖌️🖌️

Brakk

"Jawab Mama kamu kemarin kemana?!"
"Ajeng?! Punya mulut nggak?! Jawab!"

Ajeng hanya bisa menunduk, takut akan kemarahan sang Mama yang sudah membabi buta. Mamanya pasti sudah menerima laporan dari tempat kursusnya kalau Ajeng pergi pada jam kedua. Tidak, sebuah bukan salah Junior, tapi semua kesalahannya.

Mamanya melempar buku besar yang mengarah ke dirinya, Ajeng sudah bersiap, memejamkan mata untuk bisa merasakan hantaman itu. Tapi rasanya, tidak ada yang menghampirinya. Buru-buru ia membuka mata, matanya terbelalak kala seorang laki-laki berumur 20 tahun itu telah melindunginya dari lemparan sang Mama.

"Ma.. udah dong, kasihan Ajeng."
"Kamu tuh nggak ngerti Bayu, adik kamu ini sudah berani bohong ke Mama!"
"Ma.." Bayu berusaha menjadi penengah disini, anak laki-laki itu lantas berdiri sambil mengambil buku besar milik adiknya itu, diletakkannya diatas meja belajar Ajeng. "Ma.. mungkin Ajeng lagi suntuk, dia harus les setelah pulang sekolah. Pasti capek, Ma."

"Kamu bela saja adik kamu terus! Makin nggak bener dia sama cowok itu!"
"Ma.. itu bukan salah dia, tapi salah Ajeng." Ajeng membuka suaranya. Ia tak tahan jika Mamanya terus-terusan menyalahkan Junior. Toh memang betul semua ini akan kelalaiannya. Harusnya Ajeng bisa mengontrol semuanya, harusnya Ajeng tau kapan ia bisa main dan belajar.

Mamanya masih emosi, dadanya naik turun seolah menahan amarah. Dengan penuh kekesalan, sang Mama melangkah keluar dari kamar Ajeng meninggalkan kedua anaknya itu.

"Mas..."
Bayu langsung memeluk adiknya. Berkata ke Ajeng kalau semuanya akan baik-baik saja. Bayu bisa merasakan kini kaus oblong birunya basah karena air mata. Adiknya itu menangis dalam pelukannya. Bayu tau betul seberapa menderita adiknya ini. "Nggak apa-apa.."
"Kenapa sih, Mas? Kenapa..." Suaranya terdengar parau. Bayu hampir saja menangis mendengar adiknya menangis.

"Aku nggak boleh ya, Mas? Aku nggak boleh main kaya anak-anak yang lain? Aku pengen bisa kenal dunia diluar sana. Mas..."
Bayu tak bisa berkata apa-apa. Anak laki-laki itu hanya bisa mengusap punggung adiknya dengan lembut, memberikan kehangatan disana. Sesekali mengatakan kalau semua baik-baik saja. "Ajeng harus nurut kata Mama, biar nggak kaya, Mas. Hidup terlalu bebas."

"Mas nggak gitu. Mas itu hebat. Mama aja selalu egois, mementingkan keinginannya sendiri padahal kita nggak mau."
"Hush... Nggak boleh ngomong gitu."
"Emang kenyataannya gitu. Harusnya aku bisa kaya Mas, bisa nolak permintaan Mama dan hidup sesuai harapan aku sendiri."
"Ajeng.."
"Mas.." Ajeng menarik napasnya dalam. "Mas hebat bisa masuk fakultas arsitektur sesuai impian, mas sendiri. Sementara aku? Hidup dalam kendali Mama, kapan aku bisa wujudin mimpi aku?"

Bayu menjauhkan tubuh adiknya, mengubah posisinya menjadi saling berhadapan. Matanya menatap lekat mata adiknya. "Nggak bisa, Ajeng nggak boleh kaya Mas. Kamu.. harus tetap dengerin Mama apapun yang terjadi."

Ajeng semakin menjadi. "Mas.. tapi sekali aja Mas. Aku mau ngejalanin hidup aku sendiri. Aku mau masuk fashion design bukan jadi dokter!"

"Dengarkan Mama dulu, nanti pasti lambat laun Mama sadar." Bayu kembali menarik adiknya kedalam pelukannya. "Apapun yang terjadi. Mas selalu sama kamu. Selalu."

"Aku mau ketemu sama Ayah."
"Nanti, ya.. ada waktunya."


🖌️🖌️🖌️

ada playlist :

ada playlist :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

At Seventeen [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang