15. Tatapan Kesedihan

57 38 0
                                    

Jangan lupa vote^^

***

Hari ini aku pulang terlambat. Alasannya aku harus mengikuti latihan terlebih dulu. Padahal aku sudah membayangkan akan bermanja dengan guling dan kasurku. Sial!

Pak Pepen, sekalu ketua panita festival budaya sekaligus kesiswaan mengumumkan jika seluruh anak-anak yang mengikuti atau ikut serta dalan meramaikan festival budaya tidak dulu pulang. Ah, menyebalkan sekali.

Niatnya aku ingin melarikan diri saja. Namun, Kevin terlebih dulu menyeretku ke ruang kesenian. Yang berakhir aku harus mengeluarkan suaraku lagi. Terkurung di ruang kesenian selama dua jam.

Alhasil, aku harus pulang agak sore karena hal itu. Kevin tidak bisa mengantarkan ku pulang karena dia ada janji dengan Mamahnya. Dasar anak Mamah!

Aku memasuki rumah dengan tubuh yang sudah lengket karena keringat. Lelah dan panas. Itulah yang kini aku rasakan. Ingin segera menuju kamar mandi dan berendam air es guna menyegarkan tubuhku lagi.

Sebelum itu, aku duduk terlebih dulu di sofa ruang tamu. Sambil merenggangkan otot-otot tubuhku. Rambutku sudah lepek karena keringat. Menjijikan jika dibayangkan bagaimana kondisiku saat ini.

Suasana rumah yang sepi membuatku berdecak. Bang Farhan belum pulang. Aku sudah menghubunginya sebelum pulang, katanya Bang Farhan ada urusan bentar. Aku berdecak kesal mendengar alasannya.

Aku menaruh tasku di sofa, lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil air dingin. Rasanya segar saat air dingin itu mengalir di tengorokanku. Hausku seketika hilang.

Suara pintu terbuka menyadariku dari kenikmatan sesaat. Aku segera menuju pintu utama. Bang Farhan dan Ayah sudah pulang dengan mimik wajah yang sulit aku jelaskan.

Ternyata mereka berdua pulang bareng. Bukannya Bang Farhan membawa mobil sendiri? Dan, Ayah bukannya ada urusan di luar kota?

Aku melihat Bang Farhan memandang ke depan dengan tatapan kosong. Sedangkan Ayah, dia menundukan kepalanya sambil meremas tanganya.

Ada yang aneh dari kedua laki-laki yang berperan penting dalam hidupku ini. Mereka berdua datang-datang dengan ekspresi wajah yang sama. Aku bisa melihatnya.

Aku melihat Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Bang Farhan masih dengan posisi yang sama, menatap ke depan dengan pandangan kosong.

Aku berjalan menghampiri keduanya. "Kalian kenapa?" tanyaku.

Ayah mendongkak menatapku. Aku melihat mata Ayah memerah dan ada bekas air mata di pipinya. Lantas aku melotot melihat tatapan kesedihan dari mata Ayah.

Tatapan kesedihan itu hadir lagi di dalam mata Ayah. Tatapan yang Ayah keluarkan saat Ibu meninggal. Tatapan yang membuat orang-orang berpikir Ayah lemah. Dan, tatapan itu hadir kembali.

Aku melihat Bang Farhan mengusap matanya. Dapat kulihat ada air mata yang keluar sebelum dia mengusapnya. Bang Farhan menangis kembali.

Ada apa dengan kedua laki-lakiku? Kesedihan yang dulu ada lagi dikedua mata mereka. Bang Farhan kembali menangis setelah Ibu meninggal. Ayah juga sama, dia menangis kembali.

Saat aku akan menghampiri Ayah, ia sudah pergi begitu saja. Aku menatap punggung tegap Ayah dengan pandangan binggung. Lalu, mataku beralih pada Bang Farhan yang menatap dengan pandangan kosong.

"Bang—" Sebelum aku menyelesaikan ucapaku, Bang Farhan sudah pergi begitu saja tanpa menghiraukanku.

Ada apa dengan mereka? Mereka berdua seakan-akan menghindariku.

Dering ponsel menyetak lamunanku. Nama dokter Edi tertera di layar ponselku. Dahiku mengerut binggung, ada apa dokter Edi menghubungiku?

Segeraku geser tombol warna hijau. Lalu, meletakan ponsel di telingaku.

TENTANG KAU [ FEEDBACK KE CERITA TENEBRIS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang