10. Kenyataan Pahit

83 57 11
                                    

Perlahan aku membuka mataku. Hanya cat putih yang pertama kali aku lihat. Aroma obat-obatan menyengat di indra penciumanku. Aku mengerakan mataku melihat sekeliling. Ruangan serba putih itu ternyata ruang rawatku. Baiklah, aku kembali masuk rumah sakit.

Aku baru sadar, sebelum pingsan ada sosok Afgar di sampingku. Kemana lagi dia? Apa dia meninggalkanku sendirian di sini? Jika iya, tega sekali.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Ada sosok Afgar berjalan ke arahku. Bajunya sudah ganti. Mungkin saat aku tidak sadarkan diri dia pulang dulu.

"Udah mendingan?" tanya Afgar.

Aku mengangguk. "Gue mau pulang. Gue gak mau di sini!" kataku. Afgar mengeleng tidak setujuh. "Gak, kata dokter kondisi lo kembali nurun. Lo harus diopname lagi."

"Gue baik-baik aja. Ini cuman kecapean biasa doang," balasku dengan nada tajam.

"Icha," panggilnya dengan suara lembut, "jangan buat gue khawatir, tolong." Aku melihat matanya yang memancarkan kecemasan.

Apa Afgar barusan mengkhawatirkanku? Dia mencemaskan keadaanku?

"Gue gak papa. Gue mau pulang!" ucapku.

Saat Afgar akan membalas perkataanku, dokter Edi datang membawa sebuah amplop yang tidak tahu apa isinya. Aku melihat wajahnya yang nampak sedih. Ini ada apa?

"Dok, saya mau pulang. Ayah sama Bang Farhan gak tau kalau saya di sini. Ada Amel sama Raina di rumah, mereka berdua pasti mencemaskan keadaan saya," ujarku sambil memelas.

Afgar hanya diam saja. Dia tidak memberhentikan pemberontakanku. Ada yang aneh? Kenapa Afgar tiba-tiba saja diam saat dokter Edi datang? Kenapa juga dokter Edi diam saja saat datang ke ruanganku? Ada apa ini?

"Saya kenapa dok?" tanyaku. "Saya baik-baik aja, kan?"

Baik dokter Edi ataupun Afgar tidak ada yang mau menjawab pertanyaanku. Mereka berdua bungkam. Seakan-akan ada yang mereka sembunyiakan dariku.

Aku berdecak kesal. "Kok dokter diem aja sih? Saya barusan nan—" ucapanku terpotong oleh perkataan dokter Edi.

"Kamu mengidap gagal ginjal, Cha." tuturnya.

Aku mengeleng tidak percaya. Ini pasti bohong. Dokter Edi hanya sedang membuat lelucoan saja. Dia pasti sedang merencanakan sesuatu dengan Afgar. Tolonglah, ulang tahunku masih lama. Jangan memberikan kejutan sebelum ulang tahunku.

"Dokter ngomong apa sih? Saya sehat kok. Kalau mau ngeprank saya, gak gini caranya dok," balasku.

Aku mendengar dokter Edi mendengus lelah. "Saya serius, kenapa juga saya bercanda soal penyakit."

Tidak terasa air mataku jatuh tanpa diminta. Mendengar perkataan dokter Edi mengingatkan aku akan penyakit yang Ibu derita sebelum akhirnya ia meninggal dunia. Gagal ginjal kronis, penyakit yang membuat Ibu tiada.

Aku menangis tanpa suara. Dadaku terasa sesak mengetahui kenyataan pahit dalam hidupku. Tuhan memberikanku ujian lagi. Mungkin tuhan ingin aku merasakan apa yang Ibu rasakan.

Afgar memelukku dari samping. Ia seolah menguatkanku. Tangisanku tidak kunjung berhenti. Afgar menepuk-nepukan kepalaku pelan. Dia berusaha meredamkan tangisanku.

"Lo kuat, Cha. Tenang ada gue," guman Afgar.

Aku terisak mendengar perkataan Afgar. Antara bahagia atau sedih perasaanku campur aduk. Bahagia karena orang yang aku cintai ada di sampingku. Dan sedih, karena mengetahui kenyataan ini.

Dengan nada bergetar, aku berusaha membalas ucapan Afgar. "Gue butuh lo, jangan tinggalin gue."

"Gue gak bakal pernah ninggalin lo, gue janji!"

TENTANG KAU [ FEEDBACK KE CERITA TENEBRIS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang