21. Egois

25 18 0
                                    

Jangan lupa vote^^

***

Bagaimana Leo bisa segois ini. Dia bahkan tidak memikirkan perasaanku dan Afgar. Dia hanya memikirkan perasaannya. Tanpa memperdulikan perasaan siapapun.

"Cha?" panggil seseorang.

Aku menoleh ke arahnya. "Ya?"

"Kenapa?" tanya Afgar.

Sekarang ini aku tengah di kantin. Hanya seorang diri. Amel dan Raina sudah di kelas. Awalnya, Amel dan Raina ingin menemaniku, tapi ku tolak. Karena ingin sendiri dulu.

Usai pembicaraanku dengan Leo, aku memutuskan untuk tidak memberitahukan semuanya kepada Amel dan Raina. Walau pasti pada akhirnya Raina bertanya akan perubahan sikapku.

Aku mengeleng. "Gak papa," balasku.

Sejujurnya, aku ingin memberitahukan perihal keputusan Leo pada Afgar. Tapi, aku juga memikirkan hal itu terlebih dulu. Tidak mungkin aku gegabah memberitahukannya. Bisa-bisa mereka bertengkar.

Aku kembali memikirkan perkataan Leo. Apa aku juga egois jika mementingkan perasaanku sendiri? Claudia sedang sakit, ia butuh Afgar.

Aku menghela napas. "Gar?" panggilku.

Afgar menoleh. "Ya?"

"Menurut lo, apa arti merelakan?"

Afgar berekspersi seolah sedang berpikir. "Merelakan itu... sama dengan melepaskan. Kita harus iklas merelakan dia dengan yang lain, walau hati berat melakukannya. Tapi, kalau itu pilihannya, ya mau gimana lag," jawab Afgar.

Aku berusaha menahan air mataku yang akan keluar. Aku mencerna ucapan Afgar. Mampukah aku merelakan Afgar dengan Claudia? Walau bagaimana juga, Claudia lebih membutuhkan Afgar. Dan, satu-satunya cara aku harus rela melihat sikap Afgar pada Claudia.

Jujur, ini sulit. Baru saja hati bahagia mengatahui Afgar juga menyukaiku.

"Cha?" panggil Afgar. "Ada masalah?"

Aku mengeleng. "Dokter Edi bilang, gue bakal cuci darah seminggu dua kali."

Afgar menghela napas. "Gue bakal temenin lo."

"Eh, jangan. Claudia lebih membutuhkan lo. Gue udah ada Bang Farhan."

"Tapi—""

"Enggak! Claudia lebih butuh lo," putusku. "Dia butuh dukungan lo, Gar," lanjutku.

"Lo sama sekali gak nyegah gue?" Aku menaikan alisku.

"Nyegah apaan?" tanyaku.

"Harusnya lo larang gue deket sama Claudia. Itu sama aja gue udah lukain perasaan lo." Aku tau Afgar pasti sangat kesal sekarang ini.

"Gue gak bisa egois. Ada yang lebih butuh lo, Claudia membutuhkan kehadiran lo," kataku.

Afgar bangkit dari kursi, diikuti olehku. Aku tau dia pasti marah padaku. Harusnya Afgar bisa mengerti keadaan. Claudia tentu jauh lebih membutuhkannya. Walau dalam hati aku pun ingin Afgar ada di sampingku.

"Lo egois!" tekan Afgar. "Selama ini gue selalu ada buat Claudia, sekarang giliran gue ada buat lo." Aku menunduk.

Tatapan kecewa yang Afgar layangkan padaku, membuat perasaan nyeri tersendiri dalam hatiku. Aku salah. Afgar jelas kecewa dengan keputusanku.

"Gue ngerasa bersalah sama lo. Disaat lo berjuang dalam diam, gue malah terlihat acuh. Walau kenyataannya gue tau lo suka sama gue," ucap Afgar.

"Gar, lo harus ngertiin gue."

TENTANG KAU [ FEEDBACK KE CERITA TENEBRIS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang