[1]

394 48 10
                                    

"Sebenarnya mengapa wanita lebih mencintai pria berengsek? Padahal ia tahu kalau pria itu berengsek tapi masih saja mencintainya! Lalu ketika disakiti, ia akan menangis darah sambil mengetikkan kalimat-kalimat cengeng nan menyedihkan di Facebook!"

Nils mengerling sambil mengelap meja. Seruan wanita itu mengalahkan alunan musik jazz lembut yang mengalir melalui pengeras suara di sudut-sudut ruangan.

"Memang berengsek! Sungguh bajingan! Apa pria tidak tahu kalau wanita selalu mencintai sepenuh hati? Wanita rela memberikan segalanya untuk pria, tapi pria membagi-bagikan semua yang ia miliki ke wanita-wanita lain. Apa memang sudah sifat alami mereka seperti itu?"

Nils berpindah mengelap meja yang satunya. Telinganya masih tegak mendengarkan ucapan wanita itu. Yah, bagaimana tidak? Hanya ada ia, wanita itu, dan teman wanita itu di dalam ruangan tersebut. Jadi cukup sulit untuk tidak didengarkan.

Wanita itu berambut pirang, diikat dengan sekenanya sehingga beberapa helainya terjatuh menyentuh bahu dan dagunya. Bahunya yang mulus terekspos sempurna berkat off shoulder crop tee kuning mustard yang membungkus dadanya. Nils berasumsi perempuan itu pastilah cukup sering berolahraga, dibuktikan dengan otot-otot yang terpampang di perutnya. Ini jadi mengingatkannya tentang kapan terakhir kali ia berolahraga-barangkali sekitar lima bulan yang lalu.

Sementara temannya yang satu lagi, yang memakai kaos ketat krem, adalah wanita berkulit hitam yang mengingatkan Nils pada Lupita Nyong'o. Persis, dengan rambutnya yang juga dipotong cepak. Tubuhnya juga sama atletisnya dengan si rambut pirang. Barangkali mereka hobi berolahraga bersama.

"Pokoknya para pria sangatlah menyebalkan," kata si rambut pirang lagi. "Aku mungkin tidak akan menikah bila begini para pria diciptakan."

Masih ada opsi menjadi lesbian, batin Nils dalam hati. Untungnya ia tidak keceplosan mengatakannya.

Nils kemudian selesai mengelap meja-meja dan kembali ke meja bar. Jim sudah lebih dulu pulang, katanya ia harus membayar beberapa tagihan dan menelepon keluarganya. Malam telah sedari tadi merayap di kaki langit Pantai Gonzaga, hanya tinggal menunggu dua wanita tukang sambat-well, sebenarnya hanya satu yang tukang sambat, yang lainnya hanya pendengar setia-meninggalkan kafe itu.

Si wanita yang mirip Lupita Nyong'o kemudian beranjak dari kursi dan meninggalkan kafe, tepat pukul setengah sebelas malam. Nils kira si rambut pirang akan menyusul tetapi ternyata tidak. Mata birunya justru menelusur ke luar jendela, pada pasir yang membentang di seberang jalan. Ia meneguk kopi lagi, matanya masih terkunci pada pantai.

Jarum jam akhirnya tiba di angka sebelas. Nils menguap, mematikan musik jazz agar si rambut pirang dapat mengerti bahwa kafe itu mau tutup. Tetapi yang ada justru wanita itu menoleh ke arah Nils yang menguap lagi dan bertanya, "Mengapa kau mematikan musiknya?"

"Kafe ini tidak buka duapuluh empat jam," jawab Nils. Ia berjalan santai mematikan sebagian lampu kafe.

"Tapi pelangganmu masih ada di sini," kata si rambut pirang lagi.

"Iya, tapi sayangnya aku juga harus pulang," sahut Nils sembari melewati meja wanita itu dan menarik kerai untuk menutupi dinding kaca di bagian lain kafe itu.

"Pukul berapa kafe ini tutup?" tanya si rambut pirang.

"Pukul sebelas malam," jawab Nils singkat.

"Tak bisakah kau membiarkanku duduk di sini barang lima menit lagi? Setidaknya buatlah pengecualian untukku."

Nils berhenti dan menoleh pada wanita itu. "Jika kau memberiku alasan yang jelas untuk membiarkan kafe ini tetap buka, aku akan memberimu lima menit."

"Well," wanita itu melingkarkan jemarinya pada cangkir dan menunduk muram, "perempuan ini sedang patah hati."

"Patah hati tidak diobati dengan duduk di kafe hingga larut malam, Miss."

Wanita itu mengangkat pandangan, menatap lurus ke sepasang mata Nils. "Kau tidak mengerti," katanya. "Aku memberikan semuanya padanya dan sekarang ia meninggalkanku."

"Aku mengerti. Kau sekarang tidak punya apa-apa kan?" kata Nils.

"Iya." Wanita itu mengakui dengan berat. Suaranya melemah.

"Kalau kau tidak punya apa-apa saat ini, maka berdiam diri di kafe hingga jam tutup bukanlah hal yang baik," kata Nils. "Kita memang perlu beristirahat dari semua hal memuakkan yang terjadi dalam hidup kita tetapi duduk di sini, mengomel, lalu mengemis waktu tambahan lima menit tidak akan memberi pengaruh apa-apa."

Perempuan itu menatap tajam. "Kau tidak punya hak untuk mengomentari hidupku seperti itu."

Nils mengangkat bahu. "Bila kau tidak mau dikomentari maka kau tidak seharusnya menaikkan volume bicaramu hingga orang-orang bisa mendengar semua masalahmu."

Perempuan itu tertunduk dan menekan kening. Ia berkata, "Mengapa tidak ada satu orang pun yang baik padaku?"

Nils menghela napas. Percayalah, tidak sekali ini saja kafenya menjadi tempat bagi orang yang putus asa karena cinta.

"Pulanglah, Miss. Mandi air hangat, dengarkan lagu yang menenangkan, minum cokelat panas atau masak makan malam yang lezat. Jika tidak ada orang yang menyayangimu, kaulah yang seharusnya bisa menyayangi dirimu sendiri."

Perempuan itu mengangkat pandangan. "Aku bahkan tidak punya rumah. Aku tidak tinggal di Brazil."

Nils menghela napas. "Jadi kau tinggal di mana?"

"Aku menginap di hotel. Hotel yang sangat murah. Aku sungguh kebingungan." Perempuan itu menunduk lagi.

Nils berjalan ke balik meja bar dan memanaskan air dengan pemanas. Ia berkata, "Baiklah, akan kubuatkan kau segelas cokelat panas. Lalu sebaiknya kau menghabiskannya di hotel dan mandi air hangat. Jangan berlama-lama mengasihani dirimu sendiri di kafeku."

Perempuan itu berharap bisa terkesan dengan ucapan lelaki tersebut, tetapi nyatanya tidak juga. Ia hanya diam, menunggu cokelat panas untuknya selesai. Matanya mengikuti gerak-gerik Nils. Kedua alisnya otomatis bertaut.

Laki-laki itu bertubuh tinggi dan berkulit sedikit kecokelatan, yang diduga oleh si rambut pirang pastilah akibat sinar mentari Sao Paulo. Rambutnya gondrong dan agak kusut, dengan serampangan dijepit model bun dengan sebuah jepit rambut berwarna hitam. Ia mengenakan kemeja hitam dengan motif bunga sepatu berwarna merah, yang dipadukan asal-asalan dengan celana pendek kargo hijau tua. Ketika ia berjalan keluar dari balik meja, si rambut pirang bisa melihat dengan jelas tato yang terukir di paha pria itu: barisan angka Romawi di sebelah kanan dan tulisan "college dropout" di sisi kiri.

Nils meletakkan secangkir cokelat panas yang siap dibawa pulang di hadapan si rambut pirang. Si rambut pirang menarik napas panjang, terisak ketika mendengar Nils mengatakan, "Kau tidak perlu bayar. Bawa saja langsung ke penginapanmu."

"Terima kasih." Si rambut pirang menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu segera beranjak agar Nils bisa menutup kafe itu.[]

De SerenataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang