[4]

124 22 4
                                    

"Kelihatannya kau sudah tidak sedih lagi."

Sweet Mileva menoleh. Nils tengah mengunci laci kasir dan berjalan ke depan meja, menunggu Sweet Mileva selesai dengan tas mungilnya.

"Aku masih sedih," kata Sweet Mileva. "Tapi tidak sebegitu mendalam lagi. Omong-omong, apa kau pernah ke pantai itu?"

Nils menatap ke arah telunjuk Sweet Mileva teracung. "Tentu saja pernah. Dulunya cukup sering, tapi sekarang hampir tak pernah."

"Mengapa?" tanya Sweet Mileva.

Nils mengangkat bahu. "Aku ke sana cuma untuk lari pagi. Sekarang aku agak malas melakukannya."

"Apa nama pantai itu?"

"Aku terkejut kau tidak tahu," kata Nils. Perempuan itu padahal sudah seminggu berada di sini. "Pantai Gonzaga. Kau belum pernah ke sana?"

Sweet Mileva menggeleng. Jim mendadak muncul dari pintu belakang dan berjalan ke pintu depan. Rupanya ia mendengarkan apa yang kedua orang itu bicarakan. "Kau harus ke sana, Sweet Mileva. Kalau perlu ajak Nils."

"A-apa?" Nils panik.

"Kau mau, Nils?"

Tatapan mata Sweet Mileva benar-benar mampu mengoyak habis kalimat penolakan yang muncul di benak Nils. Sementara itu, Jim tersenyum jahat ke arahnya.

"A-aku—"

"Tentu saja Nils mau!" Jim segera mendekat dan merangkul bahu Nils akrab. "Iya kan?"

Nils menatap Jim, makin panik.

"Bagus." Sweet Mileva tersenyum. "Ayo kita ke sana. Kau mau ikut, Jim?"

Jim menatap arloji di tangannya. "Sayang sekali aku harus segera pulang. Aku punya janji untuk membacakan putraku dongeng sebelum tidur. Tapi lain kali aku akan bergabung bersama kalian," jawab Jim, yang mana menurut Nils sangatlah tidak benar. "Baiklah, sampai jumpa. Nils, jangan lupa kunci pintu depan. Aku harus bergegas. Dan antar Sweet Mileva pulang, oke?"

"Sejak kapan sih kau berubah secerewet ini?" omel Nils sebal. "Tentu saja aku akan mengantar Sweet Mileva pulang."

Jim pun berlalu. Setelah mematikan semua lampu kafe, Nils dan Sweet Mileva berjalan ke luar. Setelah mengunci pintu depan, mereka menyeberangi jalan dan menginjakkan kaki ke Pantai Gonzaga.

Angin menyapu lembut ombak, menciptakan ombak-ombak kecil yang sirna ketika mencapai bibir pantai. Kendaraan masih berlalu-lalang, suara mesinnya beradu dengan debur ombak. Langkah kaki keduanya nyaris tak terdengar diredam pasir. Nils kebingungan untuk membuka pembicaraan, tetapi untungnya kebungkaman tidak berlangsung lama.

"Beberapa hari ini aku mulai berpikir bahwa akulah yang memang salah," kata Sweet Mileva.

"Soal apa?" tanya Nils.

"Kau tahulah. Soal tunanganku yang berselingkuh."

"Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?"

"Kedengaran aneh, ya?"

Nils memutar bola mata. "Bukan sekadar aneh, tapi bodoh. Itu jelas sekali salah tunanganmu."

Sweet Mileva berhenti melangkah, membuat Nils mau tak mau mengikutinya. "Begini, Nils. Sejujurnya aku sudah tahu kalau ada sesuatu yang salah pada tunanganku itu sekitar pertengahan tahun lalu."

"Lalu?"

"Tapi aku tetap mengelak. Aku tetap berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa kami masih bisa memperbaiki hubungan itu. Dan di sinilah letak kesalahanku. Aku hanya meyakinkan diriku sendiri. Yang ada justru aku hanyalah menjadi penghalang untuk ia berbahagia bersama orang lain."

Omong kosong macam apa itu? Nils ingin sekali memprotes, tetapi akhirnya menyimpannya untuk diri sendiri. Urusan itu masuk akal atau tidak, itu bukan hak Nils yang menentukan. Lagi pula, tumben sekali dirinya mau mendengarkan curahan hati orang lain. Padahal biasanya ia malas menyediakan telinga demi perkara percintaan orang lain.

Sweet Mileva melemparkan tatapan ke laut. "Kita selalu memikirkan kebahagiaan kita sendiri. Bahkan cenderung memaksakannya. Padahal orang lain juga berhak untuk bahagia," kata Sweet Mileva. "Kita berpikir kita membahagiakan orang lain, tapi ternyata kitalah penghalang bagi orang itu menuju kebahagiaannya sendiri."

Ucapan yang sangat melankolis, batin Nils.

"Aku menyadari ini ketika pagi tadi aku menyaksikan Insta Story mantan tunanganku," lanjut Sweet Mileva. "Dia terlihat sangat bahagia. Perempuan itu juga ada di sana dan mereka sama-sama mengelus perut buncit perempuan itu. Mantan tunanganku itu juga menuliskan kata-kata yang kurang lebih bilang bahwa ia tak sabar untuk menunggu kelahiran bayinya. Aku merasa amat buruk tetapi lega di saat yang bersamaan, Nils.

"Dia pernah bilang dia sangat menginginkan anak. Sedangkan aku tak mau memiliki anak sebelum menikah. Kami bertengkar dan ia berkata bahwa urusan pernikahan pasti akan terjadi. Dan sekarang ia akan punya anak dari perempuan lain. Itu membuatku merasa sangat buruk tetapi ... aku lega karena ia akhirnya berhasil mendapatkan kebahagiaannya sendiri tanpa aku."

Tetapi itu tetap saja tidak adil. Bukankah mantan tunangan Sweet Mileva menggunakan uang yang mereka tabung bersama untuk membiayai perselingkuhannya? Dan lelaki berengsek itu tidak memberikan hak Sweet Mileva sepeser pun! Orang memang berhak bahagia, tetapi untuk apa mendapatkan kebahagiaan dengan cara menghancurkan kebahagiaan orang lain?

"Jadi apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Nils.

"Sepertinya aku harus pulang," katanya. "Lagi pula, aku tidak punya rencana untuk menetap di sini, Nils."

"Jadi ... kau akan kembali ke London?"

Sweet Mileva mengangguk. Entah mengapa hal itu membuat hati Nils ngilu. Padahal baru beberapa hari lelaki itu memandanginya di De Serenata, dan sekarang perempuan itu malah mau pergi.

Setelah mengantar Sweet Mileva pulang, Nils segera pulang ke rumahnya sendiri. Setiap kalimat yang keluar dari bibir perempuan itu di pantai tadi terngiang-ngiang mengisi ruang benak Nils. Sepertinya aku harus pulang .... Tidak punya rencana untuk menetap di sini .... Kitalah penghalang bagi orang itu menuju kebahagiaannya sendiri.

Bahkan pada malam itu, ketika telah membungkus tubuh dengan selimut di atas kasur, kelopak mata Nils enggan untuk terpejam. Kita selalu memikirkan kebahagiaan kita sendiri.

Walaupun demikian, harusnya Nils tidak perlu terlalu memikirkan apa yang Sweet Mileva katakan tentang tunangannya. Ada yang jauh lebih mengganggunya sekarang. Nama Natasha berkelebat di dalam kepalanya malam itu. Ia segera meraih ponsel dan membuka laman akun Instagram perempuan itu. Tidak ada pembaruan apa-apa.

Rindu berlompatan di dalam dada Nils seketika. Tanpa pikir panjang, ia mengirimkan pesan pada perempuan itu. Bunyinya sederhana saja: apa kabar?

Lalu ia menunggu hingga terlelap. Keesokan harinya ia menunggu lagi. Lalu besoknya lagi. Pasti akan ada balasan. Besok lagi-lagi datang. Mungkin dia sedang sibuk.[]

De SerenataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang