[2]

224 39 3
                                    

Si rambut pirang kembali ke kafe Nils keesokan harinya. Ini membuat Nils semakin percaya bahwa perempuan itu memang tidak berakting sedih kemarin. Dan sepertinya, perempuan itu datang ke Brazil memang bukan untuk berlibur. Perempuan itu terlihat jelas tidak punya tujuan apa-apa.

Bedanya, hari ini ia tidak ditemani kembaran Lupita Nyong'o. Ia datang sendirian, kali ini memakai baju yang lebih provokatif ketimbang kemarin, berupa crop top putih beserta hot pants. Rambutnya kali ini digerai. Ia sudah memesan empat gelas minuman dan membuang isi kantung kemihnya dua kali di toilet. Lagi, ia menjadi pelanggan terakhir di kafe itu.

"Miss," ujar Jim di dekat mejanya. "Maaf tapi kami harus tutup sekarang."

Si rambut pirang mendongak, terkejut bahwa lelaki berjenggot hitam lebat ini jauh lebih ramah ketimbang si gondrong yang sedang mengelap meja sambil memberengut di belakang sana.

"Wah, ini sudah jam sebelas?" ujar si rambut pirang.

Jim mengangguk. "Ya, sayang sekali, bukan? Aku mengerti kau sepertinya betah di kafe ini tapi kami juga harus tutup."

"Baiklah." Si rambut pirang dengan berat hati memasukkan ponsel ke dalam tas selempang kecilnya dan meletakkan beberapa lembar uang di meja. Ia berusaha memberi Jim senyuman selagi bangkit dari kursi. "Terima kasih. Maaf aku berada di sini terlalu lama. Aku harap itu tidak mengganggu."

Jim menggelengkan kepala. "Tidak masalah. Nah, datang lagi nanti."

Namun, belum sempat si rambut pirang berjalan melewati pintu, awan mendung yang sedari tadi menggantung di langit memutuskan untuk menjatuhkan isinya ke muka bumi, menjebak si rambut pirang di kafe itu. Ia sempat menoleh ke arah Jim dan tertawa sedih.

"Sepertinya lagi-lagi aku harus tetap berada di sini," katanya. Jim untungnya membolehkan, sementara Nils masih sibuk mengelap meja-meja.

Sekitar setengah jam kemudian, pekerjaan di kafe itu telah selesai. Namun langit belum juga memberi tanda bahwa hujan akan segera usai.  Jim pamit lebih dulu dengan alasan istri dan anaknya sedang menunggunya di rumah. Tersisalah Nils dan si rambut pirang di kafe itu, persis seperti kemarin.

Nils mematikan lampu, mengambil payung di dekat rak koran di sisi pintu dan menutup pintu di belakangnya. Si rambut pirang masih duduk di bangku kayu di teras, meneliti tulisan di layar ponselnya. Mendengar Nils mengunci pintu, perempuan itu menoleh.

"Oh, kau sudah mau pulang," kata perempuan itu.

Nils mengangguk. "Di mana kau tinggal?"

"Di Rolds Hostel."

Nils tahu kalau penginapan murah meriah itu sejalur dengan tempat ia tinggal. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Nils akhirnya menawarkan untuk mengantar perempuan itu pulang berjalan kaki di bawah payungnya. Perempuan itu sama sekali tidak berpikir panjang apalagi menolak. Ia segera melompat dari tempat ia duduk dan mengiringi Nils melangkahkan kaki dari tempat itu.

"So what brings you here to Brazil?" tanya Nils demi mengusir kesunyian. Aneh baginya bila berjalan dengan seseorang di bawah payung yang sama tanpa berbicara.

Perempuan itu menghela napas panjang. Sorot matanya meredup. "Ini akan kedengaran gila."

"Aku sudah biasa mendengar hal-hal gila."

Perempuan itu tertawa sedih. "Aku tak punya tujuan apa-apa kemari. Aku hanya berusaha lari sejauh mungkin dari Inggris."

"Kau dari Inggris?"

Perempuan itu mengangguk. "Iya. Aku cuma mau kabur dari sana, dan kupikir Brazil adalah tempat yang jauh dengan suasana yang berbeda. Aku butuh penyegaran."

De SerenataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang