Part 15 - Ungkapan

202 94 15
                                    


Mengertilah. Tidak akan ada yang baik-baik saja saat rasa cintanya hanya sekedar dimanfaatkan.

***

Aletta benar-benar bodoh.

Gadis itu bangun tidur saat dua puluh menit lagi bel sekolahnya akan berbunyi. Sepertinya Aletta tidak bisa menghindari keterlambatan. Ia bahkan masih sibuk memakai seragamnya dengan gerakan pelan dan tidak peduli akan waktu yang terus berjalan.

Baginya, walau Aletta sudah bergerak cepat pun ia akan tetap terlambat. Itulah alasan mengapa Aletta begitu santai sekarang.

Tetapi bukankah ia semakin menambah resiko hukuman yang akan diberikan guru piket?

Aletta menghela nafas panjang. Lantas berjalan lemah mengambil tas yang berada diatas kasur. Menyampirkan tas itu di bahu dan berdiri di depan cermin. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Perlahan, Aletta memoleskan sebuah lipbalm yang baru ia beli beberapa hari lalu menambah warna merah muda di bibir yang terlihat alami. Aletta mengecap bibirnya untuk meratakan warna yang merona di bibirnya.

Bibir gadis itu tertarik ke atas. Kehadiran lipbalm ini sedikit membuat wajahnya lebih berwarna. Padahal biasanya, ia tidak peduli akan seperti apa wajahnya tanpa polesan apa pun itu. Tetapi sekarang, Aletta bahkan mulai memikirkan make up apa saja yang akan ia pakai nanti saat pergi bersekolah.

Memikirkan itu, membuat Aletta menjadi senang sendiri. Jujur saja, ini pertama kalinya Aletta menyentuh make up, apalagi mencoba untuk membelinya. Biasanya ia hanya melihat orang-orang memakainya, membelinya tanpa berniat untuk mencoba. Namun sekarang ia sudah mencobanya, walau pun untuk pertama kali, Aletta tetap senang. Bahkan ia langsung menyukai benda yang disebut make up itu.

Dalam sekejap, pikirannya telah tersadar dari lamunannya. Aletta melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh kurang lima menit. Ia harus bergegas.

Aletta berlari kecil meninggalkan kamarnya. Menuruni tangga dengan cepat tanpa peduli akan bahaya. Tangga yang curam itu bisa saja membuatnya amnesia? buta? atau lebih parahnya lagi, lumpuh?

Namun sayangnya, Aletta tidak peduli itu. Ia baru memikirkan betapa lamanya Pak De telah menunggunya di halaman rumah. Ah, sudah dikatakan dari awal bukan? Jika Aletta tidak peduli dirinya akan telat.

"Pak De!"

Pak De menoleh cepat. Dan ketika melihat Aletta matanya agak membulat, entah karena pria itu terkejut atau apa. "Udah jam segini non, yakin masih mau sekolah?" Tanya nya dengan nada heran.

Sambil tersenyum, Aletta mengangguk lalu berjalan menuju mobil itu. Diikuti oleh Pak De yang tidak banyak bertanya lagi karena melihat Aletta yang begitu tenang, jadi ia tidak panik.

Setelah keduanya masuk, Pak De menjalankan mobilnya membelah kota Jakarta yang entah mengapa pagi ini terasa begitu sepi. Padahal biasanya di jam-jam segini, kemacetan sudah dimana-mana sampai banyak kendaraan yang lebih memilih untuk melewati jalan tol agar terhindar dari kemacetan.

Aletta menatap kaca mobil transparan yang memperlihatkan jalanan. Bibirnya terangkat membentuk senyuman yang sangat manis. Ia sepertinya memiliki semangat yang tinggi untuk pergi ke sekolah hari ini.

Dear, Gavin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang