Bab dua : Green Tea

59 5 0
                                    

Mei tidak habis pikir, apa yang sebenarnya laki-laki ini coba lakukan padanya. Yah, sebenarnya Ia mengingat dengan jelas nama laki-laki itu, Reyhan Akasha. Laki-laki yang sejak beberapa hari yang lalu mengganggu jam tidurnya. "Ah sial! "Mei mengumpat dalam hati. Sudah lebih dari seminggu berlalu, ia masih saja dibayang-bayangi sosok Rey. Selama ini tidak ada yang mampu meruntuhkan pertahanan Mei dalam menutup hati. Tapi sayangnya, Rey mampu masuk tanpa perlu izin dari Mei, dan bahkan bikin kacau hari-hari perempuan ini. Mei hanya perlu waktu, ia hanya tidak terima jika ada hal-hal yang mengganggu prioritasnya. Karena Mei saat ini sedang menomersatu-kan skripsinya, lebih dari apapun. Namun siapa sangka, mungkin Rey juga akan masuk kedalam prioritasnya, suatu saat.

Beberapa hari yang lalu. Tepat hari sabtu, pukul lima sore. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang berani menatap bola matanya dengan lekat. Kali pertama pula, ia merasa hidup dimata seseorang. Dengan gerakan cepat ia menutup wajahnya dengan bantal menolak pikiran-pikiran tentang Rey yang berkeliaran di otaknya. Sudah satu jam berlalu, Mei masih berkutat dengan revisi-an skripsinya. Tiba-tiba ia teringat Naura, dan memutuskan untuk membereskan kamarnya, sebenarnya ia hanya ingin menepati janjinya pada Naura. Sebelum Naura menyuguhkan celotehan untuk berberes kamar setiap ia datang. Mungkin, jika tidak di ingatkan Naura, entah sampai kapan kamarnya berserakan begini. Dengan sigap Mei mengganti sprei kasurnya dengan yang baru dicuci, melipat selimut, merapihkan kertas-kertas revisi-an skripsinya, menyusun buku-buku yang sejak sepuluh hari yang lalu ia pinjam dari perpustakaan. Wait.. ia tersadar akan sesuatu, "Astaga, ini sudah lewat tanggal jatuh tempo pengembalian buku!!!" teriak Mei panik.

Untuk kali pertama, Naura ada gunanya. Mei jadi ingat persoalan buku-buku ini. Sebenarnya tidak pelak masalah jika buku ini lewat tanggal jatuh tempo pengembalian. Mei hanya perlu membayar denda, tidak sulit bukan?. Namun, keadaannya tidak seperti yang kalian bayangkan. Mei perlu melewati bu Airin, ia yang mengontrol agar semua buku dikembalikan tepat pada waktunya. Jika ketahuan mengabaikan peraturan, Mei perlu menyiapkan dua buah kapas untuk menyumbat telinganya. Bu Airin adalah orang kepercayaan kepala perpustakaan, jadi sebagian besar kegiatan pustaka, dikontrol oleh bu Airin. Yaa, bisa dibilang, ia memiliki setengahnya wewenang kepala pustaka, karena kebanyakan kegiatan kepala pustaka itu diluar kampus. Mei lagi-lagi menggerutu dalam hati, "Mengapa aku selalu dikelilingi dengan manusia-manusia galak? belum lepas persoalan dengan bu Clay, eh, datang lagi bu Airin."

---

Mei sekali lagi merapihkan kemejanya. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja garis-garis dengan kerudung senada dengan warna bajunya. Seperti biasa, ia pergi menggunakan sepeda motor yang tiga tahun ini selalu menemaninya setiap hari. Mei bukan hanya tidak mengurusi kamarnya, ia bahkan tidak pernah perduli soal pentingnya service motor. Akibatnya, tiap bulan papanya tidak pernah absen menelepon. Sulit memang, punya anak perempuan yang terlalu cuek dengan sekelilingnya. Setibanya dikampus, ia memarkirkan motornya didepan gedung fakultas komputer. Perpustakaan kampus, tepat dilantai paling atas gedung tersebut. Mei melepaskan helm bogo-nya. Lalu berlari-lari kecil menaiki anak tangga gedung.

"Woi, tumben banget sore-sore kekampus, Mei." Sapa Hanna, teman sekelas Mei. Hanna baru mengenal Mei satu tahun yang lalu. Kebetulan mereka saat itu berada di kelas yang sama, dan memutuskan untuk satu kelompok saja saat mengerjakan tugas metodologi penelitian di semester lima. Mei yang sedang memasukkan buku kedalam mesin pengembalian buku, terkejut melihat Hanna tiba-tiba berada disampingnya. "Iya nih, lupa balikin buku soalnya. Udah lumutan dikamar, Han." Balas Mei dengan raut sedih. "Yailaah. Kamu pake sosoan khawatir gitu. Lagian kan, siapa sih yang berani marahin anak yang paling rajin ke-perpus ini?." Sanggah Hanna sambil mengarahkan tangan kanannya kearah Mei. "Mau lihat, reaksi bu Airin? Begitu tahu aku terlambat balikin buku?." Mei menarik tangan Hanna kedalam perpustakaan. Setidaknya Mei mempunyai teman agar dirinya tidak malu sendirian jika bu Airin memarahinya didepan banyak orang.

Pukul Lima SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang