Bab empat : ulang tahun

23 2 4
                                    

Suasana kampus terlihat begitu ramai sore ini. Orang-orang berlalu-lalang tanpa henti. Tak sedikit pula tampak wajah-wajah kelelahan setelah seharian menghabiskan waktu dikampus, lelah menunggu dosen pembimbing, mengerjakan paper, dikejar deadline, mengurus kegiatan organisasi, berpanas-panasan membagikan selebaran. Barangkali, mungkin saja ada beberapa mahasiswa yang tertarik berpartisipasi dalam kegiatan mereka. Beberapa ada pula yang tertawa lepas, bertingkah konyol didepan teman-temannya, bernyanyi, mereka bahkan tidak akan perduli jika ada puluhan pasang mata yang memperhatikan.

Semua orang sibuk dengan urusannya. Mereka terburu waktu. Melangkah tanpa tahu apa yang akan mereka hadapi tepat didepan matanya sendiri. Beberapa orang bahkan tidak pernah mempersiapkan akan jadi apa setelah ini, akan melakukan apa setelah perkara perkuliahan ini selesai, mereka menimbang-nimbang, harus memilih jalan yang mana. Sebenarnya, masa depan tidak bisa hanya ditebak, perlu perluasan pemikiran, pemahaman diri, dan tentu saja kemauan yang berasal dari diri pribadi.

Masalahnya disini, Mei adalah segelintir dari orang-orang yang sudah mempersiapkan beberapa hal dengan matang, Ia berjalan bersama mimpinya, ber-iringan. Telepon dari Pak Lukas sore ini seperti bom yang menghujam entah datang dari mana, menghancurkan. Satu hentakan saja, Mei mungkin bisa hilang dari muka bumi, Ia patah dan kalah. Bagi sebagian orang, mungkin kegagalan adalah bagian dari perjalanan, sebuah proses, hanya kerikil kecil yang akan membawa kita kepada sesuatu yang lebih besar. Namun, bagi orang yang tidak pernah gagal seperti Mei, Ia butuh penjelasan, Ia butuh hati yang lapang untuk bisa menerima.

"Rey.." Mei mulai mengeluarkan suara setelah hampir satu jam menangis tanpa henti. Rey memutar tubuhnya kesamping agar bisa bersitatap dengan Mei.
"Mm..? You good?" Rey membalas selembut mungkin, ia tidak ingin membuat kesalahan, ia harus hati-hati bicara agar Mei lebih tenang.
"Mungkin orang lain butuh waktu sendiri dulu agar bisa menangis sejadi-jadinya, mencoba berdamai dengan hati, penuh kekesalan sehingga mereka bisa memaki diri sendiri. Tapi Rey, kok aku gak bisa yah, biarin kamu pergi dari sini. Aku ngga ragu nunjukin sisi lemahku ke kamu." Mei berkata pelan, namun jelas.

Semakin hari, Mei mulai terbuka, menyampaikan apa saja yang ia rasakan. Mei tahu betul, siapa pula ia berani sekali menyuruh Rey untuk tetap tinggal. Tapi Rey tidak menolaknya, ia membiarkan Mei terus menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kemudian Rey menatap dengan lekat bola mata gadis itu.
"Kalau tahu kamu dari tadi ingin aku tetap tinggal, mungkin aku bisa saja langsung memelukmu sejak kamu mulai menangis, Mei." Rey tersenyum sumringah, lalu menatap orang-orang yang berlalu-lalang.

"Mei, Tidak ada salahnya kita membiarkan beberapa orang mengetahui siapa kita sebenarnya. Apa salahnya dari sisi lemah? Bukankah setiap yang ada dibumi memilikinya? Bahkan, orang paling bahagia sekalipun, terkadang mereka menangis tengah malam membiarkan sisi lemahnya terburai dengan air mata."

Rey menghela napas panjang, "Aku tahu, ini impian kamu, ini masa depan kamu, tapi bukankah masih ada beberapa hal baik yang datang setelahnya, Mei? Kamu perlu tahu, bahwa kamu lupa mempersiapkan satu hal, kamu lupa mempersiapkan diri jika gagal. Jika kamu gagal, kamu kehabisan akal sampai menangis seperti tadi. Jalan kamu, gak putus begitu saja kok, kamu hanya belum mencoba saja masuk melalui pintu lain."

Mei yang sedari tadi telah menghapus air matanya, kembali menangis. Ia merasa bahwa yang dikatakan Rey sepenuhnya benar, ia belum mempersiapkan hatinya untuk berbagai kemungkinan. Mei kemudian ikut menatap orang-orang yang berlalu-lalang. "Aku iri sama kamu, Rey. Kamu orang hebat, pintar, ditambah lagi kamu gapunya masalah seperti aku, yang tiap hari selalu capek mikirin banyak hal."

Rey tertawa renyah. "Kamu hanya belum lihat semuanya, Mei. Kamu mau tahu nggak, kehidupanku seperti apa? Baru kali ini, aku nawarin diri ceritain kehidupan pribadiku ke perempuan." Mei tersedak, memilih untuk tidak lanjut bicara.

Pukul Lima SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang