Bab tiga : Tentang yang hilang

51 2 3
                                    

“Tidak bisa, Mei. Ini sudah murni peraturan kampus. Kami tidak bisa merubahnya. Maafkan bapak, tidak bisa banyak membantu.” Tutur Pak Lukas pada Mei. Mei masih menundukkan kepala, menyembunyikan air matanya, tidak berani bersitatap dengan Pak Lukas.

(Back to 2 days ago)

Drrt. Drrt.

Drrt. Drrt.

Ponsel Mei berbunyi dengan mode getar. Naura sudah belasan kali menelepon Mei pagi ini. Tiba di telepon ke tiga belas Mei mengeluarkan tangannya dari selimut, mencari benda pipih tersebut, lalu meraihnya.

Mei : “Halo?!” (Mei mengangkat telepon dengan keadaan setengah sadar dan masih memejamkan matanya)

Naura : “Serius Mei? Jam sembilan? Ini udah telat banget. Setengah jam yang lalu pengumpulan dokumen finalisasi bahan scholarship udah kelar.”

Mei : “Ohh, itu. Iyah udah aku urus kok. Kemarin aku titipin ke Pak Lukas semua dokumen yang diperlukan. Hari ini kampus cuma memastikan ajah, kalo-kalo ada yang kurang atau terlupa dilengkapi.”

Naura : “Serius?! Gila, kamu bikin aku panik tau ga sih. Aku tau banget, betapa pentingnya beasiswa ini buat kamu, Mei.”

Mei : “eheh, iyah. Ah udah ah, ganggu aja. Nyokap gaboleh telfonan lama-lama sama cewek.”

Naura : “Dih. Haahaha. Ngaco. Oke deh, bye.”

-sambungan terputus

Sudah dua tahun yang lalu Mei memutuskan untuk melanjutkan studi-nya ke luar negeri. Beberapa persiapan sudah ia lakukan dua tahun terakhir ini, seperti kemampuan International English Language Testing System (IELTS), juga kemampuan Test Of English for International Communication (TOEIC), Mei juga membuat International Journal, sampai mencari mentor untuk memenuhi letter of recommendation. Mei penuh dengan rencana, beberapa hal sudah dipersiapkan dengan matang olehnya. Tapi boleh jadi, apa-apa yang kita anggap paling baik untuk kita, belum tentu baik bagi sang-pencipta.

Mei dihadapkan pada tiga persoalan serius kali ini, pertama skripsi, kedua scholarship, dan ketiga Rey. Entah mengapa Rey masuk kedalam rencananya. Sebenarnya hubungan Mei dan Rey sudah sangat dekat tiga minggu belakangan ini. Semesta selalu berpihak padanya, tentang apa saja. Betapa mengesankan memang, hidup seperti Mei. Kali ini ia cukup percaya diri persoalan beasiswa itu, karena kampusnya mendukung penuh keinginannya, ia tidak perlu terlalu banyak khawatir. Tidak hanya Mei, kampusnya juga membantu beberapa mahasiswa yang juga ingin melanjutkan studi keluar negeri.
---
Perpustakaan kampus. Sudah pukul dua siang. Mei melewatkan sarapannya lagi, hari ini. Dua hari belakangan ini, ia cukup santai, ia seharusnya tidak melewatkan jadwal makan seperti orang normal kebanyakan. Mei punya banyak waktu untuk berleha-leha, karena bab empat skripsinya sudah hampir rampung. Sebulan terakhir ini benar-benar menguras tenaganya. Bu Clay tidak henti-hentinya membuat Mei mengolah data, salah sedikit saja, ia harus mengulang dari awal. Akibatnya, Mei tidak memiliki jam tidur seperti orang normal, bahkan sampai-sampai ia pernah tidak tidur, karena harus melengkapi tabulasi data lima ribu file yang bu Clay minta. Pantas saja, Mei selalu mempunyai mood yang jelek sehabis keluar dari ruangan bu Clay.

Mei melambaikan tangannya, pada laki-laki yang memakai baju kaos berkerah yang tengah mencari Mei. Hari ini, perpustakaan cukup ramai. Sudah dua puluh menit Mei menunggu Rey datang, akibat terlalu lama menunggu, ia sudah membaca puluhan halaman novel Tere Liye, favoritnya.

“Sorry, Mei. Tadi macet banget. Maklum, sekarang kan hari kerja. Lagian kok orang-orang pada rame banget dikampus sekarang?. Parkiran juga pada penuh, mana panas lagi.” Gerutu Rey pada Mei.

Mei hanya menopang dagu dengan punggung tangannya, menatap Rey lamat-lamat, ia suka Rey yang banyak bicara, ia suka Rey yang mengeluh padanya. Rey hari ini tampan sekali, ia mengenakan jeans berwarna coklat muda dipadukan dengan baju kaos hitam berkerah, rambutnya klimis, seperti biasa.

Pukul Lima SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang