Bab satu : Wi-Fi

92 5 0
                                    

Setibanya dirumah, Mei menghempaskan tubuhnya dikasur sembari memainkan telepon genggamnya. Setengah jam yang lalu ia baru saja berhadapan dengan bu Clay. Seperti telah terbebas dari sarang harimau, ia selamat dan keluar hidup-hidup. Mei menghembuskan napas panjang, berharap pertemuan selanjutnya dengan bu Clay berjalan baik-baik saja. Jika di ingat kembali, sepertinya ia punya tanggung jawab yang harus ia selesaikan hari ini juga. Sebenarnya, tidak dikerjakan juga tidak apa-apa. Siapa pula yang berani mengusik mahasiswa yang berada di semester akhir seperti Mei sekarang. Ia menekan pelipis-nya, lalu membuka lembaran skripsi yang tersusun berantakan.

Tiba-tiba kejadian setengah jam yang lalu kembali terputar di otaknya, bak sebuah video yang menampilkan kembali seluruh kejadian tadi siang. Ia mengingat bagaimana laki-laki itu tersenyum padanya, bagaimana laki-laki itu memungut dan merapihkan lembaran skripsinya, dan memasang muka bersalah telah menabrak seorang perempuan yang tengah frustrasi akibat kelelahan tidak tidur, dan bagaimana laki-laki itu tersenyum padanya. Tanpa sadar Mei ikut tersenyum juga. Lalu, ngg.. wait, what?. Ia menepuk dahinya tanda ia menolak senyuman yang keluar dari bibirnya sendiri. "Berani-beraninya aku berpaling dari skripsi-ku dan malah mikirin hal yang tidak jelas?!" seru Mei protes pada dirinya.

Seperti biasa, Mei kembali fokus memperbaiki bagian-bagian yang dicoret bu Clay tadi siang. Dia begitu cepat melupakan hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti laki-laki yang baru saja setengah jam yang lalu ia temui. Padahal tanpa ia sadari, suatu hal tidak terjadi secara kebetulan. Semua bagian-bagian yang terpotong atau yang hilang dalam hidup ini, tanpa kita sadari akan digantikan lagi, seperti potongan Puzzle. Mau atau tidak, siap atau tidak, kita harus ikut alurnya. Tapi semua itu tidak terlepas dari bagaimana kita menyikapinya. Lebih memilih membuka pintu kah atau tetap diam dan membiarkan pintu itu tertutup rapat. Mei hanya anak perempuan yang terlalu takut mengikuti alur kehidupan, ia selalu menolaknya. Namun, kali ini Mei benar-benar tidak bisa lolos dari alur itu. Bisa kalian bayangkan (pembaca), seperti apa peran laki-laki ini baginya.

---

"Please deh, Mei. Mau sampai kapan kamar kamu berantakan gini? sampai Atta Halilintar botakin rambut?!" seru Naura diluar pintu kamar Mei, seketika itu ia mendapati temannya yang sedang menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Seperti kata Naura di chat tadi pagi, ia menepati janjinya akan kerumah Mei untuk mengerjakan skripsi, lebih tepatnya, Mei yang mengerjakan. Akibatnya, Mei bisa-bisa tidak tidur lagi malam ini. "Udah, gausah bacot mulu napa. Lagian kalo nih bab empat dah kelar juga bakal diberesin. Mana? Ayam Gepreknya?" sanggah Mei tidak terima dengan perkataan Naura barusan. "Pinter banget ngeles-nya. Kita hari ini perbaikin skripsinya diluar aja gimana? sambil nyari Wi-Fi . Sumpek Mei, dikamar kamu mulu." bujuk Naura sambil memasang muka memelas. Mei lalu memperhatikan sekelilingnya, ternyata yang dibilang Naura ada benarnya juga. Mei mematut-matut kan jari telunjuknya ke meja balajar, tanda sedang berpikir. Lalu ia mengangguk dengan mantap sembari berkata "Tapi kamu yang bayarin ayam geprek!". Naura terlihat tidak terima, tapi ya, demi skripsinya. Apapun akan dia lakukan.

---

Naura mengendarai mobilnya menuju tempat dimana banyak sekali ditemukan pelajar disana. Dimana pusat penggunaan Wi-Fi bisa diakses sepuasnya. Mei memutuskan pergi bersama Naura, karena saat ini ia memang sedang membutuhkan sebuah inspirasi dan suasana yang berbeda dalam mengerjakan skripsi. Bayangkan, separuh hari-hari Mei hanya ia habiskan dikamarnya. Selain kampus dan perpus memangnya Mei mau kemana lagi?. Mereka tiba disana sekitar pukul lima sore, kurang dua menit. Naura mengambil bungkusan ayam geprek yang baru saja lima belas menit yang lalu ia beli. Kemudian menutup pintu mobil bersamaan dengan Mei yang keluar dari mobil dan terperangah menyapu setiap sudut tempat memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Nau, kok tempat ini sepi banget?." celetuk Mei. Naura berjalan mencari  tempat duduk paling nyaman sembari berkata "Yaelah, ini kan weekend, Mei. Wajar dong sepi begini, orang-orang pada rebahan manja dirumah."

Mei berjalan dibelakang Naura sembari mengangguk-angguk kan kepalanya tanda ia mengerti. Naura memilih tempat paling nyaman dan sejuk, tempat dimana Naura biasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar. Well, ya tidak belajar, Naura lebih memilih membaca novel ketimbang mengerjakan tugas yang bikin pusing. Mei duduk tepat disebelah seorang laki-laki yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Mei melirik sekilas, penasaran dengan apa yang dikerjakan laki-laki itu. Tiba-tiba, laki-laki itu menoleh pada Mei sambil mengangkat kedua alisnya dan tersenyum. Mei mengerjap-kan matanya sambil beredehem dan mengedarkan pandangannya ke arah lain, seakan tengah lari dari pandangan laki-laki ini. Mei teringat sesuatu, sepertinya ada yang terlupakan olehnya. Naura memukul kecil pundak Mei sembari berkata "Makan dulu, udah kaya lidi tahu gak sih, kamu Mei. Makan tuh dijaga, sesibuk apapun kamu." Celoteh Naura gemas pada Mei. Begitulah Naura, selalu saja memperlakukan sahabat satu-satunya itu dengan baik, seperti adik sendiri. Perbedaan umur Mei dan Naura tidak terpaut jauh, hanya saja Naura berbeda lima bulan lebih tua dibanding Mei. "Iyeeh, kamu bacot mulu da ah." sanggah Mei sambil cengengesan.

Ayam geprek pak Mamat memang gak ada dua-nya. Pernah suatu ketika Mei dan Naura menghabiskan empat bungkus ayam geprek dalam sekali duduk. Kebetulan saat itu mereka memang sedang lapar, dan sekaligus doyan. Naura melirik laki-laki disebelah Mei, kemudian berbasa-basi dengannya, "Eh, Mas, Makan.." Ajak Naura sambil tersenyum. Lalu laki-laki itu membalas dengan menyungging-kan senyuman terbaiknya pada Naura. Sementara Mei, melirik sekilas laki-laki itu, lalu kembali menatap ayam gepreknya yang menggoda. "Masih marah ya, atas kejadian tadi siang?" celetuk laki-laki itu pada Mei. Mei melihat sekelilingnya, lalu menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya. Mengisyaratkan bahwa apakah pertanyaan barusan itu untuknya. Laki-laki itu tersenyum kecil, "Kayanya kamu tadi kusut banget. Abis dimarahin dospem ya?" celetuknya lagi. "Eh?!, Kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Mei dengan polos. Ia benar-benar tidak mengingat kejadian tadi siang. Jika bisa diulang kembali, saat itu Mei marah besar, bukan hanya marah, ia juga mengatakan hal yang tidak masuk akal. Apa? Modus? kenapa pula laki-laki setampan ini mau modus-in kamu, Mei.

Mei mengingat dengan jelas kejadian itu, lalu cengar-cengir seakan tidak terjadi apa-apa. Naura menyenggol lengan Mei, "Siapa Mei? kamu kenal? kok kamu gak bilang-bilang sih punya gebetan?!" gurau Naura. Mei menundukkan kepala sembari menggigit bibirnya, menahan malu. Untuk apa juga Mei marah-marah tadi pagi. Ini gara-gara bu Clay, Siapa suruh dia memberikan banyak sekali revisi untuk skripsinya, akibatnya ia tidak bisa mengontrol emosinya. Laki-laki itu menyodorkan tangannya, "Aku Reyhan Akasha, panggil saja Rey." Dia tersenyum lagi. Untuk kali pertama, Mei merasa risih akan senyum seseorang. Untuk kali pertama pula, Mei merasa risih diperhatikan. Lebih tepatnya, Mei risih berada didekat Rey. Naura kembali menyenggol lengan Mei, "Mei, diajak kenalan tuh." celetuk Naura sambil tersenyum menggoda. Mei mendongakkan kepalanya, lalu menatap dengan lekat bola mata Rey, sembari menyambut uluran tangan Rey, "Mei, Meifora Ilmanda."

---

(Nantikan kelanjutan cerita mereka di bab dua) <3

Pukul Lima SoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang