MKTB - Berjuang

42 4 0
                                    

17 tahun yang lalu tepat hari ini, aku kembali menginjakan kaki di tanah merah ini. Ah, tidak ada yang berubah semuanya masih sama. Semilir angin mengembuskan kain penutup suraiku, kupejamkan mata sejenak menikmati nikmat yang diberikan Sang Maha Pemilik Kehidupan ini. Kuhela napas berat, mendesah lega sekaligus nyeri. Baiklah, biar kuceritakan sebuah kisah dongeng dalam hidupku yang aku harap hanya mimpi tetapi nyatanya sudah terjadi.

••••

Aku terkejut, surat kabar lagi-lagi mendarat di mejaku. Kali ini bukan hanya satu seperti biasanya tetapi tiga sekaligus. Tidak perlu ditanya lagi, aku sudah biasa menerima ini dan aku tahu siapa yang menaruhnya. Aku mendaratkan bokongku di sebuah kursi kebanggaanku dan kusampirkan pula jas kebesaranku. Aku mulai meneliti setiap kata yang tercantum. Ah. Lagi-lagi berita ini, ini terus yang diberitakan, aku bosan.

"Sudah baca beritanya?" sebuah suara menginterupsiku. Masuk tidak mengetuk pintu dulu, sudah menjadi kebiasaannya.

“Sudah, ini surat berita kesepuluh yang kamu taruh di mejaku. Tidak capai memang? Lagipula, apa bagusnya sih? Bosan tahu baca hal yang sama. Aku sama kamu tuh beda, Rani. Kamu rajin membaca sedangkan aku tidak, buat skripsi aja kalau tidak kepepet mana mau aku baca buku-buku tebal begitu," aku menggerutu mode cerewetku mulai kambuh.

Lho, tidak bisa begitu, Nin. Kita ini dokter, kita yang akan menjadi garda terdepan bagi semua masyarakat. Aku juga kasih itu semua untuk menambah wawasan dan siap siaga selalu," tuhkan mulai lagi ceramahnya. Aku hanya mendengarkan saja, biar dia senang. Rani mulai menekuri gawainya, dia selalu begitu entah kali ini artikel atau berita apalagi yang ia baca. Sedangkan aku? Hanyut dalam dunia maya tentunya.

"Nina, Astaghfirullah, Nin. Kamu harus tahu. Baca ini, baca," Rani menyodorkan gawainya kepadaku. Aku meneliti gambar kemudian jatuh pada bacaan yang ia berikan. Aku menutup mulut, tidak menyangka.

"Ini, serius, Ran? Sudah masuk ke Indonesia? Dua orang? Di Depok? Innalillahi. Kata pemerintah tidak mungkin masuk ke Indonesia, Indonesia akan aman? Makanya aku santai banget."

"Nina, itu kata siapa? Kata pemerintah kan? Kata manusia kan? Makanya Nin, jangan takabur. Allah lebih tau yang terbaik, aku pergi dulu ya, ada pasien lagi." Rani tersenyum menutup pintu ruanganku. Aku masih bertanya-tanya, Ya Allah, ini serius? Makhluk kecil dari Wuhan?

••••

Semuanya benar-benar di luar dugaanku, berjalan sangat cepat yang semula aku tidak percayai kini aku harus menghadapinya.
Sudah dua minggu ini, aku dan teman-teman medisku tidak bisa lagi berdiam dan santai di ruangan. Setelah menangani pasien, ada lagi pasien yang harus ditangani. Aku lelah sekali, tubuhku perlu istirahat. Pakaian ini, alat pelindung diri ini, benar-benar menyiksa. Aku tidak bisa bernapas dengan tenang, aku harus menahan buang air. Kalau tidak, sayang sekali pakaian ini harus dibuang.

Aku juga rindu sekali dengan keluargaku. Aku menggeram pada masyarakat, sudah dibilang untuk tidak keluar rumah, menjaga jarak, dan sering cuci tangan tetap saja membandel. Tidak lihat kami di sini berjuang mati-matian? Pasien yang justru semakin bertambah bukannya berkurang?

"Nin," aku menoleh. "aku, aku positif." Aku mencerna kata-kata Rani, seketika aku melotot tidak percaya. Sedetik kemudian aku tertawa, garing.

"Jangan bercanda, Ran. Omongan itu doa. Kalau kamu lelah, yasudah istirahat biar aku yang gantikan posisi kamu dulu."

"Tidak, Nina. Aku tidak bercanda. Aku beneran positif, tertular pasien, mungkin mulai besok aku tidak lagi bertugas karena harus isolasi. Aku bertemu kamu malam ini, ya untuk menyampaikan ini barangkali nanti kamu mencari aku, kan? Hehe," ujar Rani sedikit terkekeh.

Aku ingin berhambur kepelukannya tetapi tangannya terangkat menghentikan pergerakanku. "Jangan," kata Rani menatap netraku nanar "nanti kamu tertular, kamu harus tetap sehat Nin, lanjutkan perjuanganku ya, perjuangan kita bersama," Rani tersenyum.

••••

Sudah dua minggu Rani diisolasi begitupun aku yang tetap bekerja bersama teman medis lainnya. Peluh terus membasahi tubuhku. Pemerintah sudah mulai melakukan pembatasan wilayah, mengimbau menggunakan masker jika berpergian, dan tindakan lainnya.

Aku masih sangat menyayangkan, kenapa ada orang-orang yang sulit diatur, keluar rumah untuk hal tidak penting sekadar nongkrong dan pasien yang dirawat masih saja kabur dari rumah sakit?

Sebenarnya aku juga sedikit menyesalkan tindakan pemerintah yang masih menganggap enteng musibah virus saat itu, masih membiarkan turis keluar masuk Indonesia bahkan menurunkan harga tiket pesawat. Baik, aku memang awalnya juga begitu. Ya, aku salah tetapi saat itu aku masih tenang sebab pemerintah menjamin keadaan aman, berkerja seperti biasa, bercanda tawa, dan berpergian ke manapun yang aku mau.

Saat ini, berbanding terbalik, banyak teman sejawatku yang berjuang mati-matian hingga akhirnya meninggal. Bahkan, aku sempat mendengar kalau ada tenanga medis yang jasadnya tidak diterima warga. Hatiku terasa teriris. Apakah aku akan seperti itu nantinya? Allah, kami sudah berusaha inikah balasan mereka untuk tenaga medis yang berjuang mati-matian yang tidak peduli nyawa, tenaga, serta waktu? Kuembuskan napas berat. Mataku terpejam, lelah.

"Nin, ada berita," Syifa mengatur napasnya "Rani, Nin. Rani meninggal." Aku membeku di tempat, sepersekian detik tersadar. Dua minggu yang lalu aku terakhir kali melihatnya, saat ia mengatakan terjangkit virus ini. Kenapa Rani? Kenapa kamu memilih menyerah?

Seolah ada yang menghimpit dadaku, sesak. Sesak dan nyeri seketika. Jantungku serasa diremas kuat. Godam-godam besar serasa jatuh di atas kepala dan dadaku bersamaan. Menyaksikan tubuh kaku Rani di bawa untuk dimakamkan, aku tidak bisa melihat wajah Rani untuk terakhir kalinya, sahabatku dari masa SMA, mengais mimpi bersama. Rangkaian ceritaku bersamanya berputar dalam benakku. Aku jatuh terduduk, lemas sekali Ya Allah. Kupeluk lututku erat, bahuku bergetar hebat. Mati-matian aku tahan tangisku, menyisakan isakan kecil yang masih lolos dari bibirku. Aku kuat, Allah tolong aku. Rani, Rani.  Allah, Allah, Allah. Kupejamkan mata erat menahan sesak yang tak karuan. Kamu kuat, Nina. Lanjutkan perjuanganku ya, perjuangan kita. Jangan menyerah. We are strong women. Kenapa Allah satukan kita, pertemukan kita jadi sahabat? Karena Allah tahu kita serasi untuk saling melengkapi. Hehehe.

Tiba-tiba terlintas senyum dan perkataan Rani. Baik, tekadku telah bulat. Membantu dan mengusahakan yang terbaik untuk mengurus musibah ini. Rani, ini cita-citamu kan? Aku akan melanjutkannya hingga napas terakhirku. Pegang janjiku, Rani. Aku tidak akan menyerah. Kuusap telaga beningku dengan kasar.

••••

Hii. Assalamu'alaikum. This is COVID-19's Story. Semoga bermanfaat. Tap bintang dan jangan lupa komen. Thank u, guys. :)

Bekasi, 7 Mei 2020.

-pj

Makhluk Kecil Tak BerjarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang