MKTB - Akhir

26 2 0
                                    

Beberapa waktu setelah Rani meninggalkan dunia ini, aku semakin gencar melakukan yang terbaik. Meski rasa kehilangan tetap ada dan selalu terbayang terutama saat aku sendiri. Kala rindu menyapa yang dapat aku lakukan adalah menatap foto kebersamaan kami dari gawai dan mengiriminya Al-Fatihah semoga Allah menempatkannya di tempat yang sebaik-baiknya dan khusnul khatimah. Peluh dan lelah tak kuhiraukan, kubiarkan saja. Kurangnya alat pelindung diri menjadi salah satu tantanganku.

Hal yang benar-benar menguji kesabaranku adalah saat pasien yang datang tidak jujur, tidak mengatakan sehabis berpergian dari mana. Beberapa hari yang lalu satu temanku positif dari pasien yang baru diperiksanya yang ternyata baru pulang dari zona merah COVID 19 dan si pasien tidak mengatakannya saat ditanya. Ia menangis tersedu-sedu, tangisannya mengiris lukaku yang belum sembuh benar. Tahu apa yang ia tangisi? Bukan tentang dirinya saja melainkan ia menangis memikirkan bagaimana nasib adik-adiknya yang masih bersekolah yang kini menjadi  tanggungannya dan pasien-pasiennya yang ia tangani, memiliki harapan besar untuknya.

Aku menatap langit malam, menikmati semilir angin malam. Menyejukkan. Kutatap bintang di atas sana, satu yang paling mencolok. Sirius. Aku tersenyum getir, perlahan tetesan bening kembali jatuh di pipiku. Dulu, iya dulu. Aku dan Rani pernah bermimpi menjadi Sirius.

"Aku mau jadi Sirius," kataku setelah menyesap teh hangat malam itu.

"Aku juga," ujar Rani menatap langit.

"Lhoo mana bisa, Sirius itu cuma satu, Rani. Kamu carilah bintang lain, masih banyak kok itu," aku sedkit sewot dengan Rani.

"Iya emang Sirius cuma satu siapa bilang sepuluh. Bisalah, tinggal aja kita bagi dua cahayanya, diakan paling terang. Gampang, kan?" Rani menaiknurunkan alisnya lalu tersenyum.

"Ish gabisa gabisa. Ga ada bintang dibagi dua gitu," aku masih keukeuh.

"Nina, jadi orang jangan pelit-pelit nanti kuburannya sempit," dia tertawa garing tetapi menular padaku. Kami memang sereceh itu.

Malam itu, ditemani langit malam yang cerah disinari rembulan dengan bintang yang selalu setia. Kami menyesap teh hngat diselingi tawa canda tak ada habisnya. Malam itu dingin tetapi terasa hangat di hati.

"Ternyata kamu, Ran yang lebih dulu menjadi Sirius,"

••••

Aku tidak boleh menyerah, sedetikpun. Siang dan malam aku lewati dengan sungguh-sungguh. Rani saja mampu lalu kenapa aku tidak? Janjiku kepada Rani dan kesembuhan pasien-pasienku lebih penting dari nyawaku. Aku mengabdi pada setiap embusan napasku, setiap detak jantungku, dan setiap langkah kaki yang membawaku. Benar kata Rani. Aku adalah garda terdepan untuk mereka.

Detik berlalu menyampaikan asa yang terpendam. Waktu seolah berputar dengan cepat, tidak terasa memang. Alhamdulillah, virus ini telah mereda. Para pasien telah sembuh. Setidaknya tenaga medis sepertiku dapat sejenak menghela napas lega bertemu dengan keluarga adalah hal yang sangat aku inginkan. Setelah sekian lama.

Hari ini, pemerintah resmi mengatakan Indonesia telah bersih dari virus. Kuperhatikan wajah cerah orang-orang itu, mereka pasienku, tersenyum lebar, lega. Allah, aku senang, rasanya perjuanganku tidak sia-sia. Menyaksikan kebahagian orang lain. Inilah kebahagiaan yang luar biasa. Air mataku menetes kemudian menjadi deras. Aku berhasil Rani, aku berhasil.

••••

Seandainya virus itu tidak pernah datang, mungkin Rani masih di sini, menemaniku ke manapun yang kumau, aku tidak akan menahan lapar, haus, serta rindu kepada keluargaku.

Seandainya, saat itu masyarakat mau benar-benar melakukan physical distancing pasti tidak akan banyak korban yang berjatuhan. Teman seprofesiku tidak akan jatuh berguguran. Seandainya. Seandainya. Seandainya. Kata seandainya menggema dibenakku saat itu.

Astaghfirullah.

Namun, kini aku bisa mengambil hikmah di balik Allah memberikan ujian ini. Jika saat itu Allah tidak memberi musibah ini, ada beberapa kemungkinan.

Mungkin masyarakat tidak bisa sedekat itu dengan keluarga yang belum tentu setiap hari bertemu karena kesibukannya, mungkin aku dan masyarakat lain tidak akan pernah menghargai kebersihan, mungkin kami tidak akan pernah menghargai sesama dengan menahan kepentingan diri sendiri, dan tentunya berbagi.

Maharani Khairunnisa. Kuusap batu nisan di depanku. Lagi-lagi aku menitihkan air mata saat mengingatnya, perjuangannya, semangatnya, senyumnya. Allah, aku rindu dengan makhluk-Mu yang satu ini. Air mataku meleleh.

Nyatanya, aku tidak sekuat itu. Ya Allah, beberapa waktu telah berlalu tetapi rasanya, baru hari itu, hari itu aku melihatnya tersenyum bangga telah berhasil membawa pasien sembuh. Rasanya masih sama, sakit, nyeri, sesak menjadi satu.

"Ran, sekarang tepat 17 tahun kepergianmu, lho. Kamu tahu, tidak? Aku kangen banget sama kamu. Aku masih tidak percaya dengan semua ini, aku harap ini hanya dongeng dalam mimpi burukku, Ra, nyatanya ini benar terjadi. Aku bodoh banget ya, Ran. Benar katamu, aku terlalu takabur. Allah terlalu baik sama aku, Ran. Aku diberi kesempatan untuk membayar segala kesalahanku dulu untuk melihat pasien-pasienku sembuh dengan senyum lebarnya. Aku yakin, kalau kamu ada di sana kamu pasti juga tersenyum lebar. Namun, Allah lebih sayang padamu, tidak ingin kamu merasa lebih sakit. Kamu tahu, Ran? Sejak saat itu aku selalu berusaha melakukan yang terbaik, aku tidak mau menyianyiakan perjuanganmu dan teman medis kita lainnya. Aku tahu kamu pasti capai dengar kalimat yang sama, maafkan ya," aku terkekeh sendiri. Semilir angin membelai pipiku lembut. Kutarik napas panjang lalu kuembuskan perlahan, lebih tenang.

"Ran, benar katamu saat itu, physical distancing bisa mengehentikan rantai virus ini. Sayangnya, aku kurang mendengarkan Ran, maafkan aku, ya. Sekali lagi, kamu benar tentang makhluk itu. Makhluk yang kamu sebut, makhluk kecil tak berjarak. Terima kasih, Rani. Aku belajar banyak darimu. Kamu sahabat terbaik mengingatkan aku selalu tentang Allah dan kebesaran-Nya, mengingatkan aku bahwa sains dan agama tidak bisa dipisahkan. Maaf, Maaf Rani, aku belum bisa menjadi sahabat yang baik untukmu, maaf," aku terisak menyeka cairan lendir yang keluar dari lubang pernapasanku.

"Semoga perjuanganmu dan teman medis yang berguguran menjadi amal ibadah yang tak ternilai di mata Sang Pencipta. Aku, Kanina Fahranisa akan terus melanjutkan hidup dan mengabdi untuk masyarakat. Sekali lagi, selamat tinggal Rani dan tentunya COVID-19, makhluk kecil tak berjarak. Aku pamit."  Aku tersenyum, bangkit, dan perlahan meninggalkan tempat itu berlalu sembari membawa kepingan rindu yang tak menentu.

TAMAT

Hii. Assalamu'alaikum. Tamat juga ya ceritanya, aku mau jelaskan sedikit jadi ini aku bikin dua part untuk dari 3 halaman word dan udah ditambahkan atau direvisi kalau aku langsung pos perhalaman, asli itu dikit banget hehe. Btw, terima kasih sudah membaca dan semoga bermanfaat. :) jangan lupa tap bintang dan komennya, ya.

Bekasi, 8 Mei 2020

-pj

Makhluk Kecil Tak BerjarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang