❝I fell in love the way you fall asleep; slowly, and then all at once.❞
—John Green—
***
Aiden sudah terbiasa berkarib dengan sepi, namun bisakah dia meminta hidupnya ditemani oleh sesuatu yang lebih berarti?
Dia pikir, kota kelahiran yang pernah jadi saksi bisu atas masa kecilnya ini sudah terlalu banyak berubah. Mulai dari kemunculan gedung-gedung tinggi yang sekarang hampir memadati seluruh sisi jalan, cahaya matahari yang terasa lebih panas, juga hujan yang mulai enggan turun sesering dulu. Tapi, ini jauh lebih baik daripada Jakarta yang menaruh luka dari kenangan lama di setiap penjurunya. Lagi pula dia datang bukan hanya karena rindu, tapi karena dia...ingin memulai sesuatu yang baru.
Alasannya satu. Jakarta bukan kota yang menyenangkan, dan meskipun Aiden pernah menjalani hari-hari sulitnya di sana selama tujuh tahun, buat apa diteruskan kalau hanya sepi yang dia dapatkan? Kota itu penuh kejutan, tapi sayangnya, kejutan yang diberikan tak pernah meninggalkan kesan baik baginya. Peristiwa kematian mama yang begitu mendadak termasuk salah satunya. Aiden seolah ditampar oleh kenyataan pahit yang membuatnya sadar bahwa patah hati terbesar di dunia adalah ketika dia merindukan seseorang yang tak bisa dia temui lagi untuk selamanya.
Mungkin bagi semua orang yang tahu rasanya ditinggalkan, perpisahan itu perkara paling menakutkan. Sekeras apa pun dia memaksa lupa, bekas lukanya masih terasa nyata walau air matanya sudah lama habis ditelan masa. Jakarta yang pernah menjadi rumah untuknya kini menjelma menjadi tempat mencekam di mana dia pernah berjarak begitu dekat dengan kematian untuk pertama kalinya. Melihat sosok yang dia cintai berjalan menuju keabadian, diselimuti oleh keheningan bumi yang menyambutnya bagai teman lama yang sempat terlupakan.
"Seandainya lo punya kesempatan buat minta satu harapan, dan harapan lo bisa terkabul beberapa tahun kemudian, lo mau minta apa, Den?"
Aiden ingat jelas pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan seorang kawan lama dari masa lalu ketika dia hanyalah bocah laki-laki yang cuma bisa menangis di loteng rumah setiap kali dilanda rindu, dan sampai sekarang, sepotong kenangan itu masih setia tertanam di kepalanya tanpa bisa diusir pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead Syndrome
Novela Juvenil❝A coincidence does much more than turn on the lights in our worlds; it seems to magically connect us to the presence of someone that gives life a beautiful meaning.❞ Elegi Arthawidya Wangsadinata hanya cewek biasa yang baru saja beranjak SMA, buruk...