Meyra Sabilla

259 16 0
                                    

"Mungkin Allah yang menggerakkan hatiku, mempertemukan kita untuk pertama kalinya."
.
.

Namaku Meyra Sabilla, mahasiswi pendidikan matematika semester tua di Perguruan Tinggi Islam Negeri. Tak terasa hampir empat tahun aku berada di kota ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pula kesulitan yang harus dihadapi. Terutama masalah keuangan. Maklum, aku ini anak kos yang harus bisa mengatur keperluan makan sehari-hari dan juga keperluan kuliah seperti; buku, patungan makalah dan kadang fotocopy yang seambreg. Apalagi di semester tua begini, skripsi yang perlu di-print dan di-fotocopy sebanyak dosen pembimbing. Tapi pada akhirnya hanya dicorat-coret untuk direvisi.

"Huh." Aku membuang nafas lelah. Bahkan dari tempat kos dan kampus jaraknya cukup jauh. Sebenarnya ada angkot yang bisa dengan cepat ke kampus. Tapi lagi-lagi jika aku menggunakan uang hanya untuk angkot bisa-bisa di kampus aku tidak bisa jajan.

Yah jadi beginilah kebiasaan ku selama empat tahun ini, jalan kaki menuju kampus. Sebenarnya ini tidak terlalu buruk karena sepanjang jalan banyak pohon-pohon rindang. Yang membuatnya buruk adalah terkadang harus melewati tawuran antar sekolah. Iya TAWURAN.

Dan sepertinya hari ini hari kesialanku, di depan sana ada anak berbaju batik dan bercelana biru sedang dikejar-kejar segerombol anak berseragam batik yang berbeda.

Dilihat dari yang batiknya anak yang sedang dikejar-kejar adalah anak SMP 17 dan yang mengejarnya adalah SMP plus. Mereka musuh bebuyutan, entah apa yang memulai pertikaian tapi selama empat tahun tawuran SMP 17 dan SMP plus tidak pernah absen.

Aku semakin memandang ngeri saat anak yang dikejar kepalanya terkena batu yang dilempar.

"Bu, saya pinjam sepedanya ini KTM saya." Aku menaruh KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) saya terburu-buru dan mengayuh sepeda tersebut menghampiri anak yang akan dikeroyok.

"Ayo cepat naik!" teriakku pada anak yang terkena lemparan batu. Dia pun menurut. Aku kayuh sepeda itu dengan cepat.

"Cepet woi ngayuh sepedanya, itu mereka makin deket," ucap anak SMP tersebut. Aku melirik ke belakang ternyata benar katanya. Pantang menyerah sekali mereka ini.

"Cepet woi!!!" ucapnya lantang.

"Kalau mau cepet kayuh aja sendiri sepedanya, kamu pikir berat badanmu hanya sekilo apa," sahutku kesal.

Dan pada akhirnya, yang mengejar mereka menyerah.

"Huft...." Kami bernafas lega. Kuhentikan sepedaku di dekat pohon. Aku sangat lelah, mencoba mengatur nafas kembali.

Anak itu mulai berjalan kembali. Tak memperdulikan kepalanya yang masih mengeluarkan darah segar. Ku cekal tangannya berusaha menahan.

"Obati dulu pelipismu itu," ucapku.

"Tidak perlu, terimakasih."

"Keras kepala! Kubilang obati dulu." Dengan sekuat tenaga aku menariknya agar duduk.

"Kau yang keras kepala dasar orang aneh, lagipula selama ini tak ada yang peduli denganku. Lalu untuk apa kau peduli?" ucapnya.

"Dengar bocah, jika memang tak ada yang peduli denganmu. Mengapa kau tidak peduli pada dirimu sendiri? Sudah jangan berdebat lagi, aku capek. Duduk diam, biar aku yang mengobati." Dia akhirnya diam.

Aku memang tak membawa kotak p3k. Hanya ada botol air mineral dan tisu di dalam tasku. Ku basahi tisu sedikit dengan air untuk membersihkan lukanya.

"Ish...." Dia sedikit meringis.

"Maaf sakit ya," ucapku merasa bersalah.

"Tak apa lanjutkan." Aku melanjutkan membersihkan lukanya. Lukanya sedikit memanjang ku yakin akan meninggalkan bekas di pelipisnya. Setelah yakin lukanya bersih, kemudian aku menutup lukanya dengan plaster bercorak dinosaurus.

"Puft..." Hampir saja aku kelepasan menertawakan nya. Bagaimana tidak ingin tertawa, muka yang tadinya terlihat sangar sekarang terlihat imut dengan plaster dinosaurus itu.

"Ada yang lucu?" tanyanya. Aku mengeluarkan cermin kecil.

"Lihatlah sendiri." Menyodorkan cermin.

"Ahahaha...." Kami tertawa terbahak-bahak.

"Astaghfirullah, aku lupa bimbingan skripsi." Aku buru-buru memasukkan botol minim, tisu dan cermin sembarang.

"Aku antar ke sekolah ya," ucapku masih tak tega meninggalkan nya sendiri.

"Tak perlu, aku mau pulang saja."

"Kuantar," ucapku sambil mencoba membantu nya berdiri.

"Sudahlah kamu pergi saja, skripsi mu lebih penting."

Ah benar juga katanya.

"Ya sudah hati-hati aku dulu ya..." Lalu aku mengayuh sepeda untuk mengembalikannya pada ibu pemilik warung.

"Ah aku lupa menanyakan namanya," gumam anak tersebut.
.
.
.
.
.
Tbc







Alurnya Mera buat mundur. Jadi maaf kalau agak bingung.

Jangan lupa vote dan komen

Terimakasih :)

Terjebak Pesona BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang