VINO
"Vin, ikut kepanitiaan Dies Natalis yuk."
Gue yang masih fokus menggambar rancangan bangunan di kertas A3 jadi menoleh, pada Abel yang sibuk dengan laptopnya. Saat ini kita berdua sedang berada di gazebo jurusan. Hari Jumat, hari terakhir perkuliahan membuat gazebo cukup ramai dipenuhi mahasiswa.
Gue ngambil penggaris segitiga siku-siku lalu kembali menuntaskan tugas praktikum yang deadline-nya sore nanti. Kalau Abel jangan ditanya, dia tipe mahasiswi rajin yang kalau hari ini ada tugas praktikum, malamnya bakal langsung dicicil. Sekarang aja dia lagi nyicil tugas makalah di laptopnya, padahal deadline pengumpulannya masih minggu depan.
"Vin, ikut ya? Gue daftarin nih di form online-nya." Ajak Abel lagi, dengan suara yang kentara sekali sedang kesal—mungkin karena udah dua kali nanya dan gue abaikan. Duh, kalau nggak lagi kepepet deadline praktikum udah gue tinggal nih gambar teknik yang kalau gue pikir-pikir ngeselin juga, nggak beres-beres dari semalem gue kebut, sampai gue cuman tidur 1 jam.
"Bentar Bel, gue kinap ini udah jam 2, jir." Balas gue apa adanya, tidak langsung mengiyakan tawaran Abel. Perkara ikut kepanitiaan bukan keputusan yang asal dihayukan saja. Ada berbagai pertimbangan yang perlu dibicarakan, terkait waktu, tenaga, sampai bagian divisi yang mau diambil. Gue nggak mau ambil resiko gara-gara ikut kepanitiaan, gue malah jadi jauh sama Abel karena kita beda divisi.
Kadang gitu sih emang, calon panitia dibebaskan memilih divisi apa yang diminati, tapi ujung-ujungnya ada aja drama oper-mengoper divisi yang sepi peminat. Dan gue nggak mau kalau kejadian itu terjadi sama gue dan Abel. Gue nggak siap harus ngelepas kesayangan gue itu dari pengawasan gue.
Hehe, kesayangan soon to be maksudnya. Doain dong!
"Drawpen nol koma dua gue kemana anjir, sempet-sempetnya lagi urgent begini malah ilang." Seru gue panik sambil menyingkirkan alat-alat menggambar yang tersebar di atas meja.
Kebetulan gazebo Jurusan Arsi punya meja dan kursi yang banyak, bukan jenis meja panjang yang dipakai bersama seperti kebanyakan gazebo kampus, tapi jenis meja bundar yang lumayan besar, biasanya setiap meja dipakai untuk 4-6 orang. Tapi sekarang, meja yang lagi gue pakai ini cuman diisi gue sama Abel karena Daniel dan Senja lagi ada urusan.
Gue nyari itu drawpen keramat sampai semua pensil warna gue keluar dari tempatnya. Bener-bener berantakan. Berulang kali juga ngecek bawah meja, berharap drawpen yang gue cari jatuh disana, tapi nihil. Drawpen itu seolah raib tanpa jejak. Gue curiga, jangan-jangan lagi diumpetin jin makanya nggak kelihatan. "Nih fix sih pasti diumpetin jin." Keluh gue, menyuarakan apa yang ada di kepala.
"Pakai punya gue aja sih." Tiba-tiba Abel sudah menyodorkan seperangkat drawpen—drawing pen bersama dengan tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antropologi Rasa
FanfictionIni hanya cerita sederhana tentang empat manusia yang satu frekuensi, saling nyaman antar satu sama lain hingga akhirnya mengeratkan ikatan mereka atas nama persahabatan. Seharusnya sahabat tidak pakai cinta, dan mulanya semua itu berhasil terlewati...