JOANNA
Riuhnya hiruk piruk manusia yang memadati gerai chatime hari ini, membuatku menggeleng takjub. Saking ramainya, sekarang antriannya sudah berbaris sampai keluar batas. Kuedarkan pandanganku ke segala arah, mendapati semua meja telah terisi penuh. Untung saja aku selangkah lebih cepat hingga aku bisa menempati satu meja kosong sebelum gerai minuman ini diserbu oleh mereka semua.
Hari sabtu, dengan segala acara yang diselenggarakan di PIM hari ini membuat beberapa tempat makanan dan minuman menjadi ramai, termasuk gerai chatime yang masih menjadi pusat serbuan orang-orang dari segala umur, mulai anak-anak sampai dewasa. Dari tadi antriannya memang sudah panjang, aku saja harus menunggu sampai hampir 30 menit hanya untuk mendapatkan segelas hazelnut.
Aku terus mengunyah es batu yang tersisa setelah menyedot habis isi dari chatime hazelnut dengan topping bubble yang selalu menjadi kombinasi favoriteku, menimbulkan suara krak krak yang membuat sebagian orang nyilu mendengarnya.
Setelah puas, aku meletakkan gelas plastik yang sudah kosong itu diatas meja lalu mengeluarkan sebuah novel dari tote bag yang aku selempangkan di bahu. Senyumku terukir begitu saja kala mendapati tanda-tangan penulis dibalik sampul tebalnya.
Nebula. Novel series ketujuh dari Tere Liye sejak series pertamanya yang berjudul Bumi terbit. Beberapa jam lalu, aku memang mengikuti bedah buku yang diselenggarakan langsung oleh penulis favorite-ku itu. Bedah buku yang berujung fansign hingga berakhir dengan aku mendapatkan novel yang ditanda-tanganinya langsung.
Mengingat scene-scene terakhir dari series sebelumnya membuatku tambah tak sabar untuk membacanya. Merasa cukup beristirahat dan minumanku juga sudah habis, aku pun memasukkan kembali novel tersebut ke dalam tas, bersiap pergi kalau saja kedua mataku tidak menangkap sosok pemuda yang aku kenali.
Dia tidak sendiri, karena disamping cowok itu ada seorang perempuan yang juga aku kenal. Aku tersenyum kecut kala melihat si pemuda tersenyum lebar sambil mengusak canggung kepala belakangnya, gestur yang selalu ditunjukkan ketika dia sedang salah tingkah.
Iya, itu Vino. Dan perempuan disebelahnya adalah sahabatku juga, Senja. Aku mendengus malas ketika melihat tangan Vino tersampir di puncak kepala Senja, mengusaknya lembut. Walau aku tahu mereka sedang dalam tahap pendekatan, aku tetap kesal melihat skinship yang mereka umbar secara langsung. Karena biasanya apabila sedang berempat, Vino tidak akan seaktif itu, sikapnya biasa saja, bahkan menurut sudut pandangku dia selalu memberi perhatiannya rata padaku dan Senja, seakan Vino tidak menganggap Senja sebagai gebetan, melainkan hanya sahabat, seperti dia memandangku dan Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antropologi Rasa
FanfictionIni hanya cerita sederhana tentang empat manusia yang satu frekuensi, saling nyaman antar satu sama lain hingga akhirnya mengeratkan ikatan mereka atas nama persahabatan. Seharusnya sahabat tidak pakai cinta, dan mulanya semua itu berhasil terlewati...