"Berbohong dan mengingkari janji adalah perbuatan orang-orang munafik. Dan ketahuilah bahwa aku bukan salah satu diantaranya."
_Dannish Gaviandra_
***
Mobil sedan berwarna abu-abu berhenti tak jauh di depan pagar sekolah. Affna segera mengambil tas yang ia letakkan di sampingnya lalu mengalungkan tali tas itu pada pundaknya.
Gibran menoleh ke belakang, melihat Affna yang sedang memasukkan ponsel dan headset di dalam saku seragam.
"Sekolah yang bener, jangan pacar-pacaran! Nanti galau lagi kayak sama mas 'S'," pesan Gibran sekaligus menyindir sang adik.
"Sok tau!" Affna membuka pintu mobil. "Gue pamit. Assalamualaikum," ucap Affna lalu keluar dari dalam mobil.
Gibran geleng-geleng kecil sembari menatap kepergian Affna. "Waalaikumsalam." Ia langsung menancap gas menuju kampus.
Affna berdiri di depan gerbang sekolah, menatap gapura sekolah yang bertuliskan SMA Bumantara. Salah satu SMA Swasta di ibu kota.
Siswa-siswa lainnya berjalan melewati Affna—memasuki pekarangan sekolah begitu saja. Tidak ada satu orang pun yang Affna kenal di sini, semuanya sangat asing. Tak sedikit orang-orang yang menatapnya cukup lama, mungkin mereka juga merasa asing dengan Affna.
Ada juga tiga siswi yang terlihat sedang berbisik-bisik sambil curi-curi pandang ke arah Affna, seperti sedang membicarakan Affna.
Entahlah, Affna tidak yakin akan cepat mendapat teman baru yang cocok dengan sifatnya yang cuek seperti ini.
Affna menghembuskan napas kasar, ia menanamkan rasa tekad yang kuat untuk hari ini. Hari ini adalah kehidupan barunya yang telah dimulai, move on dari kehidupan lama dan menetap di kehidupan baru.
Semuanya harus baru, termasuk lembaran kisahnya.
Setelah bertekad, Affma merapikan sedikit rambutnya agar terlihat lebih rapi. Affna rasa, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, toh kaki Affna pun sudah pegal berdiri di depan gerbang sekolah seperti sekarang.
Affna melangkahkan kakinya, melewati satpam sekolah yang berjaga di depan gerbang. Bapak itu memberikan senyuman kepadanya, Affna pun mau tak mau harus membalas dengan senyuman ramah pula.
"Affna!"
Kaki Affna terhenti setelah beberapa langkah melewati gerbang sekolah, ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang cowok yang sudah familiar di matanya.
Cowok itu berlari menghampiri Affna, ia berdiri di depan Affna dengan napas yang terengah-engah.
"Na ...." Cowok itu sedang berusaha mengontrol napasnya.
Lho ....
Affna terkejut sekaligus heran dengan keberadaan cowok ini di depannya—di sekolah barunya. Kenapa dia bisa ada di sini?
"Dannish? Lo–lo ngapain di sini?" heran Affna bertanya.
Dannish menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Setelah napasnya sudah kembali normal, ia pun mulai berbicara.
"Gue ngikutin lo," jawab Dannish.
"Hah, ngikutin gue? Nga–ngapain, sih?!" Affna semakin heran.
"Lah, lo sendiri ngapain di sini?" tanya balik Dannish.
"Gue?" Affna menunjuk ke dirinya sendiri dan langsung diangguki oleh sang sahabat. "Ini sekolah baru gue-lah. Gue sekolah di sini."
Dannish mengangguk singkat. "Yaudah."
Sungguh, Affna tidak mengerti apa yang dimaksud oleh cowok yang berdiri di depannya ini.
Affna memutar bola matanya malas sambil menghela napas kasar. Tunggu sebentar! Affna menyadari sesuatu, tapi apa, ya?
Ah!
Dannish mengenakan seragam sekolah yang sama dengan seragam yang dikenakan oleh Affna dan murid SMA Bumantara lainnya. Berarti ....
Itu artinya Dannish juga bersekolah di Bumantara?!
Affna menunjuk sang sahabat menggunakan jari telunjuk, matanya melebar seketika, syok.
"Dan, lo ...." Affna menggantungkan kalimatnya sembari melihat seragam Dannish. "Lo pindah sekolah ke sini juga?!"
Dannish mengangguk, kedua tangannya dilipat di depan dada dengan kedua alis yang disengaja dinaik-turunkan.
"Serius, Dan?" tanya Affna memastikan.
"Ho'oh," jawab Dannish, santai.
Beberapa detik, Affna mematung di tempat. Ia masih tidak percaya jika Dannish benar-benar menepati janjinya. Dannish berjanji bahwa dirinya tidak akan meninggalkan Affna sendiri dan tidak akan membiarkan Affna pergi jauh tanpa dirinya. Dan sekarang, Dannish telah menepatinya.
Dannish mengernyit ketika melihat Affna yang mendadak membeku, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Apa yang sedang gadis itu pikirkan?
Teettt! Teettt! Teettt!
Suara bel sekolah tengah berbunyi nyaring, seluruh murid yang masih berada di dekat gerbang maupun yang masih di lapangan segera berlari memasuki kelas masing-masing.
Affna terkesiap karena mendengar bunyi bel tersebut, Dannish langsung menarik tangan Affna begitu saja tanpa izin terlebih dahulu. Dannish meresa jengah dengan sahabatnya itu, sudah hampir dua puluh detik ia melihat sang sahabat yang bertingkah seperti patung.
Dua puluh detik yang sia-sia.
"Eh ... kok ditarik-tarik?" tanya Affna sembari pasrah tangannya ditarik oleh sang sahabat, tanpa perlawanan.
"Udah jangan berisik! Kalo gue nggak narik lo, lo pasti masih berdiri di sana," jawab Dannish, masih menarik sang sahabat menuju kelas.
"Sok tahu!" ketus Affna.
"Emang kenyataannya gitu. Dari tadi lo berdiri di sana nggak ngomong dan gerak sama sekali. Mau cosplay jadi patung?"
Affna hanya bisa berdesis kasar, toh, yang dikatakan oleh Dannish bukanlah fitnah.
***
Terima kasih sudah berkenan mampir.
Aff and Dann
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
Aff & Dann
Teen FictionMereka saling menyayangi-sebagai sahabat. Namun, sampai kapan rasa sayang ini akan terus berdiri mengatasnamakan persahabatan? Cover: https://id.pinterest.com/@Artcover