Satu Kosong Empat

92 8 1
                                    

Pov Mas Aryo.

Sial! Mendadak kantor menyuruhku berpindah lokasi yang sangat jauh dari rumah. Selama perjalanan pikiranku kacau, mencemaskan kedua wanita yang sendirian di rumah untuk beberapa bulan.

Berita pemindahan tugasku, memang bukanlah hal asing di telinga. Namun, ini diluar argumenku, ketika ternyata aku harus pindah ke luar kota tanpa istri dan juga ibu. Di sini kami tinggal di asrama yang telah disiapkan oleh kantor.

Beberapa hari diriku agak canggung untuk mengenalkan diri, bahkan sering terdengar ejekan dari yang lain ketika mendengarku selalu menelpon Ningsih.

***

"Yo. Lo jaga bingung, aja! Kesambet entar," celetuk Hardi teman sekamarku yang super bawel.

"Masih mikirin istri, Lo?" tanyanya duduk di sebelahku.

"Gini, ya, Yo. Bukan mau menghasut, tetapi aku juga sama seperti kamu. Sama-sama punya keluarga, dan juga butuh menuntaskan hasrat biologis. Dari pada kamu kesiksa, lebih baik cari obatnya sama aku," ujarnya yang membuatku mulai menatapnya canggung.

"Maksudnya obat? Lo-sama-gue, gitu?" tanyaku agak jijik dengan ucapan yang terlontar.

"Ya nggak gitu juga bego!" Menjitak kepalaku kasar.

"Besok malam jumat ikut gue, gue ajak lo berobat. Gimana?" Tanyanya dengan tatapan aneh.

Sejenak kuputuskan haruskah menerima ajakan pria aneh ini? Atau menolaknya saja? Hingga ku jawab akan keputusan, yang entah apa akan merubah ke depannya.

***

"Brengsek, Lo Hardi!"

Dengan langkah penuh amarah kutinggalkan rumah dengan lampu warna-warni, yang berada jauh dari keramaian. Sepanjang jalan nafasku memburu, mengingatkan hal bodoh yang hampir ku lakukan. Sudah kuputuskan untuk sesegera mungkin kembali pulang, tidak peduli apa konsekuensinya nanti.

Tidak ku sangka Hardi mengajakku, untuk memasuki rumah bejat itu. Hampir saja janji sakral pernikahanku dengan Ningsih, ternodai dengan hal konyol yang akan kulakukan.

Perjalanan terasa melelahkan,lantaran sejak keluar dari rumah itu tidak ada kendaraan umum yang melintas. Hingga perjalananku berhenti di sebuah pohon besar, yang berada di tepi jalan. Hawa dingin terasa menghantarkanku, hingga mata ini berkunang-kunang mengantuk.

***

"Mas. Bangun, mas!" Suara perempuan membangunkanku yang kini masih mengucek mata.

Mataku tiba-tiba melebar melihat seorang wanita, tersenyum melihatku tertimur di bawah pohon. Jam ditanganku menunjukkan pukul dua malam, dan kini tangannya menjulur membantuku berdiri.

"Mas kenapa kok tiba-tiba tiduran di sini?" tanyanya bingung melihatku tertidur pulas dibawah pohon.

"Iya, maaf. Tadi habis jalan kaki, cari angkot nggak ada yang lewat," jawabku terus terang.

#Bersambung

Cerita ini sekiranya hanya akan sampai atau tidak lebih sampai part 10. Share, vote, dan komen agar author lebih semangat.

Istri Tak Kasat MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang