Level 3 : Ridiculous Agreement

39 5 2
                                    

***

Hidup itu enggak melulu tentang jaga image, Man! Lakukanlah hal yang konyol sekali-sekali! Biarpun hal itu lebainya sampai keujung langit!

***

Joshua

"Iya, sayang. Nanti aku telepon lagi, yah? Kamu belajar yang bener. Nanti aku jemput di tempat les kamu."

"..."

"Iya, aku jemputnya enggak akan telat, ko."

"..."

"Byeeee.."

Fyuhhh. Untung gue sayang sama cewek gue. Kalau enggak, gue enggak akan angkat teleponnya yang sedari tadi miscall gue sampai seratus kali. Maafin gue ya, Maya sayang. Gue lagi pusing sama tugas Bahasa Indonesia. Huhu...

Gue menghela nafas kecil setelah meletakkan kembali HP gue di atas meja ruang tamu rumah sahabat gue, Arya. Hari ini gue dengan tiga bocah belagu -yang aneh tapi sayangnya pintar ini- sedang berlatih vokal untuk mengisi backsound drama kecil-kecilan kami sebagai tugas yang deadlinenya masih tiga minggu lagi.

Tugas ini sebenarnya tugas kelompok, dan kelompok gue ada 8 orang. Tapi karena suatu keadaan, kami berempat, yaitu gue, Arya, Ken dan Ben memutuskan untuk berlatih hari ini. Empat orang lainnya enggak bisa gabung, karena memang jadwal latihan kami adalah hari Sabtu dan hari Minggu. Berhubung ini hari Jumat, jadi ya cuma kami berempat yang bisa hadir.

Gue kembali duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah Arya. Sesekali gue mencuri dengar suara Ken yang lagi nyanyi di kamar orangtuanya Arya. Gue enggak tau udah berapa lama waktu yang dihabiskan Ken di dalam sana. Yang pasti adalah Ken menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit. Gue aja enggak selama itu untuk ngerecording suara gue yang lumayan ini. Lumayan apa, hayo?

"Lama banget, gila!" kata gue memecah keheningan.

Gue melirik Arya dan Ben yang lagi sibuk mainan HP udah kaya punya pacar aja.

"Mungkin ngulang-ngulang terus," balas Arya.

Ben yang duduk di sebelah gue hanya mengangguk mengiyakan.

"Wah, akhirnya selesai," celetuk Ken yang tiba-tiba muncul dari belakang. Cowok itu tersenyum lega walau wajahnya enggak menunjukan kepuasan. Gue yakin dia enggak benar-benar puas dengan hasilnya. "Lama ya gue?"

"Lumayan," jawab Ben.

"Gimana?" tanya gue ke Ken. Karena kursi kayu yang ada di teras depan rumah Arya cuma ada tiga, akhirnya gue duduk di lantai, biar Ken juga dapat duduk. Ingat peribahasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, kan? Yang lain pun akhirnya ngikut gue duduk di lantai.

"Biasa, suara gue sedang enggak bisa diajak kerja sama," jawab Ken yang memilih duduk di hadapan gue dengan Arya di sebelah kirinya dan Ben di sebelah kanan gue.

Gue hanya mengangguk-angguk menanggapi apa yang Ken bilang.

Karena kami semua sudah berkumpul dan menyelesaikan tugas menyanyi yang menurut gue sudah cukup baik, kami berempat pun memulai pembicaraan random dari yang penting sampai yang enggak penting. Kalau udah kumpul berempat gini, semua hal bisa kami bahas. Karena gue orangnya cerewet, banyak omong, gue selalu suka sesi bacot-bacot seru di sore hari kaya gini.

Sinar matahari dari barat yang sudah berubah warna menjadi jingga pun tanpa malu-malu menyinari gue dan ketiga teman gue yang pintar. Gue semakin bersemangat untuk banyak bacot kalau sudah seperti ini. Wajah gue yang enggak seberapa ini menjadi glowing-glowing gimana gitu terkena sinar jingga dari barat. Persis kaya iklan skincare yang selalu menghiasi sela-sela acara TV gue.

Game of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang