Level 4 : The Little Secret

21 3 1
                                    

Ken

Apa kalian tau bagaimana rasanya ditinggalkan? Ah, bukan. Bukan dia yang meninggalkan, tapi aku.

Ini salahku. Aku tau dan sangat sadar akan hal itu. Tapi, apa yang bisa ku perbuat. Aku dulu masih kecil dan bodoh. Tidak mengerti tentang apa yang sedang ku lakukan.

Aku dipaksa. Tidak, tidak. Jika mereka benar-benar memaksaku, aku tidak mungkin bisa meninggalkan 'nya' kan? Jelas-jelas mereka memberi ku pilihan. Dan aku sendiri yang memilih untuk meninggalkannya.

Hingga, bertahun-tahun kemudian. Rasa itu hadir. Entah ini sebuah penyesalan atau rasa lainnya. Yang terkadang membuat ku berpikir tentang masa-masa itu. Dan ketika aku tersadar. Aku berusaha mengejarnya. Dan dia seakan-akan berkata 'Apa kau menyesal sekarang?' 'Jika saat itu kau tidak terlalu bodoh untuk memilih meninggalkanku karena rasa takut sialanmu itu, mungkin kau saat ini tidak akan seperti ini kan?' 'Nikmatilah penyesalanmu itu. Nikmati setiap tahun yang telah kau sia-sia kan karena memilih pergi.'

Dan masih banyak lagi hal yang diam-diam tersampaikan kepadaku meski aku tidak mendengarnya. Dan, meski aku berusaha mengabaikannya, tetap saja rasa penyesalan itu ada. Meski sering kali aku menemukan diriku menyalahkan mereka atas penyesalan yang aku miliki. Kata-kata seperti, 'mereka tidak memberiku pemahaman yang cukup tentang apa yang mereka coba lakukan padaku', 'aku bahkan tidak mengetahui kenapa aku melakukan hal ini', dan lain sebagainya menjadi sebuah kata penenang bahwa ini bukan kesalahanku.

Tapi, tetap saja. Aku telah menyia-nyiakan sesuatu yang ternyata nantinya akan ku sesali dan menjadi cintaku.

Apakah ini benar-benar sebuah cinta?

Atau hanya ilusi sebagai hasil dari penyesalanku.

Entahlah aku tidak mengetahui.

______

Cowok itu akhirnya tersadar dari pikirannya sendiri. Entah bagaimana, dia bisa-bisanya menggali hal yang tak seharusnya dia gali. Merobek lagi luka lama yang baru saja mengering. Membiarkan darah terus menetes darinya. Hingga, dia tersadar bahwa dia berdarah ketika rasa sakit itu kembali menyergapnya.

"Hah... Haa... Ha...." Wajahnya pucat. Seperti tidak ada setes darah yang mengalir disana. Perlahan bangkit dari kursinya dan pergi untuk mencari udara segar.

"Lo mau kemana, Ken?" Jojo mengankat kepalanya dari kotak ajaib di tangannya, bertanya kepada cowok yang diam-diam berusaha kabur dari udara yang terasa mencekik dirinya itu.

"Gue mau nyari udara segar." Begitu katanya, sambil memasukkan tangannya ke saku celananya dan pergi ke luar ruangan.

_____

Goblok!

Mana ada udara segara disini.

"..."

Ken termenung. Memikirkan kembali alasannya pergi dari ruangan berukuran 6 x 8 meter itu. Jika dia tidak salah ingat, dia sepertinya berniat untuk melepaskan otak kecilnya itu dari rantai besi yang membelenggu dirinya. Dan kini, dia menemukan dirinya berada di toilet?!

Sepertinya kenangan yang menhantuinya itu benar-benar berhasil merusak sirkuit otaknya hingga dia lupa bahwa tidak ada udara segar di toilet. Tuhan, maafkanlah Ken yang malang ini.

Memutuskan keluar. Ken terus berjalan dengan tujuan 'udara segar'. Membiarkan kakinya membawanya pergi menuju salah satu ruangan yang sepertinya menjadi favoritnya. Perpustakaan.  Berjalan seorang diri dengan kepala yang sedikit menunduk dan tangan yang masuk ke sakunya. Seperti biasa. Namun dengan gaya berjalannya yang acuh tak acuh layaknya anak-anak yang disukai oleh guru killer untuk diberikan perhatian lebih karena tidak mendengarkannya. Tentu saja hal ini membuat aura  yang dikeluarkannya bertabrakan.

Game of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang