“Kenapa sama Satrya?” tanya Aldo saat dia dan Ale sedang menikmati es kelapa muda di dekat taman kota sepulang sekolah. Masa skorsing Aldo sudah berakhir. Tepat sehari sebelum UAS berlangsung.
Ale menyendok daging kelapa muda dari gelasnya. “Nggak pa-pa. Ternyata temen cowoknya Putri. Pas itu ikut ke rumah, jemput Putri.”
Aldo tahu siapa yang dimaksud Ale. Anton, sahabat Satrya yang juga pacar sahabat Ale.
“Terus besoknya Kak Satrya main ke rumah, sendiri. Awalnya gue biasa aja. Terus beberapa hari lalu, Putri ngajak nonton. Ternyata dia sama kak Anton—cowoknya. Kak Anton ngajak Kak Satrya. Gue sih santai aja. Pas di dalem bioskop, Kak Satrya ngerangkul bahu gue. Gue risih aja sih. Kan baru kenal. Kenapa dia rangkul-rangkul segala, sih. Nah, abis dari bioskop itu dia chat; bilang suka sama gue.”
Aldo menggenggam gelas lebih erat dari sebelumnya. Dia tidak suka ini. Seperti ada sesuatu yang terbakar di dalam dadanya, hatinya terasa panas. Apakah ini yang dinamakan cemburu?
“Nggak usah deket-deket Satrya.” Aldo meminum es kelapanya. Agar Ale tidak menyadari perubahan ekspresinya.
Aldo tahu cowok seperti apa Satrya. Dia salah satu cowok populer di sekolahnya. jika Aldo anak band, Satrya adalah anak basket—yang juga digilai cewek-cewek. Cowok itu memiliki garis wajah tegas, tulang hidung tinggi serta alis tebal. Sikapnya yang seenaknya membawa kesan bad boy yang melekat pada dirinya. Tak hanya perokok berat, cowok itu juga berteman akrab dengan alkohol dan diskotik. Ruang BK adalah tempat rutin yang sering ia kunjungi di sekolah. Lebih sering dari pada ruang kelasnya sendiri. Anehnya, dengan banyaknya hal negatif yang mengikutinya, banyak pula cewek-cewek yang menggilainya. Duduk berjajar meneriakan namanya saat Satrya bertanding atau hanya sekadar latihan.
“Gue juga serem sih sama dia. Kata Putri sih baik. Tapi gimana ya, gue ngerasa ngeri aja," lanjut Ale
Aldo meletakkan gelasnya yang nyaris kosong di kursi plastik di depannya. “Makanya jangan deket-deket dia.”
Ale mencolek bahunya. “Posesif amat lo? Kek pacar aja. Awas aja lo naksir gue.”
Seketika Aldo menegang. Apakah perasaannya semudah itu terbaca?
Tawa Ale memecah lamunannya. “Ye malah bengong! Pulang yuk. Udah sore.”
Mereka lantas berebut membayar es kelapa—hal yang selalu mereka ributkan setiap kali jajan bersama.
***
Aldo memarkirkan motornya sembarangan. Hari ini dia bangun terlambat. Akibat begadang nonton bola semalaman. Juga karena Ale yang semalam mengiriminya pesan bahwa pagi ini dia berangkat sekolah dengan supir. Alhasil, cowok itu tidak menyalakan alarmnya.
Aldo berlari menyusuri selasar sambil mencocokkan nomor ruangan yang sama dengan yang tertera di kartu UAS-nya. Ah, ketemu. Beruntung dia tidak mendapatkan kursi bagian depan. Baris ke tiga. Posisi yang pas untuk mencontek. Cowok itu terengah sambil meletakkan tasnya di atas meja.
“Makanya kalau UAS tuh jangan begadang.”
Napas Aldo tercekat kala mendengar suara itu. Dia menoleh. Terlalu cepat hingga lehernya terasa nyeri.
“Lo? Ngapain di sini?” tanya Aldo dengan napas putus-putus.
Gadis yang duduk di sampingnya memutar bola mata. “UAS dong, masa ngamen.”
“Ya ngerti gue. Tapi ngapa duduk di sini?”
Cewek itu menunjukkan kartu ujiannya, kemudian menunjuk nomor yang tertempel di atas meja.
Mata Aldo membelalak. Tidak pernah terpikirkan di benaknya bahwa dia akan semeja dengan Ale saat UAS.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAKTU AKU SAMA ALE
RomanceAldo pikir, lebih baik menahan perih di hatinya kala Ale bercerita tentang kisah cintanya dari pada harus berterus terang tentang perasaannya. Dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya jika Ale pergi setelah mengetahui dirinya memendam r...