PROLOG

146 21 10
                                    

“Waaa... Do, baru kelihatan lo. Kemana aja tiga tahun ini?”

Kurang lebih, sapaan seperti itulah yang Aldo dengar dari teman-temannya saat dirinya memasuki Aula SMA-nya dulu yang kini ramai oleh teman seangkatannya dan adik kelasnya dulu

Dengan santai, cowok itu hanya menjawab, “Semedi gue, nyari wangsit.”

Rasanya menyenangkan saat kembali bertemu dengan sahabat dan teman-teman lama yang masih menyapa dengan ramah. 

Sudah lebih dari tiga tahun Aldo dan teman-temannya meninggalkan masa kejayaan putih abu-abu. Banyak yang berubah dari mereka. Penampilan, cara bicara, mungkin juga pola pikir. Tentu saja semua tak lagi sama. Mereka bukan lagi remaja labil berusia 17 tahun.

Di sudut lain Aula tampak angkatan adik kelas Aldo juga berkumpul. Angkatan mereka baru sedikit yang datang. Awalnya, Aldo kaget saat menemukan adik kelas menyapa. Ternyata reuni ini untuk dua angkatan. Salahnya yang tidak membaca undangan dan tidak memperhatikan banner yang terpasang di belakang panggung.


Andi menepuk bahu Aldo saat mengajaknya naik panggung. Sudah saatnya mereka tampil. Para alumni yang hadir langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris saat mengetahui grup band kebanggaan sekolah akan menghibur mereka. 

Lagu pertama yang mereka bawakan adalah Kangen dari Dewa 19. Para undangan yang berdiri menyebar mengumpul ke depan panggung untuk ikut menyanyi. Lampu Aula mulai menyala redup, meninggalkan kesan hangat.

Lagu selanjutnya berganti dengan lagu Sahabat Sejati dari Sheila On 7 vokalis Galaksi Band mengajak semua Alumni untuk saling merangkul temannya. Suasana semakin ramai saat beberapa dari para alumni ikut melompat seirama dentuman musik.
Saat itulah Aldo melihatnya. Seakan matanya menemukan pemandangan apa yang dirindukannya. Dia berdiri di tengah rangkulan teman-temannya. Tertawa lepas, rambut pendeknya yang tergerai bergoyang seirama goyangan tubuhnya.

Semua itu membuat jantung Aldo berdegup tak beraturan. Dia mendadak terkena serangan gugup. Tangannya yang memetik gitar sedikit gemetar, keringat dingin membasahi punggungnya. Seakan semua belum cukup, gadis itu  melemparkan senyumnya yang selama Aldo rindukan, membuat cowok itu ingin melompat dari panggung dan memeluknya. 

Setelah lima lagu yang mereka bawakan, para personil Galaksi Band kembali bergabung dengan anak-anak yang lain. Membiarkan pengisi acara lain menaiki panggung.

Berbagai macam makanan dan minuman disajikan di atas meja Buffett yang di ada di berbagai sisi. Ada spot photo booth di bagian lain yang penuh dengan antrian. Aldo lebih memilih menikmati segelas soda dan beberapa kudapan.

Beberapa kali Aldo ingin menghampirinya, menyapanya, atau bahkan mengajaknya pulang bersama, seperti dulu.  Namun, semua itu tertahan di kepalanya. Tubuhnya seakan menyatu dengan lantai di bawah kakinya.

Hampir tengah malam saat acara selesai. Di luar hujan lumayan deras. Membuat angin malam di bulan februari terasa semakin dingin.

Aldo berniat langsung pulang, menolak ajakan teman-temannya untuk berpindah tempat nongkrong.  Langkahnya menuju halaman sekolah tempat mobilnya terparkir, terhenti. Aldo kembali melihatnya.

Meskipun posisinya membelakangi Aldo, tapi cowok itu tetap mengenalinya. Rambut panjangnya sudah dipotong lebih pendek.  Menutupi ke dua sisi wajahnya saat menunduk. Mungkin memainkan ponselnya. Gaun warna bata yang dikenakannya juga membuatnya terkesan lebih dewasa. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang membuat kakinya tampak lebih indah. Semua yang ada pada dirinya menguarkan keindahan.

Tanpa sadar, Aldo memangkas jarak yang membentang di antara mereka hingga ia berdiri bersisian dengan gadis itu. Hanya memandangnya dari belakang saja tidaklah cukup bagi Aldo.


Dia menoleh, membuat Aldo  mendadak gelagapan.  Hingga yang bisa dia lakukan hanya melemparkan senyum canggung.

"Hai—“

Hanya satu kata itu dan seketika Aldo merasakan kehangatan menjalari benaknya. “Hai. Belum pulang?”

Gadis itu menggeleng. “Belum di jemput. Lo?”

Aldo menengadahkan telapak tangannya ke udara hingga terkena tetesan air hujan. “Nunggu reda.” Bodoh! Untuk apa cowok itu menunggu hujan reda kalau mobilnya hanya terparkir lima meter dari jaraknya berdiri. Menerobos hujan sebentar tidak akan membuatnya sakit, tapi pergi tanpa menyapa gadis itu oasti membuat Aldo gila.

"Apa kabar?" tanya Aldo. Bagaimana caranya mengepalkan tangan di saku celana adalah bukti sekuat apa Aldo menahan diri untuk tidak merengkuhnya.

"Baik. Elo?" Gadis menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

Astaga, aku ingin menyentuh rambutnya. Merasakan kehalusan di sana. "Baik juga."

Hening kembali menyelimuti mereka bersama kecanggungan yang begitu kentara. Dulu, mereka tidak mengenal basa-basi ataupun  rasa canggung. Merek bisa saling mengatai dan saling mengejek tanpa takut ada yang tersinggung.

Ah, dulu. Rasanya masih seperti kemarin.

"Kuliah di mana?" ucap mereka bersamaan.

Gadis itu tertawa. Meskipun terlihat canggung, tapi Aldo tetap menyukai tawanya.

"Lo dulu."

"Laddies first." Bantah Aldo.

Gadis itu  tersenyum. Apa yang harus kulakukan untuk melihat senyumnya lagi?

Gadis itu menyebutkan nama universitas dan jurusannya. Aldo juga menyebutkan hal yang sama.

Gadis itu mengusap lengannya. Aldo tahu dia kedinginan. Hujan dan angin malam bukanlah teman baiknya. Aldo sudah bersiap melepaskan jasnya saat sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan mereka.

Kaca bagian penumpang mendadak turun. Seseorang di balik kemudi menjulurkan kepalanya. "Nggak usah  ujan-ujanan!" ucapnya.

Gadis di sebelah Aldo tersenyum, menyetujui. "Gue pulang dulu ya, udah di jemput."

Oh tidak! Jangan lagi. Aldo tersenyum lalu mengangguk. Mengantar kepergian gadisnya  dengan perih yang sudah ia hafal sakitnya. Terlebih saat melihat pria itu melepas jaketnya dan memakaikannya di tubuh gadis itu. Sesuatu yang tak berani Aldo lakukan.

Merangkul gadis itu membelah hujan. Melindunginya agar tidak basah dan kedinginan.

Dia tersenyum dan menatap Aldo dari mobil, sebelum kaca itu kembali naik. Meninggalkan Aldo bersama suara retakan yang menggema di dadanya. Suara hatinya yang patah sekali lagi.

Aldo pikir, dia sudah melupakannya gadis itu.  Aldo pikir, semua perasaannya untuk gadis itu sudah mati terkubur waktu. Dia pikir, dia sudah maju. Melangkah jauh. Ternyata,  Aldo salah. Aldo tidak beranjak dari posisinya. Hatinya tetap tertambat pada gadis itu. Tak peduli selama apa dia pergi. Tak peduli sejauh apa dia melangkah. Tak peduli sekuat apa dia mencoba. Semua kehampaan yang selama ini dia rasakan. Kesepian yang menghantuinya,  bukan karena dia belum terbiasa di tempat baru. Namun, karena dia jauh dari pujaan hatinya 

Selama ini langkah yang Aldo pilih adalah menghindarinya. Berharap mampu mematikan perasaannya. Perasaannya untuk gadis itu tidak pernah mati. Aldo hanya mencoba mematahkannya. Namun, akarnya tetap bercokol di hatinya dan perlahan menumbuhkan batang baru.






Hello, Ku balik lagi bawa cerita baru. (Cerita lama apa kabar?) tenang saja. Akan aku lanjutin kok, cuma sekarang prioritasnya di sini. Ini adalah tantangan dari teman-teman #perempuanmenulis.

Semoga kalian suka sama cerita ini.

💜 Octaviana, mamaknya Ultramen

WAKTU AKU SAMA ALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang