1

1.3K 272 19
                                    

Drt..drt...drt...

Getaran ponsel di mejaku menandakan ada sebuah pesan masuk. Dengan malas aku segera mengambilnya. Dilayar tertera sebuah nomor asing yang tak kukenal. Penasaran, aku langsung membukanya

Ayin, selamat ulang tahun. Semoga sehat selalu dan sukses terus ya, Yin...

Sebuah pesan singkat yang langsung dapat kutebak siapa pengirimnya. Siapa lagi kalau bukan dari Mahesa, mantan suamiku. Karena hanya dia yang memanggilku dengan nama Ayin. Sebuah nama yang membuatku dulu merasa spesial di matanya. Sayangnya itu tak berarti apa-apa baginya. Baginya mungkin itu hanya penggalan kata yang memudahkannya untuk memanggilku. Aryani, disingkat menjadi Ayin. Itu saja, tak lebih.

Kami berpisah tidak bisa dibilang dengan baik-baik, tapi tidak juga menguras tenaga hingga menciptakan drama yang berkepanjangan.
Saat itu aku saja yang terluka. Selebihnya dari pihak Mahesa terlihat baik-baik saja.

Dari pengalamanku aku belajar, ternyata menikah dengan sahabatmu tidak menjamin pernikahanmu akan langgeng. Buktinya aku yang hampir setengah hidupku mengenal Mahesa, harus merasakan karamnya kapal pernikahan kami. Dengan kekalahan telak di pihakku.

Aku masih ingat bagaimana lemasnya tubuhku saat hakim mengetuk palu. Sungguh, aku salut melihat para artis yang masih bisa mengadakan kofrensi pers setelah mendapat keputusan hakim. Sedangkan aku, boro-boro diwawancarai, melihat tatapan orang saja aku rasanya tidak kuat.

Satu-satunya drama yang kuciptakan saat itu adalah aku jatuh pingsan ketika bersalaman dengan Mahesa untuk yang terakhir kalinya. Kalau kuingat-ingat itu, ingin rasanya aku menyurukkan kepalaku ke tanah.

Untungnya aku masih punya orang tua yang tidak pernah meninggalkanku. Pasca perceraian, aku memutuskan pindah ke kota lain untuk sementara. Pekerjaanku sebagai penulis membuatku bebas untuk melakukan apapun.

"Kenapa harus pindah sih, Yan? Di sini pun kamu bisa menata hidup lagi." Aku masih ingat dengan jelas bagaimana mama terlihat keberatan dengan keputusanku.

Tentu saja, orang tua mana yang tega melepaskan anaknya mengembara ke kota asing. Apalagi aku cuma putri satu-satunya mereka.

Namun tekadku sudah bulat. Aku sudah tidak ingin lagi bertemu dengan Mahesa. Makanya cuma itu cara satu-satunya yang kupikirkan sekaligus untuk menata hatiku yang telah hancur tak bersisa.

Sayangnya cerita hidupku tak seindah roman picisan yang kutulis. Kupikir dengan pergi meninggalkan kota kelahiranku maka aku akan berakhir bahagia. 

Pergi jauh, bertemu pria tampan yang kaya, lalu berakhir menikah dan bahagia selamanya. Kira-kira begitulah skenario yang kuharapkan tejadi dalam hidupku yang baru. Bonusnya adalah mantan suamiku menyesal, lalu memohon-mohon untuk kembali. Sempurnanya lagi, apabila ia jatuh miskin dan berakhir di penjara. Lengkaplah sudah kebahagiaanku.

Namun tenyata khayalan tak seindah kenyataan. Baru sebulan pergi menjauh, aku sudah terkena demam berdarah. Pikiran yang berat membuat berat badanku turun drastis. Boro-boro bertemu pria tampan, yang ada aku malah ditemukan oleh keluargaku di rumah sakit dengan keadaan tak berdaya. Di bawah tangisan mama, akhirnya aku terpaksa membiarkan diriku kembali pulang ke rumah orang tuaku.

Dan bisa ditebak, akhirnya skenario hidupku gagal tak bersisa. Mama dan papa memaksaku untuk tetap tinggal dengan mereka, tanpa bisa kubantah sama sekali.

Perlu dua tahun bagiku untuk kembali membangun rasa percaya diri. Tapi hanya dengan pesan singkat Mahesa hari ini, pria itu berhasil menghancurkan semuanya.

Aku kembali mengingat luka hatiku. Bayang-bayang pengkhianatannya mulai meracuni pikiranku.

Tidak dulu, tidak sekarang, Mahesa selalu berhasil menghancurkan kehidupanku.

Enak saja dia kalau berencana mau memasuki kehidupanku lagi. Jelas saja tidak akan kubiarkan. Cukup sekali aku terlena terhadapnya dan berakhir menjadi pesakitan karena patah hati. Kali ini tidak akan  kubiarkan Mahesa mengacak-ngacak kehidupanku yang sudah tenang sekarang .

Aku bertekad untuk tidak tergoda lagi atas kehadirannya. Kalau bisa dia menghilang saja tertelan bumi seperti selama ini.

"Aku harus kuat. Aku harus kuat."
Kata-kata itu terus ku ulang-ulang dalam benakku agar membuatku teguh dengan keputusanku agar tidak memikirkan Mahesa lagi.

Sialnya tanpa sengaja ujung jariku menekan foto profilnya. Seketika itu juga mataku langsung terbelalak sempurna ketika melihat wajahnya yang bertambah rupawan setelah menjadi mantan suamiku.

Ketampanan Mahesa jauh bertambah berkali lipat semenjak terakhir kali pertemuan kami di pengadilan negeri beberapa tahun silam.

Tidak, tidak, ini tidak adil bagiku!

Seharusnya aku yang berubah makin cantik, tapi ini kenapa malah Mahesa. Apa jangan-jangan dia melakukan operasi di Korea?

Tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi. Seingatku Mahesa termasuk pelit untuk hal begituan. Untuk sabun cuci wajahnya saja dia selalu pilih yang termurah. Jadi boro-boro dia menghabiskan uangnya untuk mereparasi wajahnya yang sedari kecil sudah terlahir tampan. Berbeda denganku yang sudah melakukan perawatan ekstra tapi masih juga begitu-begitu saja.

Makanya pelakor-pelakor jahanam di luar sana dengan mudah menggaet suamiku dulu. Karena mereka memiliki kecantikan yang diatas rata-rata. Sehingga tanpa harus bersaing aku terpaksa menerima kekalahan telak tanpa bisa berkutik

Kalau sudah begini, ingin rasanya aku berteriak sekuat tenaga meluapkan kekecewaan kepada sang pemilik segalanya.

"Oh Tuhan, kenapa harus aku yang menerima ketidak adilan ini?! Kalau aku boleh meminta tolong, ke depannya tolong ubah nasibku menjadi seberuntung Meghan Markle." 

Meskipun janda, tapi dapat pangeran yang mencintaiku apa adanya.

Tidak seperti Mahesa si kutu kupret. Menyebut namanya saja sudah membuat darah tinggiku naik.

Awas saja kalau dia berani muncul di depanku! Akan kubuat dia membayar semua dosa-dosanya kepadaku.

Ingat itu baik-baik...















Tbc....


KurenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang