2

1K 224 17
                                    

"Ma, barusan Mahes nge chat aku." Ceritaku kepada Mama saat kami sedang makan siang.

Wajah Mama yang tadinya sedang asyik menikmati ikan cakalang balado berganti menjadi merah. Aku tidak tahu, apakah ini karena efek pedasnya cabe, atau memang wanita yang mengandungku itu sedang murka.

"Apa?! Masih berani si Mahesa itu menghubungi kamu?" teriak Mama memelototiku dengan sangar.

Fix, berarti Mama bukan kepedasan. Wajah Mama memerah, asli karena mendengar nama mantan suamiku itu.

Aku menganggukkan kepalaku pelan.

"Mulai kapan dia menghubungi kamu? Jangan bilang diam-diam kamu menjalin hubungan dengan anak sontoloyo itu!"

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Enak saja Mama menuduhku seperti itu. "Baru tadi aja, Ma." jawabku jujur.

Mama terlihat tak percaya dengan jawabanku. "Jangan bohong kamu! Mama kutuk kamu sebagai kangkung, kalau kamu berani bohongi Mama,"ancam Mama sadis. "Tahu kamu artinya dikutuk menjadi kangkung?"

Aku menggelengkan kepalaku tidak mengerti. Jujur saja, baru kali ini aku dengar perumpamaan itu. Biasanya kan jadi batu. Apa mungkin karena ini efek kami bicara saat sedang makan? Jadi, kemarahannya pun harus dikondisikan sesuai tempat. Bisa saja, kan?

"Ma, kenapa kangkung? Yani tidak mengerti maksudnya," lanjutku memberanikan diri.

"Itu artinya, kamu layu sebelum berkembang! Masa itu aja kamu gak paham?" lirik mama sinis. "Makanya Yan, gaul dong kamu sekali-kali ke luar sana, jangan ngedon di rumah aja!"

Mak jleb banget bukan ucapan Mama barusan? Kalau gak ingat ini Mama kandung, udah ku adukan ini ibu ke KPAI. Ini kan sama saja dengan pasal penyiksaan anak dibawah umur.

Dibawah umur seratus maksudnya, hehehe...

Tapi kan tetap aja, yang namanya anak itu butuh kasih sayang. Jangan dikasarin, apalagi dihina. Itu dilarang keras sama agama dan negara.

"Awas aja kamu, kalau sampai balik lagi sama lakik gak bener itu, Mama penjarakan kalian berdua kalau  itu terjadi!" ancam Mama kepadaku dengan mata mendelik sadis persis tokoh antagonis dalam sinetron ratapan anak tiri.

Takut...

"Enggak mungkin lah,Ma," jawabku cepat sambil melambaikan tanganku. Lagipula siapa yang mau kembali berhubungan dengan mantan suami tersakit ku itu. "Kayak gak ada pria lain aja!"

Mama sepertinya masih tidak percaya dengan ucapanku. "Buktinya sampai dua tahun menjanda, kamu masih sendiri saja. Mana pria lainnya? Buktikan dong?" Mama menatapku dengan remeh.

Aku jadi bertanya-tanya, apa benar memang aku anak kandung Mama? Kelakuannya kok gini amat ya sama aku?

"Belum ada aja yang cocok, Mama sayang..." aku sengaja mendayu-dayukan suaraku, "Nanti kalau ada yang cocok, langsung deh kubawa ke depan  Mama dan Papa, biar puas Mama."

"Bener ya, Mama pegang ucapanmu."

"Iya, Mama sayang..." aku sampai tersenyum selebar mungkin untuk semakin memperkuat bualanku. Padahal yang benar saja, jangankan sampai tahap mengenalkannya ke orang tuaku, melirik aku aja sampai sekarang gak ada. Sedihnya hidupku, hiks...

Siapa yang bilang, janda selalu terdepan? buktinya, sampai sekarang masih juga aku gak laku-laku. Pembohongan publik itu namanya.

Sibuk dengan lamunanku, tahu-tahu Mama sudah gercep menelpon Mami, alias ibu mertuaku.

Sedikit informasi, setelah perceraianku dengan Mahesa, hubunganku dengan keluarga besarnya masih baik-baik saja. Malahan keluarganya lebih memihak kepadaku dan memilih untuk tidak mau berhubungan lagi dengan Mahesa setelah kami bercerai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KurenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang