Kita sedang menyelidikinya, teman!

27 4 1
                                    


Brak!

“Apa ini?” Nisya bertanya bingung. Pipit menatapnya penuh semangat.

“Salah satu sepupuku membuka kursus bela diri, kau mau daftar? Tenang saja, tidak memungut biaya. Kau bisa ambil jatah kursusku.”

“Terima kasih, tapi…”

“Ah! Kau tidak suka? Kalau begitu bagaimana dengan bibiku? Dia juga buka kursus bela diri khusus untuk perempuan, ini bela diri untuk menjaga diri dari penjahat! Atau…”

“Hentikan ini, Pipit.” Hamdi membereskan selebaran yang bertebaran di atas meja Nisya.

“Maaf, Nisya… Aku hanya ingin membantu…”

“Nah, bagaimana dengan membantu Yumda? Ia kesulitan mengerjakan tugas bahasa Inggri…”

“Ah, aku lupa Bu Iffa memanggilku tadi, baiklah aku pergi dulu!” Pipit bergegas menjejal selebaran ke dalam tasnya lalu pergi. Hamdi menggelengkan kepalanya.

“Ibumu sudah pulang?” Tanya Hamdi, Nisya mengangguk.

“Tiga hari yang lalu…”

“Sudah lama ‘kan? Dan ‘dia’ tak mengganggumu lagi. Bagaimana kakimu?”
Nisya mengangguk sambil tersenyum.

“Sudah membaik.”

“Senang mendengarnya, aku rindu bisa pulang bersamamu lagi.”
Nisya tersenyum lagi, sejak kakinya cedera ia selalu pulang bersama Disha dengan sepeda motornya. Berkat Disha pula ia berhasil menutupi alasan kakinya terluka, dari ibu tentunya.

“Mungkin hari ini aku bisa pulang jalan kaki, kakiku tidak terasa sakit lagi.”

“Baiklah, tapi jangan memaksakan diri. Dan jangan menolak jika aku ‘perlu’ menggendongmu.”

Nisya melotot, Hamdi tertawa melihatnya.

***

Bel pulang terasa lebih cepat daripada yang ia rasakan, entah karena sepanjang hari ini ia
melamun atau tidak. Nisya meraih tasnya dan beranjak keluar kelas, menuju ke gerbang sekolah dimana biasanya Hamdi menunggunya disana.

“Nisya.” Jelas panggilan itu menandakan sesuatu yang tidak beres.

Nisya menoleh.

Dihadapannya adalah orang itu lagi, Siddi dengan senyuman tipisnya yang amat mengerikan hingga ia berpikir seharusnya pria dingin itu lebih baik tidak usah tersenyum saja.

“Selamat siang, Nisya. Ibumu memintaku untuk menjemputmu hari ini.” Ucapnya. Nisya mengepal kedua tangannya, memperlihatkan ketidaksukaannya terang terangan kepada Siddi.

“Apa yang anda inginkan dariku?” Nisya yakin ada sesuatu dibalik rencananya.

“Kau tidak mau makan siang di rumah? Baiklah, Ayo kita makan di restoran.” Siddi menggamit tangan Nisya, namun dengan segera ditepis gadis itu dengan kasar.

“Tidak, tidak! Aku punya banyak tugas dan tidak sempat untuk bersenang-senang, jadi katakan apa yang anda inginkan dariku dan selesaikan disini saja.” Nisya bersikeras, jika Siddi ingin membuatnya menjadi patuh ia harus berusaha lebih keras lagi.

“Aku hanya disuruh ibumu untuk menjemputmu. Untuk menyelesaikannya, kamu hanya
perlu katakan ‘oke’ dan ikuti aku.” Ucap Siddi lagi, nadanya datar seolah mengisyaratkan bahwa ia tak akan terpancing amarah walaupun Nisya tetap bertingkah.

Nisya hampir kehabisan akal untuk menghadapi Siddi, satu hal yang ia tahu adalah tidak mungkin ibunya mengenal Siddi apalagi mempercayakan tanggung jawab pada pria itu.

“Akan kutelepon ibu, untuk memastikan anda jujur.” Nisya mengeluarkan ponselnya dan
menelepon ibunya. Tapi, keberuntungan tidak berpihak padanya.

Telepon tidak diangkat.

Nisya menoleh pada Siddi, ia terlihat datar tanpa khawatir sedikit pun jika ibunya berhasil ditelepon. Nisya menjadi curiga dengan ketenangannya itu, apa ia sudah merencanakan hal itu.

“Anda… Anda…” Nisya mulai gemetaran.

“Nisya!” Hingga akhirnya bantuan itu datang. Nisya menoleh, Hamdi berlari ke arahnya dengan wajah panik.

“ya, Hamdi?”

“untunglah kau belum pulang, wali kelas mencarimu! Ayo ikut aku!”

“Mendesak?” Walaupun ia tahu walikelas memanggilnya tetap saja ia ingin menyelesaikan masalah dengan pria itu dulu.

“Segera! Cepatlah, beliau sudah lama mencarimu!” Desak Hamdi.

“Baiklah. Nah, bolehkah anda menunggu sementara aku menyelesaikan urusan dengan wali kelas?” Tanya Nisya sopan.

“Pergilah, Jangan lama.”

Nisya menyusul Hamdi yang sudah duluan berlari masuk ke perkarangan sekolah.

“Dimana beliau?”

“kau ini! Hampir saja kau akan berkelahi di depan banyak orang.” Hamdi menyeka keringatnya dengan sapu tangan.

“Jadi, wali kelas tidak mencariku?” Nisya curiga Hamdi mengajaknya hanya untuk membawanya menjauh dari Siddi.

“tentu saja, tapi tidak sekarang.” Kelakar Hamdi.

“sama saja.” Nisya memayunkan bibirnya. Hamdi tersenyum, lalu raut wajahnya menjadi serius.

“Dengarkan! Mana ponselmu? Nah, ini nomorku. Jika orang aneh itu mengapa-apakanmu, telepon aku.” Hamdi mengetikkan nomor ponselnya di ponsel Nisya.

“Aku tidak akan pulang dengannya.” Tegas Nisya, sambil menerima kembali ponselnya.

“tentu kau harus! Disha sedang mengambil motornya, kami akan mengikutimu dari
belakang.”

“Aku tidak ak…”

“Dengarkan aku dulu, kita harus menemukan tempat persembunyiannya. Aku yakin ada
banyak informasi lain di dalam tempat persembunyiannya. Sementara yang lain memeriksa
tempat persembunyiannya, kau alihkan dia.”

“Apa?!” Nisya tidak mempercayai pendengarannya, sungguhkah temannya menjadi gila akibat keterlibatan mereka dengan kawanan pembunuh?

“Jangan khawatir, selalu terhubung denganku. Aku akan memberitahu setiap ada perkembangan baru, itu disha! Oke, kita semua sudah siap. Pergilah, Nisya. Ya ampun, telepon dari Yumda. Halo, Yumda? Belok kiri! Hati-hati jika melihat orang lain, kawasan itu sangat sepi dan aneh jika ada orang disana.”

Nisya kembali ke gerbang dengan langkah kaku, ia masih belum mempercayai apa yang direncanakan teman-temannya.

“Bagaimana? Ayo pulang.” Ajak Siddi, Nisya mengikutinya dengan pasrah.

Sekali lagi, ia tidak mampu melawan Siddi. Bagaimana lagi, teman temannya sudah mengorbankan diri untuk menyelidiki, jadi ia juga harus.

“baiklah…”

Siddi membawanya menuju lorong buntu dimana sebuah mobil terparkir dengan tenang. Nisya terkejut, ia tidak menyangka Siddi memiliki mobil.

“Ini… Mobil anda?”

“Ya. Kenapa?”

“Tidak…”

“hanya karena tempat tinggalku begitu buruk, kau menyangka hidupku sulit?”

“Ti..dak! Kurasa yaah…” Nisya kebingungan, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapa sebenarnya pria ini?

“Hei, tadi anda menjanjikan makan siang diluar.”

“Aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.”

“Pria harus memegang janjinya.”

“baiklah, ayo kita makan diluar. Makan siang itu tidak seberapa daripada mencabut identitasku sebagai pria.”

Draft Ver: Potrait (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang