Beberapa detik, menggantung dalam kesunyian. Beberapa detik yang terasa selamanya, sebelum Bagas melepaskan cengkramannya pada lengan Nila. Lelaki itu menghela nafas beberapa kali, seraya bergerak-gerak dalam gelisah.
“Kita harus bicarain ini semua di rumah, Nila. Dengan kepala dingin. Ayo pulang.” Bagas mengulurkan tangannya, namun Nila justru menoleh, berpura-pura tak melihat uluran tangan Bagas.
“Nila udah lelah, Bang. Pernikahan kita juga gak punya masa depan, jadi untuk apa kita pertahanin?”
“Nila, please, kita gak bisa bicarain ini, di sini.”
“Yah, suamimu benar. Lebih baik kalian pulang, dan membicarakan apapun yang harus kalian bicarakan.” Andrew turut bicara, setelah bisa mengatasi keterkejutannya.
“Atau kamu,” kata Bagas, menoleh ke arah Andrew, masih dengan sengit, “bisa keluar dan tinggalkan kami berdua.”
“Abang!” pekik Nila jengkel. Nila masih belum mengerti mereka berkelahi karena apa. Tapi harusnya Bagas bisa menghargai Andrew sebagai atasan dari istrinya–walau Bagas tak pernah menganggapnya sebagai istri–. Nila menoleh ke arah Andrew. “Maafkan aku atas semua kekacauan ini, Andrew. Dan luka-lukamu itu....”
“Tak masalah, Dalina,” kata Andrew tertawa, “Aku seperti kembali kejaman sekolah, di mana otot lebih diandalkan dibanding otak.”
“Aku sungguh-sungguh minta maaf.”
“Ini bukan salahmu, ini salah seorang brengsek, yang sialnya adalah suamimu.”
Bagas hanya mendengus. Otaknya tak mampu memikirkan kata-kata balasan untuk Andrew, di saat dia sedang memikirkan apa yang harus dia katakan pada Nila untuk membuat semua ini kembali normal. Normal? Bahkan, sejak awal, tak ada kata normal dalam hubungan mereka. Dan salah siapa semua ini?
“Maafkan aku. Dan kamu harus segera pergi ke dokter. Biar tagihannya kamu potong dari gajiku.”
“Gak perlu, Nila, Abang bisa....”
“Abang!” bentakan Nila kali ini menghentikan gerakan tangan Bagas yang ingin mengambil dompet di kantung belakang celananya. “Kami memang harus pulang. Sampai bertemu besok, Boss. Dan sekali lagi, aku minta maaf.” Nila meraih tangan Bagas dan menarik lelaki itu keluar dari kamar.
Bagas hanya terdiam, sampai mereka berdua berada di dalam lift.
“Kamu bisa melepaskan tanganku, dan berhenti bersikap seolah aku remaja kemarin sore.”
“Nila gak ngerti, apa yang membuat Abang bersikap brutal kaya gini. Abang yang selama ini Nila nilai dewasa, ternyata gak lebih baik dari preman yang suka adu jotos!”
“Brutal? Aku? Kamu gak mikir, jika bisa aja ini semua lelaki bule itu yang mulai?”
“Andrew gak akan bersikap kaya gitu, Bang! Nila kenal dia!”
“Dan kamu gak kenal aku? Bahakan kamu mengenalku jauh lebih dulu, Nila!”
Nila terdia beberapa saat. “Dulu, Nila kira, Nila kenal Abang, tapi ternyata engga. Seperti bulan, Abang nampak bersinar dari kejauhan, tapi setelah didekati, kalian hanya permukaan gersang, yang bahakan tak dapat ditinggali.
Bagas membeku. Perkataan Nila seolah menusuk tepat dihatinya. Mungkin Nila memang benar. Bagas layaknya bulan yang mempunyai sinar palsu yang diambilnya dari bintang-bintang disekitarnya. Sama seperti ketika bersama Nissa dulu, mereka nampak bahagia, Bagas nampak begitu mencintai dan memuja Nissa, tanpa ada yang tau kenyataan yang sesungguhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Untuk Nila (E-book Di Google Play Store)
RomanceAku, bahkan tak layak di sebut sebagai Istri...