Nila mengerjap ketika kesadaran samar-samar merasukinya, lantas tersenyum senang saat sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya, merengkuhnya untuk semakin erat menempel pada dada lelaki itu.
Ini bukan mimpi. Nila masih bisa mengingat setiap detail yang terjadi semalam. Dia juga masih ingat, ketika dua kali harus terbangun saat Bagas mengganggu tidurnya dengan sentuhan-sentuhan intim yang membangkitkan gairahnya, dan sekali lagi terbangun ketika mendengar Setya menangis dari kamar sebelah.
“Kenapa kamu terus berkedip? Bulu matamu menggelitiki daguku.” Kata Bagas dengan mata yang masih terpejam. Lelaki itu memeluk Nila dengan kedua tangannya.
“Nila harus siap-siap untuk kerja, jadi bisakah Abang lepaskan Nila?”
Bagas membuka matanya dengan wajah memberengut.
“Bisakah hari ini kamu ijin lagi? Bilang saja kepalamu masih sakit dan mengganti hari liburmu untuk hari ini.”
“Tapi ini hari minggu, akan banyak sekali pekerjaan di
hotel.”
“Tapi hotel itu tidak akan bangkrut jika kamu tidak masuk di satu hari minggu.”
“Tapi...”
“Besok aku akan pergi ke Surabaya selama tiga hari, jadi tolonglah, hari ini habiskan waktumu bersama aku dan Setya.”
Nila menyandarkan dagunya di dada Bagas untuk bisa menatap wajah lelaki itu.
“Ke Surabaya? Tiga hari? Kenapa Abang baru bilang sama Nila?” Nila menggigit bibirnya, menyesali kelancangan pertanyaannya. Bagaimana jika karena pertanyaan itu, Bagas berubah menjadi pria menyebalkan lagi? Namun ternyata lelaki itu justru tersenyum. Dia mengelus lembut kepala Nila.
“Karena baru sekarang komunikasi kita membaik.”
“Dan Nila harap akan tetap seperti ini.”
“Semalam Abang udah janji, dan sebisa mungkin aku akan menepati janji itu. Maafin aku, Nila, aku sadar selama ini bersikap begitu buruk.”
“Jika Nila boleh tau, apa yang membuat semua keadaan ini berubah, Bang?”
Bagas terdiam, dan Nila berdoa dalam hati, semoga pertanyaannya kali ini tidak menyinggung sisi menyebalkan Bagas. Lelaki itu mengecup ujung hidung Nila.
“Bisakah kita lupakan saja semua yang sudah berlalu, dan memulai semuanya dari sini?”
Nila tersenyum seraya mengangguk. Dia beranjak duduk, mengundang jemari Bagas untuk bermain dengan gaun tidur
Nila.
“Kapan kamu memakai ini? Seingat Abang ketika terakhir kali kita...”
“Setya menangis jam tiga tadi,” potong Nila cepat-cepat. Wajahnya memerah, rasanya wajar saja jika dia masih belum terbiasa dengan keintiman ini.
“Dan sekarang, boleh Abang melepasnya lagi?”
Kalau tadi wajah Nila hanya memerah, kini rasanya sudah hangus terbakar. Buru-buru dia turun dari tempat tidur karena tahu Bagas hanya meledeknya.
“Nila mau melihat Setya!” katanya sambil melangkahkan kaki, namun Bagas tak membiarkannya begitu saja. Lelaki itu menarik gaun tidur Nila, membuat tubuh wanita itu kembali terduduk di pinggir tempat tidur.
Tempat tidur terasa berderak ketika Bagas merangkak menghampiri Nila. Wanita itu memejamkan matanya, ketika napas panas Bagas menyentuh telinganya.
“Apa semalam aku bilang, jika kamu nampak menggemaskan dengan wajah malu-malu itu.” Bisiknya mengelus pundak Nila.
Dan Nila bisa apa, ketika Bagas kembali menariknya untuk tetap berada di atas tempat tidur?
***
“Ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Bagas, Nila?” tanya Bu Rahmi, ketika dia dan Ibunya itu membuatkan minuman untuk suami-suami mereka yang tengah berbincang di ruang keluarga. Bagas yang menyarankan untuk mereka datang kerumah orangtua Nila, menengok Bapak yang kemarin baru keluar dari rumah sakit.
“Gak ada apa-apa, Bu. Kenapa Ibu tanya kaya gitu?”
“Kok kalian tampak berbeda ya? Tampak lebih sumingrah. Padahal dulu Ibu gak liat kebahagian kaya gini diwajah kalian, waktu kalian baru aja nikah.”
Nila tertawa. “Ibu ini pakar mikro ekspresi yah? Kayanya seneng banget menganalisa raut orang.”
“Tapi benar „kan? Pasti ada sesuatu yang terjadi? Biasanya senyum kamu juga gak selebar ini. Kenapa? Kamu hamil?”
Nila tertawa.
“Nggak, Ibu, udah ah... ayo kita kedepan. Mereka pasti udah nunggu-nunggu kopinya.” Dia membawa baki yang di atasnya berisi tiga cangkir kopi dan satu cangkir teh. Sedangkan Bu Rahmi membawa sepiring penuh pisang yang kebetulan belum lama ia rebus untuk cemilan suaminya, beriringan mereka berjalan keruang keluarga,
“Ibu sih seneng kalau kalian bahagia.”
“Alhamdulillah, Bu, kami bahagia.” Dan semoga selamanya akan seperti ini.
Sampai di ruang keluarga, Nila menaruh cangkir kopi di hadapan Bapaknya, di hadapan Bagas dan di hadapannya sendiri. Sedangkan teh untuk Ibunya. Setelah menaruh Baki di bawah meja, dia mengambil Setya dari gendongan bagas dan mengambil posisi duduk di sisi Bagas.
Bagas menyesap beberapa teguk kopi, sebelum kembali terlibat obrolan dengan Pak Dahlan, sementara itu Nila mengajak bicara Setya yang ternyata sudah mulai mengerti dengan tersenyum dan turut bergumam tak jelas.
Namun, ketika Bagas bersandar ke sandaran sofa dan merangkul bahu Nila, Nila terhenyak. Dia merasakan jemari Bagas bermain-main, membuat lingkaran di atas kulitnya lengan atasnya yang langsung membuat Nila merinding.
Nila menoleh, tepat ketika Bagas juga menoleh padanya, lantas mereka bertukar senyum. Senyum menggoda dari Bagas, sedang senyum malu-malu dari Nila.
Hidup mereka sudah terasa sempurna. Terlalu sempurna malah, sehingga terasa menyeramkan jika ternyata semua itu memang hanya mimpi indah yang akan berakhir secepat membukanya kelopak mata.
***
Baru kemarin Bagas pergi ke Surabaya, namun Nila sudah sangat merindukannya. Beruntung lelaki itu selalu menyapanya, entah lewat chat blackberry messenger atau lewat telpon. Pernah juga lelaki itu menghubunginya lewat video call. Mereka nampak seperti pengantin baru yang sesungguhnya. Walau Nila tidak tahu kenapa semua bisa berubah dengan cepat, Nila tetap mensyukurinya sebagai sebuah anugrah paling indah, yang Tuhan berikan padanya.
Pintu ruang kerjanya terbuka, menampakan Andrew dan... gadis remaja itu? Anak menteri yang mengekor di belakang Andrew dengan dagu terangkat angkuh. Nila berdiri.
“Ada apa ini?” tanya Nila menatap Andrew bingung.
“Maaf baru bisa membawa gadis nakal ini ke hadapanmu,” Andrew menarik lengan Nila dan membawa remaja itu ke hadapan Nila.
“Cepat katakan apa yang seharusnya kamu bilang!” kata lelaki itu pelan, namun ketegasan dalam suaranya sulit untuk dibantah.
Gadis itu menatap Nila dengan pandangan mencela seperti biasa. “Maaf,” katanya singkat dan langsung memalingkan wajah, menandakan jika dia sangat terpaksa.
Namun Nila hanya tersenyum. Entahlah, mungkin dia harus berterimakasih juga dengan gadis ini. Bisa jadi karena dia, hubungan Nila dan Bagas jadi sangat baik.
“Aura!” tegur Andrew atas cara gadis itu meminta maaf.
“Tidak masalah, Andrew, lagi pula aku tidak apa-apa. Hm... kalian saling mengenal?” tanya Nila memiringkan kepala. Bagaimana bisa Andrew membawa gadis keras kepala itu ke sini?
“Kamu beruntung kali ini karena Kak Nila baik padamu.
Kamu boleh pergi.” Ujar Andrew sambil bertolak pinggang.
“Tapi jangan lupa dengan janjimu! Jangan bohongi aku!”
“Aku tidak akan lupa. Aku akan datang!”
Gadis itu mendengus, sebelum berbalik dan pergi dengan langkah menghentak.
Andrew menghela napas, lalu beranjak duduk di kursi kerjanya. Nila mendekati dan berdiri di seberang meja kerja lelaki itu. Andrew memijat tengkuknya dengan lelah.
“Nama gadis itu Aura? Kamu kenal dengan dia?”
Lagi-lagi Andrew menghela napas, dia menatap Nila dengan seksama. “Karena kamu sudah membagi satu rahasiamu, aku akan membagi satu juga rahasiaku.” Andrew terdiam cukup lama, seolah ragu. “Dia... Adikku.”
“Apa?!” Nila tidak tahu bagaimana wajah terkejutnya, namun dia yakin itu tidak akan terlihat cantik. “Kamu bercanda?”
“Apa aku nampak bercanda?”
“Maksudku... lihat, kamu lelaki bermata biru, sedangkan dia... tidak ada wajah western dalam rautnya.”
“Kami memang beda Ibu, dan aku lebih mewarisi gen Ibuku. Mungkin karena itu juga, karena tidak ada sesuatu yang nampak asia dalam diriku, lelaki itu tidak mengakui diriku. Karena baginya, Ibuku hanyalah wanita penghias masa remajanya.” Andrew tidak bisa menghapus raut muak dari wajahnya.
“Aku... aku tidak mengerti, Andrew.”
“Ibuku bertemu dengan lelaki itu ketika lelaki itu sedang bersekolah di salah satu Universitas di Perth. Mereka samasama pelajar dan saling suka. Ketika Ibuku hamil, lelaki itu tak percaya bahwa aku adalah anaknya. Dia tidak mau bertanggungjawab sampai aku lahir dan melakukan tes DNA. Namun, setelah aku lahir dengan mata biru ini, dia semakin tidak mengakuiku dan malah pindah sekolah ke London.” Andrew mendengus dengan muak, dan mengusap wajahnya sedikit kasar.
“Dan Aura adalah Anak lelaki itu dengan Istrinya.”
“Lalu, janji apa yang harus kamu tepati, untuk dapat membawa Aura ke sini?”
Andrew terdiam, lalu menghela napas lagi. “Aku membenci mereka,” katanya dengan tatapan menerawang.
“Apakah adil, jika Ibuku harus bekerja keras menghidupiku, karena orangtua Ibuku tidak mau membiayainya lagi, sementara mereka hidup sangat senang?
Aku datang untuk mengacaukan itu. Namun, semuanya gagal. Istri lelaki itu nampak tak peduli, sementara Aura malah meminta perhatian dariku. Katanya, jika aku memang Kakaknya, aku harus peduli dengan dia seperti Kakak pada umumnya. Bukankah itu sangat bertolakbelakang dengan keangkuhannya? Dan akhirnya aku mengerti, jika Aura hanya membutuhkan perhatian yang tidak ia dapatkan dari Ibu sosialitanya, serta Ayah super sibuknya. Dan aku tetap tak bisa memberikan itu padanya. Dan janji itu, hanya janji makan malam bersama.”
Nila sadar betapa bencinya Andrew pada Ayahnya, terbukti dengan panggilan “Lelaki itu” sebagai pengganti panggilan Ayah. Tapi pasti ada sesuatu yang membuat Andrew bertahan di negara lelaki yang dia benci. Nila tersenyum seraya meremas pelan tangan Andrew.
“Aku tidak akan bertanya apa-apa, karena yakin itu pasti melukaimu. Tapi aku ingin bilang, jika pada dasarnya kamu menyanyangi Adikmu. Kamu bertahan di sini karena dia bukan? Berhentilah bersikap keras, dan rengkuh dia ke sisimu.”
“Entahlah...” Andrew menepuk pelan punggung tangan Nila yang meremas lengannya yang lain. Hatinya selalu merasa damai, jika melihat senyuman Danila. Oh, sial!
***
Besok Bagas pulang, Nila sudah tidak sabar menunggu lelaki itu. Sesuai pesannya sebelum pergi, Nila disuruh memindahkan barang-barangnya ke kamar sebelah, kamar mereka. Nila tersenyum, mereka akan satu kamar.
Dia membuka lemari, berniat merapihkan pakaian Bagas sebelum dia memasukan pakaiannya ke dalam sini.
Perasaan ini... perasaan bangga ini rasanya memenuhi hati Nila dan membuatnya sesak dengan kebahagiaan. Seperti mimpi menjadi nyata, atau seperti mencapai cita-cita yang awalnya tidak yakin bisa dicapai karena menggantungnya terlalu tinggi. Namun ternyata semua bisa direngkuhnya. Dan ini benar-benar sebuah anugrah.
Wanita itu sedang merapihkan setumpuk kaos berkerah milik Bagas, ketika tangannya menyentuh sebuah buku. Buku bersampul kulit coklat itu dia kenali sebagai buku catatan Nissa, karena buku itu selalu dibawa Nissa kemanapun semenjak kakaknya itu menjadi mahasiswi.
Nila meraihnya, melihat-lihat isinya perlahan. Melihat buku ini sungguh seperti melihat kakaknya kembali hidup. Semua jadwal waktu dia kuliah dulu, semua rencana-rencana hidupnya, semua kegiatan sehari-harinya, semua tertulis di sana.
Nila beranjak, duduk di sisi tempat tidur. Di belakangnya Setya sudah terlelap dari beberapa jam yang lalu. Nila terus membalik setiap halaman, dan seolah tenggelam dalam sosok kakaknya yang cantik, pintar, dan selalu membuat Nila iri, walau nyatanya rasa iri itu tidak pernah membuat rasa sayang pada kakaknya berkurang barang sedikitpun.
Sesekali dia tersenyum geli, ketika membaca kata-kata makian pada sesuatu atau seseorang yang tidak sesuai dengan idealis Nissa. Atau tersenyum bangga ketika membaca kata-kata bijak yang dibuat kakaknya itu.
Untuk beberapa lama Nila terus membolak-balikan buku catatan itu. Dia baru saja akan menutupnya, ketika sebuah foto yang nampak kucal mencuat dari sela-sela buku yang hampir menyentuh bagian belakang.
Nila menariknya, dan merasa heran ketika foto itu adalah foto dirinya. Dia membaca beberapa halaman akhir yang ditulis kakaknya, halaman yang terselip foto kumalnya, dan merasa tertampar. Halaman-halaman yang nampak bergelombang di beberapa tempat karena... air mata yang mengering, adalah halaman-halaman yang mengungkapkan, bertapa sakit hatinya Nissa, ketika tau jika ternyata... Bagas mencintai Nila.
Bagas mencintai Nila...
Tapi kenyataan itu tidak benar-benar membuat Nila senang, karena setiap kata yang ditulis Nissa dengan setiap derai air mata yang mengiringinya, membuat dada Nila terasa sesak. Nissa... di saat dia harus berjuang untuk melahirkan anaknya, dia justru mendapat stress yang amat berat dari rahasia kelam hati suaminya.
Dan bahkan tidak sedikitpun wanita itu membenci Nila. Nila ingat bagaimana kakaknya menggenggam tangannya dan bilang jika dia menyanyangi Nila sebelum diamasuk ke dalam ruang bersalin.
Awalnya, Nila tidak mengerti. Awalnya, dia pikir itu hanyalah pertanda jika kakaknya tidak akan keluar dari ruang bersalin itu dengan nyawa dalam raganya. Tapi sekarang dia mengerti... Nila mengerti, jika betapapun sakitnya Nissa mengetahui kenyataan itu, Nissa tetap menyayanginya. Lalu, apa yang dilakukan Nila sekarang? Berbahagia di atas setiap duka kakaknya?
Titik-titik air mata Nila semakin membuat permukaan kertas itu nampak kumal. Dan dia terisak dengan memeluk buku catatan kakaknya. Buku catatan yang telah mengubah segalanya.
***
Nila baru pulang menjelang tengah malam. Dia duduk di ruang depan sembari menangkup wajahnya dengan lelah. Hari ini Bagas pulang, lelaki itu meminta Nila pulang lebih cepat, tapi dia justru memperpanjang jam kerjanya. Dia belum tahu harus berbuat apa untuk mengatasi rasa bersalah di hatinya.
“Nila?” panggilan itu diiringi dengan suara klik dari saklar yang membuat lampu ruangan itu menyala dengan cahaya yang terasa menusuk mata Nila. Nila menyerngit dan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Kamu sudah pulang? Kenapa tidak membalas pesanku atau mengangkat telponku? Kenapa kamu tidak pindahkan barang-barangmu?”
Nila berdiri. “Nila lelah, Bang, besok saja kita bicara.” Dia berjalan, hendak melewati Bagas ketika lelaki itu meraih lengannya, namun langsung ditepis Nila dengan kasar, membuat kerutan dalam di kening Bagas.
“Ada apa denganmu?”
“Nila bilang, Nila lelah!”
Bagas terdiam cukup lama, sebelum kembali meraih lengan
Nila. Kali ini Nila tidak menepisnya, walau nampak keengganan dalam rautnya. “Ayo ke kamar, Abang bisa pijitin kamu.”
Nila melepaskan lengannya perlahan. “Maaf, Bang, Nila mau tidur di kamar Nila sendri.”
“Danila! Ada apa dengan dirimu? Aku baru saja pulang, dan aku merindukanmu! Dan rasanya, kamu juga bilang merindukanku, bahkan sebelum 24 jam aku pergi! Tapi sekarang... ada apa?”
Nila terdiam. Dia memejamkan matanya untuk menghilangkan bayangan kakaknya yang menangis di setiap malamnya ketika telah mengetahui perasaan Bagas yang sebenarnya, namun tidak berhasil. Bayangan itu malah semakin nyata.
“Bolehkah Nila bertanya?”
“Tentu saja,”
“Sejak kapan Abang mencintai Nila?”
“Apa?!”
“Sejak kapan Abang mencintai Nila dan mengkhianati Kak
Nissa?”
“Apa maksudmu sebenarnya?”
Nila mulai menitikan airmatanya. Rasa bersalah seolah menusuk-nusuk hingga ketulang sum-sumnya. “Nila udah tahu semua, Bang. Nila udah baca buku catatan Kak Nissa... dan apa yang kita lakuin, di atas kesedihan dia ini?” dia mulai terisak, membuat Bagas terdiam cukup lama sebelum menghela napasnya.
“Apa artinya semua ini kita bahas sekarang? Nissa udah tenang di Sana, Nila, kita tidak berhak menganggu ketenangan dia, dengan terus membawa-bawa dia dalam urusan rumah tangga kita! Rasa bersalah itu juga pernah menghantuiku, tapi jika dipikir lagi...”
“Nila gak bisa, Bang... Nila gak bisa kaya gini. Nila juga mencintai Abang, bahkan sejak pertama kali Nila ketemu sama Abang. Kita mengkhianati Kak Nissa, Bang. Kita mengkhianati dia!” Nila menangkup wajahnya dan menangis tersedu.
Bagas tertegun. Tidak tahu harus merasa senang atas kenyataan yang ia baru saja dapat atau harus terbawa pada rasa bersalah Nila. Jadi, selama ini bukan karena terpaksa Nila menikah dengannya? Bukan karena hanya untuk menuruti keinginan orangtuanya? Tapi Nila mencintainya...
“Nila...” Bagas meraih pundak Nila untuk memeluk wanita itu. Tapi, seperti kesetanan Nila berteriak.
“Jangan sentuh Nila! Mulai sekarang jangan pernah Abang nyentuh Nila!”
“Nila...” keterkejutan membuat suara Bagas sekecil bisikan angin. Benarkah ini Danila-nya? Kemarahan yang tak pernah
Bagas lihat sebesar itu, walau dulu sikap Bagas begitu menjengkelkan, menari-nari dimata Nila. Seolah semua yang terjadi adalah salah Bagas. Seolah Nila menyalahkan Bagas atas segalanya... termasuk kematian Nissa.
“Sejak awal semua ini sudah salah. Sejak awal hubungan ini sudah salah. Abang, Nila minta Abang untuk menjatuhkan talak pada Nila. Nila... minta kita bercerai secara agama dan hukum!” “Nila!” kini kemarahan yang sama berkilat di mata Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Untuk Nila (E-book Di Google Play Store)
RomansaAku, bahkan tak layak di sebut sebagai Istri...