Part 12

44.6K 980 112
                                    

Happy Ied Mubarak, mohon maaf lahir dan batin semuanya ^^

______________________________________________________________________________

Hampir sebulan semenjak hari itu. Sebulan yang berjalan cepat dan menyenangkan. Nila sudah kembali ke rumah orangtuanya, walaupun orangtuanya tidak tahu secara mendetail alasan perpisahan mereka. 
     Awalnya bahkan Ibu dan Bapak Nila tidak setuju dengan perpisahan itu, namun, setelah Bagas dan Nila jelaskan jika ini demi kebahagiaan mereka, Bapak dan Ibu menyerah... mau bagaimana lagi?
     Nila masuk ke dalam mobil Bagas. Kini hampir setiap hari Bagas mengantar-jemputnya. Aneh memang, hal itu dulu jarang sekali dilakukan, ketika mereka masih terikat tali pernikahan. Tapi kini, setelah mereka bukan siapa-siapa, kecuali teman, mereka malah sering pergi bersama. 
     “Kenapa lama?” tanya Nila, memakai sabuk pengamannya, sementara mobil mulai meluncur mulus di jalan raya.
     “Tadi ada sedikit penyambutan untuk Clara. Dia sudah resmi menjadi salah satu direktur di perusahaan pusat.”
     “Ditempat Abang bekerja?”
     Bagas hanya mengangguk, dan satu perasaan semacam cemburu menyusup di hati Nila.
“Apa dia tahu kalau Abang sudah menikah lagi?”
     Lagi-lagi Bagas menggeleng. “Lagi pula aku sudah sendiri lagi, jadi untuk apa aku memberitahukan masalah itu padanya?” Bagas menoleh sesaat, untuk memamerkan sebuah seringaian yang membuat Nila ingin memukul kepala lelaki itu dengan tas tangannya.
     Nila melemparkan pandangan keluar jendela. Jika dipikir, benar memang, mereka sudah berpisah lagi, jadi buat apa memberitahu orang-orang jika ternyata Bagas sudah menikah lagi? Tapi, Nila merasa jika Bagas tetap miliknya. Pikiran egois yang konyol, mengingat dia yang meminta perceraian ini.
     “Kamu sudah makan?”
     “Sudah,” Nila berbohong. Siapa yang selera makan jika sudah begini?
     “Mau minum kopi sambil menemaniku makan?”
     “Nila lelah, Bang. Lebih baik antarkan Nila pulang, setelah itu Abang bisa makan.”
     “Kamu kenapa, Nila? Marah karena aku tidak memberitahu Clara jika kita pernah menikah? Tapi untuk apa? Lagi pula dia tidak bertanya.”
     “Siapa yang marah?!”
     “Siapa lagi jika bukan kamu?”
     “Lalu kenapa nada bicaramu jadi ketus begitu?”
      “Siapa yang bicara dengan ketus?!” Nila menatap Bagas yang kini juga tengah menatapnya. Mobil sedang berhenti karena macet. Nila sendiri merasa jika nada bicaranya memang tajam, itu sungguh di luar kendalinya.
      Bagas menghela napas, seolah berbicara dengan Nila melelahkan dan membutuhkan tenaga extra, dan itu semakin membuat Nila kesal. 
     “Kenapa? Kenapa menghela napas? Abang lelah bicara dengan Nila? Kalau begitu, tidak usah bicara lagi!” Nila kembali membuang pandangannya.
     “Apa lagi sih? Masa menghela napas saja aku salah?”
     “Abang menghela napas ketika sedang bicara dengan Nila, itu berarti...”
     “Jangan coba-coba mengambil kesimpulan dari hal yang belum pasti, Nila.”
     “Ini sudah pasti! Abang lelah bicara dengan Nila, seolah kita dari dua planet berbeda.”
     “Ya, ya, ya, aku memang lelah! Bagaimana tidak, jika kamu tiba-tiba marah tanpa sebab!”   
     “Nila tidak marah! Lagi pula, itu bukannya tanpa sebab!”
     Bagas diam beberapa saat, mencoba mencerna kalimat Nila.
Mobil sudah kembali berjalan, walau dengan lambat. “Jadi sebenarnya kamu marah „kan?”
“Ah sudahlah! Jangan bicara lagi!”
     Bagas hendak menghela napas lagi, namun tidak jadi, membuatnya menghembuskan napas dengan perlahan agar Nila tidak mendengarnya. “Lihat lah, sesungguhnya kamu yang sudah tidak ingin bicara denganku.”
      “Abang jangan memutarbalikkan fakta!”
      “Siapa yang memutarbalikkan fakta?”
      “Abang!”
      “Tidak bisakah kamu tidak berteriak, Nila? Aku ada di sisimu, dan bisa dipastikan aku bisa mendengarmu.”
      “Siapa yang berteriak!”
      Kali ini Bagas tidak bisa menahan helaan napasnya, dan itu cukup untuk membuatnya dihadiahi pandangan tajam dari Nila.
     “Hentikan mobil ini, Nila mau turun!”
     “Sebenarnya ada apa sih dengan kamu, Nila?”
      “Hentikan mobilnya, atau Nila akan loncat!” suara Nila lebih rendah, namun sarat akan ancaman. 
     Mau tidak mau, Bagas menepikan mobilnya, dan turut keluar bersamaan dengan Nila. Melangkah dengan cepat agar bisa meraih lengan Nila dan menghentikan langkah wanita itu.
     “Katakan, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menjadi seperti anak kecil begini?”
“Siapa yang mengajarkan Nila untuk menjadi anak kecil, Bang?!”
     Bagas mengerutkan kening, sepenuhnya tidak mengerti apa yang dimaksud Nila.
      “Abang ngga bilang sama teman-teman Abang kalau Abang sudah menikah lagi!”
     “Jadi karena itu? Jadi kamu marah karena hal itu?”
     “Nila ngga marah!”
     Bagas tidak mau mendebat hal itu. Dia ingat, jika wanita bilang tidak, itu berarti iya. “Dengarkan aku, Nila. Sekarang, untuk apa aku memberitahu mereka? Toh aku sudah sendiri lagi. Tidakkah konyol jika tiba-tiba aku bicara, “Hai, aku sudah menikah lagi, tapi kini sudah berpisah. Tidakkah itu konyol?”

     “Terserah Abang saja!” Nila menyentakkan tangannya lepas dari genggaman Bagas, lalu berjalan pergi.
     “Bilang saja kalau kamu cemburu, Nila!” teriakan Bagas yang mengalahkan deru mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan, menghentikan langkah Nila, walau wanita itu tetap tidak berbalik. 
     “Bilang saja kamu cemburu!” ulang Bagas lagi. “Jangan malah membuat teka-teki dan memulai pertengkaran!”
Nila berbalik. “Ya! Nila memang cemburu! Apa Abang puas sekarang?! Nila cemburu, karena Nila tahu Clara itu suka sama Abang!”
     Bagas menghampiri Nila setelah terdiam beberapa saat. Dia mengulurkan tangannya.
     Nila diam, menatap uluran tangan Bagas sebelum kembali menatap mata lelaki itu. “Apa?!”
     “Raih tangan aku jika kamu percaya sama aku.”
     Nila mendengus. “Bagaimana Nila bisa percaya sama Abang?”
    “Dengan hati, Nila... dulu, waktu berpisah, kamu yang bilang jika kita harus percaya dengan cinta yang kita punya. Apa kamu udah lupa?”
     Nila membatu. Jika Abang mencintai Nila dengan tulus, Abang pasti percaya dan memegang teguh cinta itu. Kita akan baik-baik saja, Bang. Itu dulu kata-kata yang ia ucapkan pada Bagas. Tapi kini apa? Dia sendiri merasa tidak percaya dan cemburu. Memalukan dirinya sendiri dengan tingkah anak kecil yang merajuk.
     Bagas meraih kedua tangan Nila dan menggenggamnya erat.
“Kamu tahu kalau aku benar-benar mencintai kamu kan,
Sayang? Jadi, kamu tidak perlu khawatir.”
Nila merasa haru. “Maafin Nila, Bang. Sikap Nila memang kekanakan.”
     Bagas tersenyum. “Sebenarnya aku senang, cemburu itu tanda cinta. Tanpa itu tentu cinta juga tidak ada. Sini, berilah aku pelukan sebagai hadiah permintaan maafmu.” Bagas merentangkan tangannya.
     Nila mencebik, sebelum tersenyum dan masuk ke dalam pelukan Bagas.
     “Kalau begitu, bagaimana jika kita rujuk lagi? Ini belum melewati masa idah bukan?”
     “Abang!”
     Bagas tertawa, dan semakin memeluk Nila dengan erat. “Iya, iya, aku mengerti.”

***
  From : Ayah Setya,
      Malam ini aku tidak bisa menjemputmu, aku akan pulang terlambat karena ada makan malam bersama para karyawan lain. 
     Bunyi pesan singkat yang dikirim Bagas membuat Nila mencebik sebal. Rasanya sudah menjadi kebiasaan dijemput oleh lelaki itu, membuatnya sedikit merasa tidak enak pada saat-saat yang mengharuskan dia pulang sendiri.
To: Ayah Setya,
      Apa wanita itu ikut?
     Form : Ayah Setya,      Wanita mana?
      To: Ayah Setya,
      Abang jangan berpura-pura bodoh!
     From: Ayah Setya,
     Hehehe, apa kamu masih cemburu?
     To: Ayah Setya,
     Ah, sudahlah!
     Nila menaruh ponselnya agak keras, tepat ketika Andrew masuk ke dalam ruangan.
     “Wah! Apa kamu sedang mencoba merusak barangbarangmu?”
     Nila tertawa. “Tidak, hanya sedang sedikit kesal.”
      “Apa kamu juga akan kesal jika aku memintamu menemaniku makan siang?”
     “Tentu saja tidak. Kebetulan aku juga belum makan.”      “Tapi, tidak di restaurant hotel. Aku mau ajak kamu ketempat lain, mau?”
     “Asal kamu yang membayar makanan, aku tidak masalah.”      Andrew tertawa, meraih tangan Nila sesaat, sebelum sadar jika Nila merasa canggung dengan itu dan melepaskannya.
      “Maafkan aku.”
     “Tidak masalah. Nampaknya, walau sudah cukup lama di
Indonesia, kamu tetap sulit meninggalkan kebiasaan lama.” Nila meraih tasnya, lalu berdiri. Dia lupa memasukkan ponselnya ke dalam tas.
     Andrew tersenyum, senyuman menawan yang sudah pasti membuat wanita manapun yang belum mempunyai seseorang di hatinya, langsung jatuh terkapar. “Tidak juga, karena tidak setiap tangan ingin aku genggam.”

***
     Andrew membawanya ke sebuah restaurant Italia yang katanya menyediakan pasta paling enak. Kata Andrew, walau di restaurant mereka memiliki koki khusus pasta, pasta di sini jauh lebih enak. Mungkin karena fokus restaurant ini hanya makanan Itali saja.
    Mereka duduk di meja khusus dua orang. Kata Andrew, jika tidak reservasi, tidak akan mendapatkan tempat di restaurant ini. Ya, Nila sekarang bisa melihatnya, bagaimana setiap meja terisi penuh.
“Nampaknya, setiap kali makan denganmu, aku selalu memakan makanan western. Kamu pernah makan masakan Indonesia, Andrew?”
     “Tentu saja! Aku pernah makan nasi padang, dan aku menyukainya.”
      “Hanya nasi padang?”
     “Ada beberapa. Namun aku lupa nama-namanya.”
     Nila memajukan tubuhnya, bertumpu pada siku yang dijejakkan di atas meja. “Lain kali, aku akan membawamu wisata kuliner. Akan aku tunjukan semua masakan Indonesia kepadamu.”
     “Itu pasti menyenangkan. Aku tidak sabar menunggu waktunya tiba.”
     Seperti biasa, menghabiskan waktu dengan Andrew selalu menyenangkan. Lelaki itu selalu bisa membawanya pada suasana santai yang membuatnya tidak memikirkan jika orang yang ada di hadapan Nila itu adalah boss-nya. Sampai pada lelaki itu mengutarakan maksudnya, ketika Nila baru saja selesai menyantap makanan penutup.
     “Danila...”
     “Hm?” Nila mengelap sudut-sudut mulutnya dengan serbet.
     “Kamu sudah bercerai sekarang. Walau aku tahu, perceraian itu tidak menutup kemungkinan untuk kamu dan mantan Suamimu kembali lagi. Tapi, aku rasa, aku masih memiliki harapan, bukan?”
     Nila tertegun. Sesungguhnya tidak suka dengan arah pembicaraan ini bermuara nantinya. “Sebenarnya, apa maksudmu?” pertanyaan basa-basi yang sungguh basi sebenarnya.
      “Kamu tau aku menyukaimu, Danila...”
     “Dan kamu tahu, siapa yang memiliki hatiku.”
     Andrew tersenyum masam. “Ya, aku tahu... aku hanya ingin kamu memberiku beberapa kesempatan untuk kita berkencan.”
     Nila terdiam. Menggingit bibirnya sebelum mengembuskan napas berat. “Budaya kita berbeda, Andrew. Kamu bilang, kamu tidak memmercayai cinta. Bahwa cinta itu menurutmu hanyalah ketertarikan fisik semata. Tapi, aku tidak bisa menjalin hubungan dengan fisik. Jelas, agama dan budayaku melarang hal itu. Apa kamu bisa memahaminya?”
     Andrew mengangguk perlahan. “Aku paham. Dan aku juga tidak sembarang tidur dengan wanita, jika wanita itu tidak mau, Danila. Aku bisa menahan diriku. Aku bisa beradaptasi. Aku, hanya ingin kamu memberiku kesempatan untuk
memperkenalkan diriku kepadamu.”
     “Aku sudah mengenalmu...”
     “Tidak, Danila, kamu tidak sepenuhnya mengenalku.” Mereka diam lagi untuk beberapa lama.
     “Maafkan aku, tapi aku tidak berniat berhubungan jangka pendek, Andrew. Jelas pandangan kita tentang cinta berbeda. Jika menurutmu cinta adalah ketertarikan fisik yang bisa memudar, menurutku cinta adalah perasaan suci yang abadi. Dan aku tidak bisa membuka hatiku pada lelaki yang sudah pasti akan meninggalkanku suatu saat nanti.”
     Andrew menghela napas. “Rupanya penjelasanku tentang cinta sungguh memengaruhimu, Danila. Mungkin aku salah, karena apa yang aku rasakan ini benar-benar hampir membuatku gila. Aku belum pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Bukankah perasaan seperti ini yang kamu rasakan pada Bagas?”
     Nila tersenyum. “Bukankah menurut versimu, cinta memang semacam penyakit jiwa? Karena dia tidak berhubungan dengan otak, melainkan dengan syaraf.”
     “Ya, dan sekarang, aku merasakan bagaimana rasanya. Katakan, apa yang harus aku lakukan, Danila?”
     “Maafkan aku, Andrew...” Nila menggeleng-geleng menyesal. “Seandainyapun aku mau memberimu kesempatan,
aku tidak bisa.”
      Andrew menunduk dengan murung. “Nampaknya aku baru saja ditolak.”
     “Aku sungguh minta maaf, Andrew. Aku tidak mau berbohong tentang perasaanku lagi dan akan melukai orang lain nantinya. Kamu orang yang berpikiran terbuka. Aku yakin, tak akan lama lagi, kamu akan mendapatkan wanita lain yang menarik perhatianmu dan kamu akan melupakanku.”
      “Aku harap kamu benar, karena aku sudah tidak mengenali diriku sendiri.”
***
     Sepeninggal dari restaurant itu, wajah Andrew kembali ceria, seolah tidak ada obrolan yang mematahkan hatinya beberapa saat lalu. Itu membuat Nila lega. Paling tidak, Andrew bukan orang yang akan tenggelam dalam kemurungan yang berlarut-larut.
     Nila baru sempat masuk keruangannya dan melihat ponsel, karena waktu kembali siang tadi, ada saja masalah di kamarkamar hotel yang harus ditanganinya.
     12 panggilan tak terjawab, semua dari Bagas, dan dua pesan yang menanyakan keberadaannya, juga dari lelaki itu. Namun nomor Bagas tidak aktif ketika Nila mencoba menghubunginya kembali.
     Perasaan Nila jadi tidak enak, karena tidak biasanya lelaki itu mematikan ponselnya. Dan perasaan itu terbawa sampai ketika Nila telah berbaring di atas tempat tidurnya sampai melewati tengah malam.
Ponsel Bagas tidak juga aktif. Ketika dia menelpon rumahnya tiga jam lalu, Sumi bilang lelaki itu belum pulang. Dan ketika sejam lalu dia kembali menelpon, tidak ada yang mengangkat menandakan mungkin penghuni rumah sudah terlelap. Tapi, kenapa Bagas tidak juga mengaktifkan ponselnya? Apa lelaki itu marah padanya?
     Namun nyatanya tidak hanya malam itu. Ponsel Bagas tidak aktif sampai sembilan hari setelahnya. Setiap kali Nila menelpon kerumahnya, Sumi selalu bilang Bagas tidak ada di rumah, sampai ia menanyakan apakah Bagas sebenarnya pulang ke rumah? Sumi bilang pulang, dan wanita itu menyampaikan pesan Nila. Namun kenapa Bagas tak juga menghubunginya? Haruskah marah sampai seperti itu, hanya karena Nila tak mengangkat telponnya yang tertinggal? 
      Tidak mungkin Nila menghampirinya kerumah atau ke kantor. Dia masih mempunyai gengsi yang harus dia jaga. Walau nyatanya kecemasan ini mencekiknya sampai hampir membunuhnya.
      Sampai akhirnya, lelaki itu muncul di lobi hotel, tepat ketika Nila baru saja mau pulang.
      Wajah lelaki itu tidak bisa dikatakan baik. Dia tertegun, menatap Nila dengan pandangan nanar.
      “Abang...” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Nila, ketika bahkan banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.
     “Kita harus bicara.”
     Nila tahu, pembicaraan ini tidak akan berakhir baik. Terbukti, ketika mereka tiba di salah satu taman kota. Bagas memarkirkan mobilnya tanpa mematikan mesin. Itu berarti, meraka akan tetap berada di dalam mobil untuk bicara.
     Mereka terdiam cukup lama dalam kecanggungan yang menggantung di udara.
     Nila baru saja hendak bicara, menanyakan, dari mana saja lelaki itu, dan kenapa dia seolah menghindari Nila. Ketika Bagas berkata, yang seolah menghentikan putaran dunia Nila.
Aku akan bertunangan, segera setelah masa iddahmu berakhir.”
      Jantung Nila seolah berhenti berdetak.

Malam Pertama Untuk Nila (E-book Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang