BAB 11

792 82 14
                                    

Wanita ditakdirkan mempunyai hati yang lembut dan sensitif. Mereka cenderung menggunakan perasaan dari pada logika. Ketika hati sedang gundah, mereka tidak hanya membutuhkan bahu untuk bersandar. Namun, mereka juga membutuhkan telinga untuk didengarkan. Saat sudah menemukan rasa nyaman ketika berdekatan dengan seseorang, hati mereka akan mudah untuk ditaklukkan.

Itulah yang menjadi nilai lebih bagi Herdian. Ia selalu ada ketika Cinde berkeluh-kesah. Padanya, Cinde bisa menceritakan apa yang sedang dihadapi. Mulutnya akan bungkam ketika Cinde mengurai ganjalan hati. Perkataannya selalu menenangkan gadis yang tampak dekat tetapi jauh untuk direngkuh.

Setelah peristiwa di dalam mobil empat bulan lalu, ia tetap berusaha pada jalur pertemanan yang selama ini mereka jalani. Sekalipun ia tidak pernah menyinggung atau mengejar Cinde untuk memberikan jawaban. Namun, ia berusaha untuk lebih memahami dan selalu ada saat Cinde membutuhkannya. Beruntung hanya ia laki-laki yang dekat dengan Cinde. Jadi ia tidak perlu repot-repot bersaing dengan pria lain.

Beberapa kali Herdian menceritakan perihal Cinde kepada keluarganya. Termasuk status Cinde sebagai janda cerai mati. Ibunya tidak mempermasalahkan hal itu. Ia percaya Herdian tidak akan salah pilih kembali. Kakak perempuan juga adik laki-laki Herdian bahkan ingin segera berkenalan dengan Cinde. Namun, Cinde selalu menolak untuk diajak ke rumah Herdian.

"Aku bukan nggak mau ketemu keluarga panjenengan. Tapi untuk saat ini aku nggak bisa menjanjikan apapun dalam hubungan kita. Aku takut menciderai perasaan keluarga Mas," tolak Cinde bijak.

Herdian tidak memaksa. Ia bisa memahami ketakutan Cinde memulai hubungan kembali. Selain itu rasa kehilangan dan cintanya pada Priyo tentu masih utuh. Ia bahkan ikut menitikkan air mata ketika Cinde dengan tersedu menceritakan bagaimana mendiang suaminya meninggal dalam pelukan.

Herdian menyesap kopi terakhir di cangkirnya. Sepoi angin sore membawa angannya kepada wanita yang begitu dicintainya. Ia hanya punya satu keinginan. Membahagiakan Cinde hingga ajalnya nanti. Meski ada setitik rasa tidak percaya diri untuk "bersaing" dengan mendiang Priyo, tetapi Herdian tidak menyerah. Baginya ini hanya perkara waktu saja. Ia tidak meminta Cinde melupakan cinta pertamanya. Ia hanya ingin diberikan sedikit ruang di hati Cinde. Ia meyakini kesabarannya kelak membuahkan hasil.

Herdian meraih ponsel yang terletak di samping cangkir. Ia terlihat serius mengetik pesan kepada seseorang dan segera mengirimkannya. Beberapa saat kemudian balasan pesannya ia terima. Herdian tersenyum penuh arti, lalu beranjak dari kursi. Sembari bersiul ia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan wanita ayu yang menjadi pujaan hatinya kini.

****

Cinde termenung di sisi pembaringan. Dahinya berkerut. Sesekali matanya terpejam. Kadang ia menggelengkan kepala seolah mengenyahkan pikiran yang menari-nari di benaknya. Entah mengapa tiba-tiba saja ia memikirkan Herdian. Tanpa disadari, akhir-akhir ini ia semakin dekat dengan Herdian. Tidak, bukan pria itu yang memaksa untuk semakin dekat dengan Cinde. Namun, Cinde sendiri yang memasrahkan hatinya. Ia selalu mengandalkan Herdian dalam kesehariannya. Tanpa diminta Herdian selalu ada untuknya. Namun sejak mengungkapkan perasaannya waktu itu, Herdian tidak pernah menyinggung lagi. Seolah saat itu hanya selingan pembicaraan saja.

"Apa mas Herdian nggak benar-benar serius mencintaiku? Tapi kenapa dia selalu memberi perhatian?" Pertanyaan itu berulang-ulang menghinggapi wanita ayu itu.

Sedikit sesal karena saat Herdian mengungkapkan perasaannya, ia justru menolak. Padahal sejujurnya ia juga mempunyai perasaan yang sama. Namun ketika itu Cinde merasa bahwa semua terlalu cepat. Ia juga belum siap menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Ia takut dianggap tidak setia pada mendiang suaminya.

ASMARA BAHU LAWEYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang