"Gimana kesanmu tentang keluargaku?" tanya Herdian ketika mobil yang dikendarai keluar dari pekarangan rumahnya. Cinde diundang makan malam oleh keluarga Herdian, tepat satu minggu setelah menerima lamarannya. Ini adalah kali pertama Cinde bertemu dengan keluarga calon suaminya itu.
"Baik, Mas. Aku merasa udah kenal lama dengan keluarga panjenengan. Mbak Gita orangnya sangat ramah. Dik Pandu juga sangat menyenangkan saat diajak ngobrol. Awalnya aku takut bakalan canggung. Ternyata nggak seperti dugaanku," tutur Cinde riang.
"Kalau Ibu?" tanya Herdian lagi.
Cinde mengusap lengan Herdian perlahan.
"Ibu wanita kuat, Mas. Aku bisa melihat dari sorot mata beliau. Di balik anggunnya sikap Ibu, tersimpan ketegaran yang luar biasa," puji Cinde tulus.
Herdian tersenyum.
"Iya, sepeninggal Bapak beliau mati-matian membesarkan dan menyekolahkan kami dengan keringatnya sendiri. Tidak pernah kulihat Ibu merengek pada keluarga Bapak yang kaya raya. Sebagai anak dari pengrajin batik yang terkenal, Bapak seharusnya mempunyai hak atas warisan almarhum Eyang. Lebih dari cukup jika hanya untuk bekal ketiga anaknya hingga dewasa. Namun, Bapak memilih namanya dicoret dari ahli waris dan nekat menikahi Ibu," ucap Herdian sendu.
Sekali lagi Cinde mengusap lengan Herdian. Ia tak tahu harus menjawab apa. Perkara jika dirinya seorang anak yatim sudah pernah diceritakan Herdian. Namun, baru kali ini Herdian membuka kisah tersebut.
"Makanya, ketika dua minggu lagi aku melamarmu ke Yogya tidak banyak keluarga yang ikut. Hanya keluargaku saja. Karena Ibu sebatang kara, dan nggak mungkin keluarga Bapak mau ikut," ujar Herdian sembari menatap jalan raya.
"Iya, Mas. Nggak apa-apa. Kami bisa mengerti. Yang penting acaranya lancar dan-."
"Aku cepat menikahimu," sahut Herdian cepat, membuat Cinde tersipu-sipu.
***
"Mas-mu udah berangkat belum?" tanya Tienuk sambil mengatur bunga di dalam vas.
"Sampun, Bu." Putri tunggal Tienuk menjawab pendek. Ia sibuk mengatur jajan pasar dalam sebuah tampah berhias lipatan-lipatan daun pisang. Tadi pukul tujuh Herdian mengabarkan sudah dalam perjalanan.
"Itu kroketnya yang searah, biar apik," titah Tienuk ketika mengambil beberapa tangkai mawar di sebelah Cinde.
Cinde menganggukkan kepala. Dengan cekatan ia kemudian menata ulang kroket seusai arahan ibunya. Seperti biasa, Cinde tidak ingin berdebat dengan Tienuk soal kerapian dan ketelitian. Ibunya itu mampu memikirkan segala sesuatu hingga hal terkecil. Terkadang Cinde merasa ibunya terlalu berlebihan. Namun, ia memilih mengalah. Toh ia tahu semua demi kebaikannya.
"Sabar ya, Ndhuk. Ibumu memang perfeksionis. Semua harus terlihat baik dan rapi," celetuk Marni yang baru datang dari dapur. Tangannya memegang sendok berisi oseng cabai hijau. Ia menghampiri Tienuk yang tergelak mendengar celetukannya. Cinde ikut tertawa mendengar kelakar Marni.
"Diicipi dulu, Dik. Aku takut nggak enak, nanti mengecewakan tamu," ujar Marni sembari mengulurkan sendok kepada Tienuk.
"Woalah, Mbak. Masakan njenengan ya pasti uenak," teimpal Tienuk memuji Marni. Ia meniup beberapa kali sebelum menyuap potongan tempe yang terlihat membangkitkan selera. Tienuk memberi tanda dengan mengangkat ibu jari tanda masakan itu pas di lidahnya.
Cinde tahu ibunya jujur. Masakan Marni memang lezat. Pantas jika terkadang Marni sering menerima pesanan katering partai kecil dari tetangga-tetangganya.
Cinde terkesan dengan hubungan antara Tienuk dan Marni. Meski hanya saudara ipar, tetapi tidak mengurangi kekompakan dan kedekatan di antara mereka. Jika di luar sana saudara ipar saling bertolak belakang dan sering terjadi konflik, tidak dengan mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARA BAHU LAWEYAN
General FictionCinde Candrasari berusaha menerima kenyataan bahwa Priyo, laki-laki yang baru kemarin mengucap ijab kabul di depan Bapaknya telah meninggal dunia. Usianya masih muda, ia ingin menata hidup kembali. Namun, apa jadinya jika semua laki-laki yang menci...