BAB 7

1.5K 118 18
                                    

Cinde merapikan baju-baju yang dibawa ke dalam sebuah lemari kayu berpintu dua. Lemari kayu jati berukir yang cukup unik karena usianya lebih tua dari umurnya. Begitu cerita bude Marni suatu waktu.

“Pak, Bu. Dalem badhe matur.”

Sepulang dari rumah Priyo ia menemui orang tuanya yang sedang bercengkerama di ruang keluarga.
Gunadi segera meletakkan koran yang berada di tangannya. Tienuk tersenyum melihat putrinya datang.

“Sini, sini, Nduk. Arep matur apa? Oh, iya. Gimana kabar mertuamu?” tanya Gunadi.

Cinde lantas duduk di kursi kayu berbentuk bulat di seberang Gunadi.

“Sehat, Pak. Bapak dan ibu menitipkan salam. Juga tape ketan buatan ibunya mas Priyo,” jawab Cinde sembari menyerahkan bungkusan yang ada di tangannya.

Ealah, ibumu kok repot-repot. Nanti sampaikan matur nuwun, ya? Tape bungkus godhong jambu begini ibu kok ya belum bisa bikinnya,” sahut Tienuk ketika melihat isi bungkusan tersebut.

 Nanti sampaikan matur nuwun, ya? Tape bungkus godhong jambu begini ibu kok ya belum bisa bikinnya,” sahut Tienuk ketika melihat isi bungkusan tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Cinde menganggukkan kepala sambil tersenyum. Tape ketan bungkus daun jambu buatan ibu mertuanya memang sangat enak.

Piye? Ana apa, Nduk?” tanya Gunadi.

“Saya minta maaf kalau sempat emosi dengan usulan Bapak Ibu. Saya tidak bermaksud ... .” Cinde terdiam.

“Sudah, Nduk. Jangan dipikir lagi. Bapak paham. Justru kami yang minta maaf karena terlalu mengatur hidupmu,” sahut Gunadi.

“Mboten, Pak. Saya justru berpikir untuk mengikuti nasihat Bapak,” cetus Cinde.

Gunadi dan Tienuk saling berpandangan.

“Mungkin memang lebih baik saya pergi ke Semarang untuk sementara waktu,” lanjut Cinde.

Gunadi dan Tienuk mengurai senyum. Mereka sangat senang karena Cinde mau menerima saran.

“Jangan khawatir soal makam suamimu. Kami akan rutin nyekar ke sana. Tata dan benahi hatimu, Nduk. Jalan hidupmu masih panjang,” ujar Gunadi meyakinkan Cinde.

Seminggu sesudahnya, Gunadi dan Tienuk sendiri yang mengantarkan Cinde ke Semarang. Mereka berdua berharap putrinya bisa bangkit dari rasa duka. Tidak lupa Cinde berpamitan pada keluarga almarhum suaminya, setelah ia mengunjungi pusara Priyo terlebih dahulu.

Bagaimana pun tinggal di rumah sendiri terasa lebih nyaman. Salah satu hal yang sempat membuat Cinde berpikir ulang untuk tinggal di Semarang, karena takut tidak cocok dengan kebiasaan bude Marni.

Cinde memang sudah sering menginap ke rumah budenya itu. Saat masih sekolah, ia akan menghabiskan liburan kenaikan kelas di Semarang. Suasana rumah bude bukan hal asing lagi baginya. Namun, Cinde kecil tentu belumlah paham dengan konflik-konflik yang kerap terjadi di antara orang dewasa.

Marni orang yang sangat disiplin, mirip dengan Gunadi. Sebagai kakak adik, tentu pola pengasuhan orang tua sedikit banyak akan membentuk karakter yang sama. Namun karena Marni seorang wanita, kedisiplinannya juga ia terapkan dalam urusan rumah tangga.

Pukul tiga pagi ia sudah pergi ke sumur. Merendam baju kotor, lalu menjalankan salat tahajud. Membaca alquran hingga waktu subuh tiba, dan mulai memasak untuk sarapan selepas salat. Hidangan sudah tersedia di meja makan pada pukul enam. Ia rajin membawakan bekal makan siang untuk suaminya yang bekerja sebagai pegawai di kantor kecamatan.

“Gaji suamiku tidak banyak. Aku harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Membawakan beliau bekal makan siang akan menghemat uang. Juga sebagai salah satu tanda baktiku sebagai istri.”

Begitu ia menjawab ketika ada beberapa temannya yang heran melihatnya repot menyiapkan bekal.

Meskipun kini sudah sepuluh tahun ia hidup menjanda karena suaminya telah berpulang, Marni tetap rajin menjalankan rutinitas paginya. Tentu kecuali menyiapkan bekal. Halaman mungil di depan teras rumahnya ia sapu, sehingga tidak ada daun kering dari tanaman-tanaman obat yang sengaja ditanam. Marni sengaja menanam berbagai jenis tumbuhan apotek hidup. Ada lidah buaya, saga rambat, belimbing wuluh, hingga empon-empon. Beberapa jenis sayuran juga ia tanam. Ia benar-benar memanfaatkan lahan mungil rumah tipe 36 ini.

ASMARA BAHU LAWEYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang