Siapa yang bilang bahwa kandang singa adalah tempat paling menakutkan?
Faktanya, manusia-manusia yang terlanjur hina ini jelas lebih buas dan dapat dengan bebas memangsa para targetnya di luar sana."Sekarang kau paham bukan? Bahwasannya kau sama sekali tak berarti bagi orang sepertinya?" Lelaki berbadan besar itu menjambak rambut sang gadis hingga si gadis cantik itu memekik kesakitan.
"Sampai kapan kau akan mempertahankan pendirian hipokritmu itu, hei jalang?"
"Aku bukan jalang!"
"Benar, kau jalang. Dan berani sekali jalang sepertimu memelototiku?"
Bug!
Bug!
Tahu suara benda macam apa itu? Besi. Bisa bayangkan bagaimana jika batang itu menghantam pundakmu berkali-kali?
Remuk? Bukan hanya itu, rasanya seperti akan mati sebentar lagi.
Dan itu adalah tujuan mutlak.
Sirna sudah kata mulus untuk menggambarkan tubuh gadis itu. Lebam ungu menghiasi hampir sekujur tubuhnya, bercampur dengan bekas cairan merah yang mengering.
Memakan mangsanya hidup-hidup, dengan kata lain membuat seseorang mati adalah sebuah hal yang mudah dan harus selalu dilakukan.
Atas dasar apa?
Naif sekali. Kau tahu bukan bagaimana kejamnya dunia tempatmu hidup?
Ini semua perihal memberi dan menerima, hubungan timbal balik yang tak akan ada habisnya.Berganti dari satu raga ke raga yang lain. Lantas berapa banyak jiwa yang sudah kau ganggu keberadaanya?
Dan adakah barang seujung kuku pemikiran tentang dosa hinggap di kepalanya?
"Manusia itu munafik sekali. Kau lihat apa yang dilakukannya sekarang? Menontonmu. Betul, kau senang dia di sini bersamamu?"
Ting!
Pintu lift itu terbuka, bersamaan dengan beberapa orang yang baru saja masuk dan tanpa sengaja membuat lift itu terasa sesak. Terlebih, tubuh mungil itu tenggelam di antara banyak orang di sekelilingnya.
Jeno yang berdiri di belakangnya menaikkan sebelah alisnya. Berani sekali mereka ini menaiki lift yang sama dengannya, pikirnya.
Padahal siapa juga dirinya.
Tubuh tinggi itu menarik Renjun yang masih mengenakan seragam sekolah ke dalam pelukannya. Tentu saja Renjun terkejut, lantas apa? Menolaknya? Jangan asal bicara. Renjun cukup takut dengan Jeno.
Pasalnya akhir-akhir ini Jaemin sibuk sekali. Oleh karenanya yang sering menjemput Renjun belakangan ini adalah Jeno. Dan hari ini, Jeno baru saja menjemput si kecilnya dan memutuskan membawanya serta untuk menemui teman serumahnya.
Tanpa mengetuk pintu, mereka masuk begitu saja ke dalam ruangan mewah dan luas milik Na Jaemin. Jaemin tidak heran, sudah terbiasa dengan Jeno yang tanpa adab seperti itu.
"Kapan kau sampai?" Tanya Jeno yang baru saja mendudukan dirinya di sofa empuk yang Jaemin sediakan.
"Tiga puluh menit yang lalu. Sini, sayang. Daddy rindu." Jaemin ikut mendudukkan dirinya tepat di samping Renjun yang berada satu kursi dengan Jeno, lantas mengangkat tubuh mungil itu dan memangkunnya. Memeluknya dan memberinya kecupan-kecupan posesif di wajahnya.
"Daddy Na apa tidak lelah bekerja terus?" Kali ini Renjun yang bersuara dan menyalurkan rasa penasarannya.
"Sudah tidak lelah lagi. Lalu, bagaimana dengan sekolahmu?" Senyum itu enggan luntur dari wajah Jaemin ketika berbicara dengan Renjun.
"Anak dengan tubuh tinggi tadi itu siapa?" Celetuk Jeno, yang membuat Jaemin ikut penasaran dibuatnya.
"Oh, itu Jisung! Jisung bilang dia menyukai Chenle." Jelasnya begitu semangat.
"Dia temanmu?" Suara dengan nada lembut itu keluar dari mulut Na Jaemin.
Renjun mengangguk lucu, Jeno saja sampai gemas dan mengusak surainya lembut.
"Kalau baby suka dengan siapa?" Giliran Jeno yang penasaran sekarang.
"Tidak ada."
Jawaban itu sontak membuat Jeno dan Jaemin saling bertatapan heran. Benarkah begitu?
"Jadi kau tak menyukai kami?" Jaemin menampakkan wajah kecewanya, membuat Renjun panik dan merasa bersalah.
"Tidak, tidak. Bukan seperti itu. Maksudku, aku tidak menyukai mereka seperti aku menyukai Daddy." Renjun hanya menunduk malu setelah mengatakannya.
Nah, sekarang giliran Jaemin dan Jeno yang tersenyum sok malu-malu, padahal mungkin tidak malu sama sekali. Bagi mereka, apa itu malu?
"A-aku lapar, ayo kita makan malam saja di bawah." Si mungil berlalu begitu saja meninggalkan kedua pria dewasa itu di ruangan Jaemin. Renjun tak sanggup jika harus berada di sana lebih lama, karena mungkin saja ia tak akan selamat dari hal itu. Kau pasti paham apa maksud renjun, bukan?
"Aneh, kupikir kau tidak sedekat itu dengan Renjun." Celetuk Jaemin seraya menelisik mimik wajah Jeno yang memang anehnya hari ini cerah sekali.
"Kau pikir apa?"
"Menurutmu?"
"Kau saja dekat dengannya. Masa aku tidak?"
"Baguslah, perkembangan bagus bagimu, kawan."
Jaemin menepuk pundak temannya kemudian pergi menyusul Renjun yang mungkin saja tengah menunggunya seraya mencoba untuk menghindari para pegawai yang mencoba mendekatinya untuk sekedar menatap wajah manisnya dari dekat. Yeri bilang, mereka gemas dengan Renjun, tak terkecuali Yeri sendiri. Dan Jaemin mengiyakan dalam hatinya, siapa juga manusia bodoh yang tidak gemas dengan Renjunnya?
Sementara itu, wajah tampan Jeno yang semula cerah kini kembali datar dan terlihat mengintimidasi kembali seperti biasanya setelah membaca pesan masuk di ponselnya.
"Bajingan."
Kiranya kata mutiara yang tak pernah terdengar apik itu akan mampu menjelaskan bagaimana situasinya.
Benar, manusia memang naif, dan itu mutlak. Mengaku saja.
Hari berganti hari, maka akan bertambah banyak topeng yang dipakainya. Bersikap baik, sopan, bijaksana, atau bahkan menjadi bajingan pun bukan lagi mejadi hal yang sulit.
Karena sejatinya memilih jalan hidup itu sama sekali tak sulit hanya saja, ketika menjalankannya tak sekali dua kali dirimu berniat untuk berhenti di tengah-tengah dan berpikir untuk menyerah. Sementara kau tidak tahu, harta karun macam apa yang menunggumu dibalik dinding kokoh di ujung jalan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
un trésor ft. Norenmin
Fanfiction"Kau akan tetap dan terus berada di bawah kami. And never gonna change" - 🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞