PROLOGUE

33 3 2
                                    

"Ish, kenapa sih itu orang harus hadir dihidup gw? Benci!" Ucap gadis itu seraya membanting tubuhnya keatas kursi. Melihat sahabatnya uring-uringan, Skyleen yang sibuk mengunyah bakso hanya bisa menatapnya datar dengan membatin kasihan.

"Diapain lagi sih lo, Cha?" Tanya Skyleen anteng.

"Diary gw diambil, trus hidung gue dipencet sampe merah kayak gini. Sakit banget, Lin, sakit banget! Mana gw tadi diketawain orang-orang lagi gara-gara hidung gw yang udah kayak badut ni." Gerutunya sambil melepas masker dan melahap semangkuk bakso. Skyleen tersenyum miring, miris menatap sahabatnya yang bermasalah setiap harinya.

"Caper." Singkat Skyleen sambil menyunyah baksonya.

"Siapa?" Tanya Acha sambil mengerutkan dahi.

"Tuh, yang berdiri dibelakang lo." Tukasnya sembari menunjukkan ujung garpunya pada seseorang yang ia maksud. Acha menoleh, seketika kedua mata itu bertemu.

"Ehem!"

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya, kemudian melipat tangan kedada. Ya, dialah Raynender Parker. Lelaki bersumsum beku yang merupakan troublemaker bagi Acha.

"Ngapain 'sih? Belom puas ya mencetin hidung gw didepan banyak orang? Belom puas bikin gw malu?" Ucap Acha sinis yang sebenarnya sedang menyembunyikan rasa takut.

"Berdiri. Sekarang lo ikut gw."

Acha melotot, kemudian menggeleng keras. Kini kedua tangannya mencengkram kursi yang ia duduki.

"Berdiri cepet!"

Lelaki itu membentaknya. Tak bisa dipungkiri kalau Acha hanya bisa menurut pasrah pada lelaki itu. Akhirnya Acha menurut juga. Ia berdiri dari kursinya sementara tangan kekar Ray menyambar lengan Acha dan menariknya keluar dari tempatnya - bahkan keluar dari area kantin.

"Eh, eh, mau dibawa kemana si Acha?!" Tanya Skyleen mulai panik. Ia berdiri dari kursinya, hendak mengejar Acha.

"Udah, kalo lo mau Acha selamat mending kagak usah ikut campur." Cegat Joe yang kini menarik lengan atas Skyleen.

"Lepasin! Yang digiring Ray itu sahabat gw, bego." Tak perduli siapapun lelaki yang berhadapan dengannya, ia tetap mengotot mengejar Acha.

"Nurut dikit kek jadi cewek. Inget, lo itu pacar gw." Tukas Joe dengan suara lantang. Skyleen cuma ber-oh panjang sembari mengangguk-ngangguk. Ujung bibirnya menyungging senyuman sarkas.

"Yaudah, kalo gitu kita putus!"

Skyleen menyentak Joe dengan ikrar mautnya. Dengan segera ia menarik tangannya dari genggaman Joe dan kini Skyleen pergi begitu saja mengejar sahabatnya yang 'disandra' Ray.

Baik Joe maupun Steve, keduanya sama-sama speechless. Kebungkaman itu diakhiri dengan tawa garing Steve sembari menepuk-nepuk bahu kiri Joe.

"Sakit bro. Sumpah, sakit! Banyak tingkah 'sih lo, udah tau pacar lo ekstrem." Joe memicingkan matanya, menatap Steve dengan tatapan maut.

"Bacot lo. Sekali lagi lo buka mulut gak segan-segan gw robek ditempat!"

"Idih, dasar gak tau diri. Masih mending gw mau PDKT-in die sama Skyleen, sekarang malah kayak orang gak tau terima kasih. Awas aje lo minta saran gw buat balikan. Wuu.." Dumel Steve pada dirinya kala Joe meninggalkannya ditempat.

Tuk!

Seseorang menepuk bahunya.

"Steve, yang lain pada kemana?" Tanya Cena yang baru aja dateng dari arah toilet. Steve berdecak malas, kemudian membuang nafas cepat.

"Au deh. Udah ah, gw gak jadi makan. Lo makan sendiri aje ye. Bye!"

. . .

"Ray, kita mau kemana?"

Tak ada jawaban dari lelaki itu. Tatapannya masih lurus kedepan tanpa melirik Acha sedetik pun. Langkah besarnya yang juga cepat membuat Acha agak kesulitan untuk mengejarnya. Sekian pasang mata hanya bisa melirikinya iba kala Acha mengedar pandangannya, kemudian berakih menunduk menatap kedua pasang kaki mereka yang berjalan beriringan.

"Ray,"

JDUGG!!

"Au.."

Acha meringis. Kepalanya terbentur ounggung Ray kala lelaki itu berhenfi mendadak.

"Bisa diem gak? Kalo lo masih ngoceh,"

"I.. iya, iya..." Acha seakan ketakutan sendiri, bahkan saat lelaki itu belum benar-benar mengancamnya.

"Seenggaknya lo bilang, kan?" Sambungnya dengan nada lirih yang diperkecil. Namun, meski Acha udah ngomong sepelan mungkin, kuping tipis Ray masih aja bisa mendengar gumaman yang diutarakannya.

Lelaki itu menoleh sejenak, yang ditoleh malah ikilut menoleh kebelakang. Kini, Ray berdecak dalam diam, mengamati tingkah polos nan kepo Acha yang terkadang membuatnya kerepotan sendiri.

Langkah kaki itu terus melaju, hingga pada akhirnya Ray berhenti didepan suatu tempat dengan pintu kaca yang dilapis gorden turquois panjang yang tertutup. Ray membuka pintu tersebut, kemudian mendorong Acha kedalam.

'K.. klinik? Dia mau bunuh gw pake pisau bedah?'

Gumam Acha pada dirinya sendiri. Ia mulai panik, terlebih kala lelaki itu memasuki ruangan tersebut dan mengunci pintu klinik dari dalam. Hendak berteriak, namun suaranya malah tercekat.

"Ray, lo nggak bakal ngapa-ngapain gw, kan?"

Ray tak menjawab pertanyaan Acha. Lelaki itu malah memandanginya tajam sembari melepas kemejanya lalu kemeja tersebut ia lempar kesembarang arah. Kini, hanyalah kaus oblong yang masih menempel dibadannya.

"Eh, apa maksud lo?! Pake gak kemejanya?! Kalo lo berani nyentuh gw, gw gak segan-segan berteriak sekencang mungkin!"

"Teriak aja, gw gak jamin nyawa lo selamat setelah itu."

Acha melotot, ia diremehkan. Hendak berteriak, namun Ray lebih cepat membungkam mulutnya dengan serbet tipis yang ia ikat diantara mulutnya. Kedua lengan Acha digenggamnya, dicengkramnya kuat-kuat hingga gadis itu kehabisan energinya dengan cepat.

"Heh, jangan mikir yang macem-macem dulu dong. Nih, obatin luka gw yang kebuka gara-gara lo tonjokin tadi pagi. Gw gak mau tau, pokoknya lo gak boleh pergi sebelum lo urus luka gw. Ngerti?"

"Ah? Ga.. gara-gara gw? Ini? Aih, sorry Ray. Oke, oke, duduk. Sini biar gw TJ-in."

• I F.L.Y. •

TBC..

Thanks for everyone who read this story. Jadi ini gw publish step by step, chapter by chapter, biar enak bacanya fun dan gak ngegantung.

Sorry kalo agak aneh, it's just about fantasy.

Penasaran sama ceritanya? Lanjutin baca, ok!

I F.L.Y. ( I'm Fuckin' Love You )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang