Di Sela Langkah

378 54 5
                                    

Siang ini udara terasa begitu pengap. Sinar matahari memanggang menghanguskan badan. Aku berjalan tergesa, ingin cepat sampai ke rumah setelah seharian ini berkutat dengan pelajaran di sekolah.

Kuhalau debu-debu yang hendak hinggap di wajahku. Aku menggerutu dalam hati, "kota ini penuh polusi." Lalu kuseka keringat di dahi, dan berusaha membenarkan posisi kerudung yang agak miring.

Rumahku sudah terlihat di depan mata, tinggal berjarak sepelemparan batu dari tempatku sekarang.

Tiba-tiba..

Brukkk...!!

Refleks aku menoleh ke belakang dan terpekik melihat seorang kakek tua, terjatuh bersama berkarung-karung sampah yang ia panggul.

"Kakek!"

Itu bukan suara teriakanku. Ada seorang anak perempuan berjilbab tipis, sebaya denganku, berlari menuju kakek itu. Ia kemudian membantu kakek itu berdiri. Dan aku, yang tiba-tiba dihantam kesadaran dan hati nurani yang berteriak, segera ikut menolong si kakek.

Aku memasukan botol-botol plastik yang berceceran ke dalam karung milik si kakek. Sepertinya kakek ini seorang pemulung sampah.

"Kakek tidak apa-apa?" Gadis tadi Bertanya. Kakek itu tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan. Kakek itu menatapku sekilas dan tersenyum. Aku balas tersenyum dengan kikuk, menatap matanya yang dalam dan penuh sorot yang tampak bijak penuh welas asih.

"Kamu siapa?" gadis itu bertanya padaku.

"Eh? E.. aku Nina, aku tinggal di sana," jawabku terbata, menunjuk rumahku. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan.

"Namaku Puput, terimakasih ya, sudah menolong kakek."

Aku tersenyum kikuk, merasa malu karena padahal aku tidak merasa membantu sama sekali.

"Aku mau mengantar kakek pulang." Ujar gadis itu.

"Oh, aku ikut kalau begitu." Jawabku.

Puput terlihat senang. "Benarkah? Terima kasih sekali."

Wah, aku sendiri kaget mendengar jawabanku. Bisa-bisanya aku berkata begitu, padahal aku sudah kepanasan setengah mati, ingin pulang.

Tapi tanpa mempedulikan sengatan matahari yang terasa bertambah panas, akhirnya aku mengikuti langkah kaki Puput yang memapah Kakek, sedangkan kedua tanganku membawakan karung-karung sampah milik si kakek.

"Rumah Kakek agak jauh, kamu benar tidak papa?" Puput bertanya lagi.

Aku mengangguk dan memaksa diri untuk tersenyum.

Tidak papa apanya. Tanganku kebas, kakiku kesemutan, dan kerudungku.. aduh, entah bagaimana rupaku sekarang. Tapi demi melihat wajah sendu si Kakek yang penuh keriput dan terlihat letih, aku menguatkan kakiku.

"Put, rumahnya masih jauh?" sekarang aku balas bertanya.

"Iya, masih beberapa kilometer lagi," jawab Puput sambil terus berjalan, dan aku terbelalak kaget. Ya ampun..

"Kenapa tidak naik angkot saja?" Tanyaku lagi, melihat banyak angkot berseliweran.

"Nanti aku tidak bisa bayarnya, aku dan kakek sama-sama tidak punya uang," jawab Puput sambil tertawa.

Aku merasa kasihan, dan sekaligus bingung memikirkan memangnya seberapa sedikit uang yang mereka punya.

"Tidak papa, akan aku bayarkan. Kasihan kakek kalau terus berjalan," ujarku.

Semula Puput menolak, tapi aku memaksanya dan aku bilang takut kakek tambah sakit. Akhirnya ia luluh, dan kami mencegat sebuah angkot yang kosong. Saat kami naik, angkot itu jadi terasa penuh karena karung sampah Kakek yang menggunung.

Sesa-atTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang