16 Juni 2009
Yuma hanya bisa menatap sekeliling dengan pandangan malu, tak ada yang menyapa nya. Dia sendirian di lingkungan asing ini. Menatapi dengan pandangan iri anak-anak lain yang tertawa dan berlari dengan cerianya. Yuma sangat ingin ikut, tapi dia tak punya keberanian lebih.
Dia tak pandai bergaul, Yuma ingin bermain. Tak bisakah mereka mengajaknya? Kenapa dari tadi tak ada yang memperhatikannya.
Jadi yang bisa di lakukan anak berusia 6 tahun itu, hanya duduk diam di dekat teras kelas. Terkadang memandang polos kearah yang lain, kemudian kembali menunduk jika ada yang menatapnya.
Sampai bel berbunyi tanda masuk, hanya Yuma yang bergegas masuk ke kelas yang lain masih terlalu asik bermain didepan sana. Menghembuskan nafas, Yuma kecil ingin menangis. Dia rindu kak Mei, tapi sayangnya gadis itu tak bisa ikut dirinya ke sekolah.
Jika saja ada kak Mei dan Kara dia pasti takkan kesepian. Dua orang itu pasti akan mengajaknya bermain bukan malah mengabaikan seakan dia tak terlihat.
Tak terasa sang guru sudah memasuki kelas, tersenyum ramah.
"Kali ini kita belajar membaca yah," semua murid bersorak senang, hanya Yuma yang mengigit bibirnya. Dia tak pandai membaca. Ibu tak pernah mengajarinya karena Yuma dulu sangat suka bermain dan tak ingin masuk TK. Yuma menyesal memberontak dulu.
Yuma rasa ingin menangis, disaat teman-temannya dengan mudah mengeja dia harus berulang kali belajar dan menghafal huruf-huruf yang terasa memusingkan kepalanya.
"Kamu kenapa?" Pria kecil yang duduk disampingnya menatap bingung sekaligus penasaran. Kenapa dengan gadis disebelahnya ini? Ditanyai begitu Yuma malah terisak. Dia tak bisa. Dia tak mengerti.
Bu Dewi segera beranjak menghampiri Yuma yang tersedu di bangkunya, menanyai ada apa dengan anak itu.
"Dia cari perhatian Bu guru!" Anak perempuan dengan perpotongan rambut panjang lurus itu menatap sinis kearah Yuma, cengeng sekali. Padahal hanya belajar membaca. Kenapa anak dengan poni rata itu malah menangis. Dia tak suka anak cengeng.
Dikatai begitu Yuma makin kencang menangis, dia merasa disudutkan. Padahal dia tak berniat menangis, salahkan bocah botak disampingnya ini yang tadi memancing air mata Yuma. Jika saja si bocah tak bertanya Yuma pasti takkan menangis begini.
Apalagi saat melihat tatapan sinis si gadis rambut panjang lurus, Yuma ingin pulang! Yuma ingin bermain dengan kak Mei. Yuma tak suka disekolah.
"Ssstt, udah yah gapapa. Nanti ibu ajarin sampai bisa," Yuma meredakan tangisnya. Dia cengeng, dia tahu itu. Dia tak pandai melakukan banyak hal dan juga pendiam. Yuma ingin menjadi si ceria yang mudah berkawan dan si pintar yang mudah mendapat perhatian.
...
" Heh, kamu. Cengeng" saat jam istirahat lagi-lagi Yuma cuma duduk diam didekat teras kelas memperhatikan yang lainnya bermain di lapangan. Tidak seperti biasanya, dia kini jadi pusat perhatian karena si gadis rambut panjang lurus yang menatapinya sinis dikelas kini mengatainya.
Yuma tak suka gadis sok ini. Yuma memang pendiam tapi dia tak suka ada yang berani meremehkannya walau itu kenyataan. Gadis rambut panjang lurus ini harus di beri pelajaran agar tak banyak bicara lagi. Kak Mei selalu mengajarkannya untuk membalas jika orang lain menyakitinya,
"Cengeng, cengeng!" Si gadis rambut panjang lurus makin gencar mengatai, membuat Yuma kecil menatap tak senang ingin sekali menjambak rambut gadis itu. Tapi Yuma tak boleh barbar ini bukan lingkungannya, dia tak bisa berlaku seenaknya.
Si gadis rambut panjang lurus kesal karena ucapannya sama sekali tak dipedulikan, apalagi anak yang diejeknya itu malah menatapinya dengan sinis. Membuatnya berang, gadis itu dengan berani maju malu menjambak rambut Yuma kuat. Membuat Yuma berteriak kesakitan meminta dilepas.
Memangnya apa salah Yuma? Gadis itu yang mengatainya lalu sekarang dia menyerangnya?
Yuma tak ingin sakit sendiri, jadi tangan kecilnya dengan cepat meraih rambut gadis itu. Menariknya kuat hingga mereka jadi tontonan sampai sang wali kelas menghampiri dengan tergesa. Keduanya menangis kesakitan, kulit kepala mereka terasa panas. Apalagi banyak rambut yang rontok. Si kepala botak yang duduk disamping Yuma tadi menghampiri.
"Kamu gak papa?" Tanyanya meringis saat Yuma menangis, terhitung dua kali gadis itu menangis hari ini. Si botak agak kasian melihat penampilan Yuma yang acak-acakan. Untung dia tadi bergegas memanggil guru jika tidak mungkin Yuma juga pasti akan botak.
"Yah kamu liat sendiri lah!" Disela tangis Yuma membentak, sebal. apa si botak tak melihat dia kesakitan! Kenapa masih bertanya. Menyebalkan, apalagi si rambut panjang lurus yang mengaduh itu. Cih dia yang salah dia yang mengaduh.
Keduanya sekarang di bawa ke kantor, Bu Dewi ingin mereka menyelesaikan masalahnya.
"Jadi kenapa berantem," si guru menanyai dengan lembut, takut keduanya jadi takut dan menangis lagi. Ada juga si botak yang memaksa ingin ikut katanya ingin menjadi saksi. Padahal dari tadi kerjanya hanya mengelus rambut Yuma, membuat gadis itu mendengus tak suka. Yuma tak suka rambutnya dielus sembarangan oleh orang asing.
"Dia Bu!" Si rambut panjang lurus menunjuk, menyalahkan Yuma lagi.
"Arleta kamu duluan yang nyerang Yuma!" Si botak membela, dia melihat dengan jelas gadis bernama Arleta itu yang memprovokasi si pendiam ini.
"Dio mending kamu diem aja deh!" Arleta berbicara dengan tak santai, menyebalkan sekali lelaki bernama Dio ini. Ingin menjadi pahlawan rupanya.
' si botak namanya Dio, dan si sinis ini namanya Arleta.." dalam diam Yuma mengingat,
"Yuma kenapa diam? Gamau membela diri?" Yuma menunduk, dia hanya ingin pulang!
Huweeee mama bawa Yuma pulang! Yuma ingin main dengan kak Mei!
Dengan sekuat tenaga gadis kecil itu menahan tangisnya, dia tak boleh menangis lagi. Nanti si sinis itu pasti akan mengejek lagi.
"Benar kok Bu, Arleta yang mulai dulu. Saya liaat," Dio kembali bersuara saat dilihatnya Yuma hanya menunduk diam. Dio jadi kasihan.
Bu Dewi menghela nafas, percaya saja. Soalnya Dio juga tak pernah berbohong.
"Kalo gitu Arleta minta maaf sama Yuma, kasian kan dia gak ada ganggu kamu. Kamu malah gangguin dia," Arleta mencebik bibirnya maju beberapa senti, dilihatnya gadis yang duduk disebalahnya ini hanya diam tak berniat membela. Kok Arleta jadi kasihan yah.
"Iya deh, maafin Leta yah." Ujarnya menyodorkan tangannya untuk bersalaman yang tak dihiraukan Yuma. Gadis itu masih enggan mendongak.
"Ayo Yuma, baikan."
Dengan sedikit ragu Yuma membalas tangan Arleta, membuat Dio bertepuk tangan kecil.
"Sekarang kembali ke kelas, ingat yang akur yah jangan berkelahi." Arleta mengangguk, gadis kecil itu menuruni kursinya sendiri berjalan pergi tapi terhenti. Menoleh ke belakang menatapi punggung Yuma yang masih enggan bergerak.
Gadis itu kenapa diam sekali sih, Arleta tak senang. Dia kenapa terlihat begitu lemah. Arleta benci orang lemah.
Arleta membalik langkahnya berjalan menuju Yuma, menyentuh pundak gadis itu.
"Aku Arleta, mulai sekarang ayo temanan!, Kalo temenan sama aku gak akan ada yang berani ganggu kamu" begitulah Arleta kecil dan Yuma kecil menjalin pertemanan.
Arleta yang galak dan sinis, serta Yuma yang dominan pendiam dan tak banyak bicara.
Ingat itu dulu yah.
...
Visualisasi Yuma dan Arleta ada di media yaaah.
HALO, AKU KEMBALI PADAHAL ADA DUA WORK YG KU BIARIN BERDEBU. MAAF YAH BUND. TANGAN KU GREGET PENGEN PUBLISH INI EHEHEHE ^^
BLINK AYO MERAPAAAT
KAMU SEDANG MEMBACA
False
Fanfictionterlihat begitu menakjubkan, bahagia dan penuh tawa. orang selalu menatap mereka kagum, megatakan seakan mereka tak punya beban hidup. padahal tak begitu. Ku perkenalkan kalian pada Arleta Ratuwulanda, si bungsu yang selalu nampak ceria. dengan kara...