23 Agustus 2010"Yumaaaaaa!" Teriakan itu mengelegar di ruang kelas 2B, pelakunya hanya menyengir lebar. Sama sekali tak merasa bersalah, sementara anak yang masih asik bermain dan menjahili temannya yang lain jadi berdecak merasa terganggu.
"Mulut besar jangan teriak-teriaaak! Fadian jadi takut tau!" Ucapnya galak, melotot sebal membuat Arleta terkekeh kecil.
"Mau gak? Aku punya dua, kalo gamau sih gapapa." Tawarnya menunjukkan dua sosis ditangan, yang dengan cepat dirampas si serampangan tadi.
"Dio ada ngabarin?" Arleta bertanya, membuat si gadis mendelik sebal.
"Diam, aku masih kesal. Dia pindah tanpa ngasih tau aku, kurang ajar teman macam apa itu." Arleta terkekeh, lihat gadis ini. Dia mengoceh dengan kecepatan cahaya walau berhenti untuk mengigit sosisnya.
"Kan udah aku bilang Yuma, kamu ga penting." Ujarnya tanpa dosa, membuat Yuma— gadis yang kini melotot— itu mendengus sebal. Selalu, Arleta dengan mulut cabainya.
Perkenalkan dia Yuma, berusia 7 tahun. Resmi melepas tittle pendiam dan penakutnya, karena Arleta, Yuma jadi lebih berani bahkan lebih serampangan. Arleta kan jadi malu.
Setelah satu tahun berlalu, banyak yang berubah. Arleta dan Yuma yang menjadi dekat walau tak menutup kemungkin dua gadis cilik bermulut Chili itu untuk bertengkar. setidaknya mereka masih berteman dekat.
"Gimana?" Arleta bertanya membuat Yuma menyerngit tak mengerti. Apanya yang gimana? Arleta memang sering tak jelas.
"Apa?"
"Fadian?" Jangan salah yah, diusia 7 tahun Yuma sudah sangat tergila-gila dengan seorang pemuda manis bernama Fadian. Tolong anak itu, dia masih sangat polos. Jangan biarkan Yuma mendekati dan menodai otaknya.
"Males ah, ajarin perkalian yah nanti. Bu Ratna galak banget, kemarin aku kena marah lagi!" Curhatnya malah membuat Arleta terkekeh. Ada yang masih belum berubah di sini, Yuma masih dengan kemampuan lemahnya menangkap pelajaran.
Sangat bebal.
"Ooiiit," ada yang berlarian didepan kelas, si ketua kelas. Anak Bu Ratna, Ganesha.
"Ada murid baruu, pindahan Bandung loooh!" Mulutnya berkomat Kamit melapor apa yang tadi dilihatnya di kantor,
"Cewek atau cowok?" Yang lain menyambung, penuh dengan keingin tahuan yang besar.
...
Jam istirahat ini Yuma hanya berdiam diri di kelas, malas sekali rasanya berdesakan dikantin dengan badannya yang kecil. Dia bisa terdorong tahu! Kalo Arleta kan lain, dengan wajah sinis dan anggunnya dia bisa dengan mudah mencapai makanan yang ditujunya. Yuma jadi iri.
"Gamauuu, hiks ayah jangan ditinggal
Jeslinnyaaaa!" Bising sekali. Menganggu ketenangan saja,Yuma menatap tak senang pada pintu kelasnya, disana ada seorang gadis kecil yang berada di gendongan sang ayah. Yuma jadi teringat pada dirinya satu tahun lalu yang terlihat cengeng.
Si gadis sadar ada yang menatapnya, tangisnya makin kencang saat didapati mata Yuma yang sinis kearahnya. Padahal Yuma tak bermaksud begitu :(
"YUMAA YUMAAA! TADI LETA DI KASIH BAKWAN SAMA KAKAK KELAS!" Dengan seenaknya Arleta kembali berteriak dan berlari riang, menunjukkan plastik berisi bakwan kuah ditangannya. Tak sadar bahwa ada sosok lain didekat pintu.
"Sana kenalan," ayah dari anak yang menangis itu berbisik, mendorong anaknya untuk turun dan berkenalan dengan teman barunya. Tapi si gadis masih mencengkram erat tak mau lepas. Pokoknya dia tak mau! Liat dua gadis yang sedang bersama itu! Wajah mereka menyeramkan apalagi si pipi tembam! Dia menatapnya sinis! Jeslin takut.
"Dia mirip kamu dulu, cengeng." Dengan ucapan itu arleta berhasil mendapatkan tabokan penuh kasih sayang dari Yuma. Membuat Jeslin makin takut melihat mereka.
"Ayah ayaaah Jeslin mau pulang gamau disini!"
Kedua anak itu saling pandang,
"Muka mereka jahat," Jeslin berujar polos, memang benar begitu kok. Muka Arleta dan Yuma persis antagonis di film. Sangat menakutkan seakan kedua anak itu menyimpan banyak rencana licik di otak kecil mereka.
...
Yuma mendengus, anak disampingnya ini ada masalah apasih. Dari tadi tidak mau berhenti menangis. Yuma pusing, otaknya butuh berpikir. Dia tak mengerti perkalian lalu dengan mengesalkannya gadis itu menangis. Memecah konsentrasinya.
"Kasian, ajak temenan aja." Fadian menyarankan, membuat Yuma menimang. Berpikir.
Dia juga begitu dulu, sendirian ditempat asing hanya bisa menatap dan berakhir dijambak seorang gadis barbar seperti Arleta. Apa nasib bocah itu juga akan sama sepertinya dulu? Apa Arleta akan sebal karena bocah cengeng itu lalu dengan seenak jidat menjambak rambut halus si bocah. Tidak tidak, Yuma tak ingin itu. Dia tak ingin Arleta si judes itu masuk kantor lagi, sudah cukup seminggu yang lalu gadis itu berulah. Hari ini tak boleh! Nanti dia kena marah mama nya lagi.
"Kamu kenapa sih dari tadi nangis,"
Yuma salah bicara, gadis itu tambah menangis kencang. Menyebalkannya. Jika bukan demi Arleta, Yuma tak ingin repot mengajak gadis ini bicara.
"Muka mu, senyum dong. Jangan kayak gitu dia takut," Fadian lagi-lagi berbisik, bagi Yuma apapun yang dikatakan Fadian mutlak dilakukan tak boleh dibantah. Maaf-maaf saja yah Yuma sedari kecil memang sudah bucin.
Dengan pintar gadis itu merubah ekpresi wajahnya, "maaf deh, kamu jangan nangis lagii! Disini ada penunggunya looh," dia menakut-nakuti berharap gadis itu berhenti menangis.
"Dia gasuka anak cengeng, kalo cengeng dibawanya kebelakang. Kamu lihatkan dibelakang ada bekas rumah sakit!" Seketika tangisnya reda, Yuma bangga. Dia bisa menenangkan seseorang.
Yuma berbakat titik! Dewasa nanti dia harus jadi psikolog! Antisipasi jika Arleta terganggu mental karena terlalu tertekan dengan tinggi badannya yang ingin jadi pramugari. Tidak, Yuma hanya bercanda.
"Nah gitu dong, namaku Yuma." Ujarnya, menyodorkan tangan mengajak si gadis bersalaman.
"Jeslin," jawabnya takut-takut,
Hari itu Yuma dan Jeslin resmi berteman, Arleta juga mengikuti. Karena baginya teman Yuma juga temannya.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
False
Fanfictionterlihat begitu menakjubkan, bahagia dan penuh tawa. orang selalu menatap mereka kagum, megatakan seakan mereka tak punya beban hidup. padahal tak begitu. Ku perkenalkan kalian pada Arleta Ratuwulanda, si bungsu yang selalu nampak ceria. dengan kara...