Sudah Jelas

33 7 3
                                    

Semua sudah jelas, Zas
Aku hanya punya pilihan untuk melepas
Tapi aku tetap tidak bisa ikhlas
-Amanda-

***

Olimpiade kota sudah ada di depan mata. Mereka jadi sering bimbingan, yang biasanya seminggu sekali, jadi seminggu tiga kali. Yang biasanya hanya dua jam bertambah menjadi sepuas mereka menjawab pertanyaan. Gurunya tidak keberatan dan mereka memang keasyikan mengerjakan soal.

"Na, nomor 3 gimana ya caranya?" Telinga Amanda waspada, padahal Zas kan cuma bertanya. Dia jadi sering mikir, ini apa dia yang terlalu berlebihan ya?

"Coba deh tanya Amanda, itu kayaknya dasarnya matematika deh, Zas." Amanda juga masih mendengar jawaban Leana, dalam hati dia tersenyum. Mungkin memang benar, Amanda yang terlalu berlebihan.

"Manda, nomer 3 bisa?" Kini Arghizas menoleh ke arahnya, mereka sebangku dan itu semakin memudahkan Arghizas untuk mengintip soal yang sedang dikerjakan Amanda.

"Belum coba." Raut Arghizas sudah menampilkan kecewa, pacarnya itu sedari tadi memang penasaran sekali dengan nomor 3.

"Habis ini ya kucoba." Senyum terbit di bibir Arghizas, Amanda senang melihatnya. Ingin senyum itu hanya dan selalu tertuju padanya. Mendadak Amanda jadi membayangkan banyak hal, Leana juga pasti mendapat senyum ini saat dia menjawab pertanyaan Arghizas tentang astronomi, setidaknya seminggu sekali. Amanda tidak rela membayangkannya, jadi di bertekad. Dia akan belajar lebih giat. Astronomi tidak ada apa-apanya jika itu untuk Zas dan senyum manisnya.

***

"Zas." Amanda memanggil pelan, mereka sedang ada di perpustakaan, besok adalah hari H olimpiade tingkat kota dan mereka memutuskan untuk mereview materi sebentar. Tidak spaneng, hanya melihat-lihat singkat catatan dan juga lebih memerhatikan bagian-bagian materi yang masih dirasa belum mengerti.

"Hmm. " Cowok itu hanya menyahut sekilas, pandangannya masih lurus pada buku catatan di hadapannya. Zas itu manis, bukan tipe casanova. Tapi cukup membuat Amanda menyukainya.  Bulu matanya yang panjang, matanya yang berbinar terang, dan senyuman mautnya, yang entah bagaimana bisa menularkan senyum di bibir Amanda juga.

"Besok jemput aku bisa?" Amanda menggigit bibirnya, pertanda bahwa dia gugup. Mereka tidak pernah pulang pergi sekolah bersama. Amanda selalu diantar jemput, dan jadwal ketat lesnya tidak akan mengizinkan Amanda untuk pulang bersama Arghizas.

Dahi Zas berkerut, dia meletakkan catatan yang sedari tadi dibacanya untuk kemudian menoleh pada Amanda.

"Emang boleh sama mama?" Ya, mamanya selalu memastikan dia pulang pergi dengan mobil jemputan. Tidak ingin Amanda kemana-mana. Memastikan bahwa semua keperluan Amanda terpenuhi dengan mengandalkan sopirnya. Dan Amanda tidak keberatan, toh selama ini dia merasa dimudahkan.

"Boleh. Aku bilang mau olimpiade. "

"Ya udah, tapi pagi ya. Rumah kita kan nggak searah. "

Amanda semakin menggigiti bibirnya lagi, tidak tega sebenarnya. Rumah Zas jauh dan dia dengan jahatnya menambah jarak tempuh.

"Kamu nggak keberatan?"

Arghizas tersenyum lembut, tangannya itu dengan cepat menjepit bibir Amanda.

"Jangan digigit, kebiasaan buruk deh. "

Amanda hanya mengedipkan matanya, kaget. Terpesona juga, Zas lagi menyuguhkan senyuman mautnya. Manis, lesung pipinya muncul malu-malu.

"Dan ya tentu aja aku nggak keberatan. Aku jemput kamu besok. " Dia melepaskan tangannya, mengalihkan pandangan dari Amanda kemudian dengan cekatan membereskan alat tulisnya.

"Pulang yuk, udah jam 3. Pak Andi pasti udah datang." Dan dia tersenyum lagi, lembut sekali, bikin Amanda luluh berulang kali.

Zas itu baik, dia selalu baik. Dia selalu mengerti Amanda, tidak pernah protes dengan gaya pacaran mereka. Padahal biasanya remaja suka jatuh cinta dengan gila, berkencan dengan penuh gembira ria. Tapi Zas rela menemani Amanda menghabiskan istirahatnya di perpustakaan, malam minggu hanya dengan telfonan, dan dengan sabar menunggu pesannya yang dibalas Amanda 5 jam kemudian. Zas baik, terlalu baik. Sampai Amanda merasa bahwa mereka tidak seharusnya bersama, tapi dia cuma punya Zas, dia tidak bisa melepaskan dengan ikhlas. Tidak sekarang, tidak juga nanti. Makanya dia ingin berusaha sekuat hati.

***

"Coba bareng Reza, Na." Amanda mendengar Arghizas sedang berbicara dengan ponselnya saat dia keluar menuju pintu gerbangnya.

Arghizas memandangnya sekilas, tersenyum. Kemudian memberikan isyarat dengan menunjuk helmnya, menyuruh Amanda untuk memakainya.

"Gue bilangan Reza ya, jangan naik angkot deh. Ntar telat gimana. Tahu sendiri biasanya jalannya lelet. "

Amanda sudah siap duduk di belakangnya saat Arghizas menyelesaikan panggilan telepon.

"Ya udah, hati-hati, Na. " Demi mendengar nama itu, mood Amanda menjadi buruk. Ini sungguh bukan cara ideal untuk memulai pagi.

"Kenapa Leana?" Dia basa-basi bertanya, tidak benar-benar ingin tahu.

"Ban motornya bocor." Hening sejenak "Manda, aku telfon Reza bentar ya."

Amanda hanya mengangguk, walau dia tahu Arghizas tidak bisa melihatnya. Tapi Amanda rasa Zas tidak butuh jawaban, dia hanya mengatakan.

"Za, jemput Leana ya. Bannya bocor. "

"Oke, thank's ya, Za."

Amanda menaikkan alisnya mendengar percakapan mereka. Kenapa terima kasih? Memangnya Zas siapanya Lea sampai harus dia berterima kasih atas bantuan yang akan Lea terima? Ini benar-benar pagi yang buruk, dan Amanda hanya terus merutuk. Kecurigaannya muncul lagi, padahal kemarin dia sudah berusaha terima. Bahwa Arghizas dan Leana tidak ada apa-apa. Bahwa mereka hanya teman biasa.

***

Kalimat yang pertama Arghizas ucapkan saat mereka tiba di lokasi olimpiade adalah seperti ini.

"Bagus, Leana udah sampe?" Pacarnya itu bahkan mengabaikan keberadaannya, tidak mengajak Amanda bicara dan hanya tergesa-gesa mencari teman-teman sekolahnya.

"Udah. Tuh lagi sarapan sama Reza. " Bagus menunjuk pada cafetaria SMA 2. Iya Leana ada disana, tertawa bahagia menanggapi candaan Reza. Tangan kanannya memegang cangkir, sekali-kali menyeruputi. Rambutnya yang panjang sepunggung itu tergerai indah, ada bandana warna pink yang dengan sempurna melengkapi penampilannya.

Amanda tidak perduli, tapi melihat bagaimana Arghizas tersenyum ke arahnya, dia mendadak menyadarinya. Leana cantik sekali, auranya bersinar sekali. Dan itu bikin resah Amanda bertambah, dia tidak pernah merasa rendah, namun senyum Arghizas membuatnya seketika kalah.

Leana dan Arghizas ya?

Kalau sudah begini, Amanda harus bagaimana? Menunggu Arghizas menyadari perasaannya? Atau segera mengakhirinya. Dia itu orang paling tidak peka, dan kalau orang paling tidak peka seperti Amanda saja dapat dengan jelas merasakannya. Maka itu tentu benar adanya, bahwa Arghizas memang sedang jatuh cinta. Bukan padanya, tapi pada Leana.

"Manda mau sarapan?" Untuk pertama kali, senyum Arghizas sangat menyakitkan hati.

"Nggak, aku udah makan. Kamu aja, aku ketoilet dulu. " Amanda berlalu dari hadapan cowok itu. Mencoba menyembunyikan pilu yang terasa menusuk kalbu.

"Oke, aku tunggu di cafetaria ya. " Amanda tidak sempat melihat bagaimana langkah cepat-cepat Arghizas menapak, dia tidak sempat melihat bagaimana senyum cerah Arghizas tambah berkali-kali lebih bungah. Tapi dia merasakannya, mata Arghizas pasti berbinar, dan senyumnya tiada henti menguar. Amanda merasakannya, sambil berlari memunguti kepingan hati.

Sekarang memang tinggal dia yang harus memutuskan. Karena perasaan Arghizas sudah jelas sekali, seterang mentari pagi.

AmigdalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang