Amanda menggoyang-goyangkan kakinya. Memandang lurus ke depan pada lapangan yang kini mulai lenggang. Hanya ada beberapa gelintir anak basket yang sedari tadi sudah menyudahi latihan rutinnya. Dari tempat duduknya, Amanda bisa melihat Rangga. Cowok itu tersenyum, lalu dengan riang melambai ke arahnya. Amanda hanya membalas dengan senyuman seadanya.
"Nungguin, Zas?" Rangga mendudukan diri di sampingnya, sibuk mengelap keringatnya.
"Iya."
"Tumben deh." Rangga memasukkan handuk ke dalam tasnya, sudah lebih segar.
"Nggak papa pengen aja." Amanda tersenyum kecil
"Ah nggak ada kata 'pengen aja' dalam kamusnya Amanda. " Kini Rangga memandangnya dengan curiga, dahi pemuda itu berkerut. Amanda hanya tertawa, Rangga ini memang sangat mengenalnya. Entah bagaimana tapi setelah dekat dengan Zas otomatis Amanda dekat juga dengan Rangga. Dekat untuk bisa saling menyapa, untuk bisa saling bercanda. Sepertinya Rangga memang mirip Zas, mereka terlalu ramah sampai Amanda yang diam pun bukan masalah.
"Zas minta ketemu. Katanya suruh nunggu." Dia mengaku, lagian Rangga memang akan selalu tahu.
"Tumben." Lagi, Rangga juga mengerti Zas dengan baik sekali. Sahabatnya itu tidak pernah meminta Amanda menunggu. Mereka bukan pasangan yang akan saling menunggu kemudian pulang dengan bergandengan tangan. Kencan menurut definisi pasangan ini adalah pergi ke perpustakaan saat jam istirahat pertama datang, atau karena sekarang sekelas berarti ditambah dengan duduk sebangku kemudian membahas tugas sampai tidak kenal waktu. Zas itu sungguh tidak rajin, tapi untuk Amanda dia berubah menjadi rajin. Satu dari sekian banyak hal yang masih menjadi misteri bagi Rangga. Dia selalu bertanya-tanya, kenapa Zas suka sampai sebegitunya.
"Aku pulang duluan kemarin, waktu olimpiade." Cicit Amanda lirih
Rangga menenggak minumnya, sebelum kemudian memfokuskan seluruh perhatiannya pada Amanda.
"Kenapa?" Dia menaikkan alisnya
"Zas nggak cerita?" Amanda menoleh pada Rangga
"Nggak tuh."
"Ya kemarin aku badmood aja, terus nggak sengaja ketus sama dia. Mungkin sekarang dia mau tanya kenapa atau minta maaf. "
"Oh." Rangga mengangguk-anggukkan kepala "Zas bucin banget sih, Man, sama lo? " Begitu lanjutnya, lalu Rangga hanya tertawa. Tidak habis pikir saja dengan temannya. Zas memperlakukan Amanda dengan begitu baik, sampai dia akan selalu mengalah siapapun yang salah. Ah tapi mereka jarang sih punya masalah. Amanda itu pendiam, pemikirannya sederhana. Arghizas juga.
"Zas berubah nggak sih, Ngga?" Amanda bertanya sambil menerka-nerka, siapa tahu Rangga juga merasakan apa yang dia rasakan.
"Berubah gimana?"
"Ya gitu, menurut lo gimana?"
"Kalian ada masalah?" Ini tidak seperti biasanya
Gadis di sampingnya itu hanya menggeleng. Rangga melihat kesenduan di matanya, mereka ini sebenarnya ada apa?
"Gue ngerasa Zas punya seseorang yang dia suka." Amanda kini memandangnya, perkataannya itu disertai senyum. Rangga tidak mengerti.
"Ya elo kan orangnya. " Itu sudah tidak perlu diragukan lagi
"Sekarang bukan lagi. "
"Apa maksud--" Rangga belum menyelesaikan perkataanya, tetapi Amanda sudah berdiri. Gadis itu menyunggingkan senyumnya lebih lebar, dan Rangga bisa melihat Zas yang berjalan ke arah mereka. Rangga tidak tahu kenapa, tetapi senyum lebar Amanda itu memancarkan luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amigdala
RomanceKau adalah angin yang menyergapku dalam hening dan lama-lama menjadi dingin Kau juga adalah hujan yang turun dalam kenangan membuatku menggigil kedinginan