Jatuh Cinta

31 5 1
                                    

Tidak ada yang istimewa dari pertemuan Leana dengan Arghizas. Mereka teman sekelas, dan seklise seperti milyaran pertemuan manusia lainnya. Hanya kebetulan, tidak ada istilah ditakdirakan.

Leana itu ramah, dia memiliki banyak teman meskipun masih murid baru. Banyak teman-teman SMPnya, dan entah bagaimana dia juga langsung akrab dengan teman-teman kelompok masa orientasinya. Zas hanya salah satu dari sekian banyak temannya.

Awalnya mereka biasa saja. Tidak dekat, tidak juga memiliki sekat. Layaknya teman sekelas lainnya. Banyak kesamaan mereka. Mereka suka bintang-bintang, gitaran dengan lagu-lagu sumbang, lalu bercanda sampai ketagihan. Zas yang berjiwa bebas cocok sekali dengan Leana yang suka berimajinasi begitu lepas.

Mereka mulai sering duduk bersama, membicarakan topik seru berlama-lama. Dari mulai bagaimana percy jackson menghadapi monster sampai dengan kenapa telur malah memadat saat dipanaskan. Itu tidak penting, tapi menghabiskan waktu dengan Arghizas selalu menjadi penting.

Mereka cepat menjadi teman dekat, tiga bulan dan sudah menjadi tak terpisahkan. Ke kantin bareng, nyalin tugas pagi bareng, kelompok an juga selalu bareng. Zas terasa sangat dekat, sampai Leana tahu bahwa mereka sesungguhnya memiliki sekat.

Secepat kedekatannya dengan Zas, secepat itu harapannya dihancurkan. Katanya Zas punya pacar, anak IPA 2 yang baru saja menerima cintanya. Leana pikir mereka punya kesempatan, ternyata hanya dia yang jatuh cinta sendirian. Arghizas tidak, dia salah menebak dan sialnya terlanjur berharap banyak.

"Naa, gue jadian sama Amanda. " Arghizas menghampirinya pada suatu sore, di parkiran motor. Matanya berbinar senang, dan baru kali ini Leana melihat Arghizas sebahagia itu, senyumnya setulus itu.

"Oh yaa?" Dia memaksakan senyumnya. Semoga Arghizas tidak curiga.

Cowok itu mengangguk "Iyaa, nggak sia-sia ya nyamperin dia di perpustakaan setiap siang. " Kini Leana mengerti kemana Arghizas pergi saat istirahat pertama. Mereka memang selalu bersama, tetapi Arghizas tidak pernah membagi waktu istirahatnya. Itu pasti buat Amanda, sepenuhnya buat dia.

"Amanda anak kelas mana, Zas?" Leana mencoba menanggapi, sesungguhnya dia tidak ingin tahu, tapi menjadi tak acuh saat Zas sedang bercerita dengan antusiasnya rasanya tidak pantas, Leana tidak ingin Arghizas kecewa.

"IPA 2. Yang sering dipanggil pas upacara. " Arghizas senyum lagi.

"Pas upacara? Siapa ya? Nggak pernah dengerin gue." Leana sedikit heran, dia hampir mengenal seluruh siswa di sekolahnya apalagi anak baru, ya walaupun tidak kenal, setidaknya tahu. Apalagi dia sedang masa diklat OSIS juga, memaksanya untuk lebih beramah-tamah dan memberinya kenalan yang lebih banyal juga.

"Cabut mulu sih lo. "

Leana hanya mencibir, Zas tidak lebih rajin dari dia. Leana bisa menebak kalau anak itu bertahan di lapangan upacara hanya karena Amanda.

"Yaudah sih, kasih tahu. Yang mana sih?" Kok dia jadi penasaran? Jangan cari tahu Lea, dia pasti luar biasa sampai Zas menganggapnya istimewa. Kamu tidak ada apa-apanya.

"Yang sering juara matematika. Belum juga satu semester sekolah disini, udah menang lomba aja dia. Hebat ya, Naa." Zas mengawang, sepertinya sedang membayangkan Amanda. Kenapa Lea harus menyaksikannya? Cintanya bertepuk sebelah tangan, dan dia nggak cukup dermawan untuk mendoakan Zas bahagia, bukan dengan Leana.

"Nggak cocok sama lo. " Separuh serius. Kamu cocoknya sama aku, Zas. Kenapa nggak bisa lihat sih? Hatinya berteriak egois, kenapa Zas tidak suka saja kepadanya? Apa kurangnya Leana daripada Amanda? Lea mengeluh, semakin melubangi hatinya yang terluka.

"Yee, gue juga pinter kok. Gue akan jadi pinter buat Amanda. " Katanya yakin, Leana bisa melihat kesungguhan di matanya. Kedua tangannya yang mengepal kuat, dan Arghizas yang sudah sangat bertekad. Kalau begini Leana bisa apa? Zas bahagia dan yakin dengan pilihannya.

Sudah berdamai dengan cinta bertepuk sebelah tangannya, Leana harus kembali menghadapi kenyataan. Kenaikan kelas XI kelasnya diacak. Dan sialnya dia harus terjebak bersama Arghizas dan Amanda. Dua orang yang sangat tidak ingin dia lihat secara bersamaan. Oke, Leana senang jika dia bisa sekelas lagi dengan Arghizas. Cowok itu memotivasi paginya, dia jadi tidak malas kalau sudah ketemu dengan cengiran Zas yang khas. Oke, dia juga tidak keberatan sekelas dengan Amanda. Amanda bukan teman yang menjengkelakan, mereka juga tidak terlalu kenal, jadi itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah kalau mereka digabungkan berdua, dengan Leana yang menyaksikannya. Itu sungguh akan sangat menyiksa.

Melihat tatapannya Zas untuk Amanda, ketawanya Zas yang tulus untuk Amanda, juga semua perhatiannya. Panggilan mereka yang amat berbeda. Zas, tidak pernah berkata kasar, dia memperlakukan Amanda lebih lembut dari siapapun juga. Leana hanya ingin menghilang saja.

Seperti hari ini misalnya, Zas yang menyadari ketidakhadiran Amanda membuatnya khawatir luar biasa. Cowok itu langsung mengelilingi arena seleksi, bertanya pada semua teman sekolahnya, juga pada satpam yang menjaga di gerbang.

Demi tuhan, Amanda itu sudab dewasa. Zas tidak perlu khawatir seperti orang gila.

"Nggak diangkat-angkat, Na. Dia kemana ya?" Arghizas masih terus mencoba menghubungi, meski entah sudah berapa kali hanya nada tak terhubung yang berbunyi.

"Mungkin dia udah dijemput, Zas " Leana menenangkan, dia itu paham wataknya Zas. Kalau udah bingung, udah kalut, ya nggak bisa mikir. Suka berlebihan.

"Kan tadi bareng gue. Masa pulang duluan. "

"Sebel kali sama lo. "

Arghizas diam, matanya yang berputar-putar itu membuat dia kelihatan lucu, Leana ingin tertawa.

"Salah apa ya gue, Na? Amanda tu nggak biasa ngambek. " Zas menggaruk dahinya, cowok itu benar-benar kelihatan bingung.

"Lo kurang peka kali, Zas. "

"Ya kan kita emang nggak ada masalah apa-apa. "

"Tapi tadi pagi dia kelihatan marah, Zas. Kesel gitu, mungkin lo-nya buat salah tapi nggak sadar. "

"Plis ya, pacar gue bukan tipe cewek yang ngambek pake kode-kodean. "

Leana sering mendengar ini. Zas memuji Amanda, Zas membanggakan Amanda, Zas membela Amanda. Tapi anehnya perihnya tidak pernah berkurang meski sesering apapun dia mendengarnya.

"Ya berarti kalau gitu salah lo udah keterlaluan. "

"Iya kali ya. Ya udah deh ntar gue tanya dia." Zas menunduk, cowok itu menendang-nendang asal kerikil-kerikil kecil di parkiran.

"Lemah deh, Zas. Gitu aja sedih. Udah ntar juga kalau udah diomongin nggak marah lagi Amandanya." Leana mencoba memberi semangat, dia tidak suka melihat Zas dengan wajah ditekuk seperti itu. Manisnya hilang.

"Yee ngeledekin lagi. " Cowok itu menjawab kesal, satu tangannya menoyor Leana samar.

"Habisnya muka lo sepet. Udah jelek tambah jelek aja. Haha. " Leana tertawa, membalas Zas dengan mendorongnya.

"Emang ya, Na. Lo bisanya cuma ngeledekin gue. " Senyum Arghizas mengembang lagi, itu bikin Leana bahagia setengah mati.

"Ya udah yuk gue anterin pulang sekalian. " Zas menyerahkan helm padanya, kemudian tanpa menjawab apa-apa Leana naik ke boncengan belakangnya.

Sesederhana membuat Zas tertawa dia sudah bahagia, Leana ingin begini saja. Tidak apa-apa jika Zas tidak suka, yang penting Leana bisa terus ada di sampinya. Bisa terus melihat senyumnya yang selalu buat Leana jatuh cinta, lagi dan lagi.

AmigdalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang