Kamu berharga, meskipun aku belum tahu apa maknanya.
***
Hari ini sepi, mereka berkumpul tetapi saling berdiam diri. Ada jantung yang berdebar, ada kekhawatiran yang semakin muncul di permukaan."Anak-anak. " Semua kepala mendongak, mereka menatap gurunya itu dengan raut tidak sabar, tetapi juga bercampur ketidakinginan untuk mendengar. Pengumuman memang selalu mendebarkan bukan? Rasanya ingin segera menyaksikan, tapi hati tidak siap akan kekalahan.
Wanita paruh baya itu mengacungkan beberapa lembar kertas yang menyatu. Sudah pasti nama-nama yang lolos akan berada disitu. Amanda tidak ambil pusing, toh sebenarnya dia tidak begitu ingin. Berbeda lagi dengan mata antusias Arghizas, pacarnya itu luar biasa pias. Amanda hanya bisa menelan tawanya, gemas dengan betapa imut tingkah pacarnya. Yang terus mengedip-ngedipkan mata, yang dari tadi tidak berhenti merapalkan doa-doa. Katanya ini mimpinya, jujur Amanda tidak tahu kapan Arghizas punya ambisi perihal studi, ya meskipun ini astronomi. Ilmu yang sangat dia gemari.
Kertas itu diletakkan di meja. Arghizas maju, Leana juga. Reza hanya berdiam diri, antara tidak begitu peduli atau takut akan hasilnya sendiri. Lalu ada Fathan, adik kelas mereka yang tinggi menjulang. Dengan kelebihannya itu dia melengkungkan tubuhnya, mencoba mengintip untuk mengurangi rasa grogi. Padahal sama saja kan, sekarang ataupun nanti sedikit ataupun banyak mereka tetap akan melihatnya.
"Yash. " Itu Arghizas yang bersuara, tangannya mengepal ke udara. Amanda bisa melihat binar bahagia dari matanya, dia ikut bergembira.
"Zaaas. " Lalu Leana memandangnya, menunjukkan deratan namanya dalam secarik kertas itu. Mereka berpandangan sebelum melebur dalam tos yang heboh tak karuan. Cekikikan. Amanda hanya menggelengkan kepala, dengan tetap menjaga senyumnya. Dia sungguh ikut bahagia, tidak penting lagi namanya ada atau tidak.
***
"Manda, maaf ya." Menghela napas, Amanda membalik tubuhnya menghadap Arghizas. Mereka sedang berjalan di koridor sekolah, mau pulang. Tetapi Arghizas ini dari tadi bertingkah seperti anak kucing, tidak berjalan di sampingnya, ragu-ragu mengungkap kebahagiaanya.
"Zas, kalau nggak salah nggak usah minta maaf." Rasanya Amanda merapal kalimat ini seperti mantra, mantra untuk Zas yang tidak pernah patuh juga.
Cowok itu menggaruk lehernya, ada senyum yang tersungging. Itu canggung, Amanda ingin tertawa saja rasanya.
"Udah ya. Aku nggak papa."
"Gara-gara aku kamu nggak bisa lolos olimpiade kota. Padahal kan kalau di Matematika kamu pasti bisa."
"Itu cuma alasan yang dipakai sama pecundang, Zas." Amanda menjeda "Kalau aku emang bener-bener bisa harusnya nggak masalah apapun bidangnya." Dia tersenyum manis, menatap Zas dengan keteduhan yang tiada duanya.
"Lagipula aku juga nggak terlalu menginginkannya." Ucapnya final, ada keyakinan disana. Amanda tidak bohong, Zas tahu itu.
Ada suara dari belakang yang menginterupsi percakapan mereka. Anak kelas satu, Zas dapat menyimpulkan dari seragamnya yang masih kelihatan baru.
"Kak Amanda." Suaranya agak keras, dia sedikit berlari untuk menghampiri mereka, menghampiri Amanda lebih tepatnya.
"Aku Arjuna. " Cowok itu mengulurkan tangannya, disertai kerutan dari dahi Amanda. Tak urung dia menyambut tangan itu juga.
"Oh iya." Amanda tersenyum sopan, mengira-ngira ada perlu apa anak ini menemuinya.
"Aku anak Mat, Kak. Kata Bu Fio suruh ketemu Kak Manda. " Ah benar, gurunya sudah mengirim pesan padanya kemarin. Amanda diminta mengajar, atau setidaknya memberikan arahan referensi jika ada anak matematika sekolahnya yang lolos olimpiade kota, mengikuti jejaknya tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amigdala
RomanceKau adalah angin yang menyergapku dalam hening dan lama-lama menjadi dingin Kau juga adalah hujan yang turun dalam kenangan membuatku menggigil kedinginan