Cinta itu bukan cuma tentang mencintai, tapi juga merasa di cintai. Lantas masihkah aku merasakan dua kata terakhir? Nyatanya aku selalu berada di zona pertama. -Audrey
***
Kemarahan, kekesalan, kesalahpahaman. Terus saja seperti itu sampai salah satu ada yang terpaksa mengalah.
Aku selalu tidak mengerti jalan pikiran Davian. Dia selalu marah ketika aku mulai rewel dalam lingkup pertemanannya. Padahal, kerewelanku ada sebab dan alasan yang memang masih masuk akal.
Coba kalian pikirkan, dimana ada perempuan yang akan diam tenang saat tahu kekasihnya masih menjalin hubungan dekat dengan mantan pacar? Walaupun itu hanya sebatas sahabat.
Aku selalu berpendapat, jika tidak pernah ada hubungan persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang terjalin murni. Kalo tidak saling suka, maka salah satunya yang punya rasa.
Di lihat dari segi apapun, sudah jelas Clara masih suka pada lelaki itu, dan dengan bodohnya Davian masih bersikap tidak tahu."Mau kemana lagi? " tanyaku ketika melihat laki-laki itu keluar kelas setelah kelas terakhir berakhir.
Sore ini, aku sengaja menunggunya di depan kelas, setelah tahu jika akhir-akhir ini dia jarang sekali menemuiku dengan alasan terlalu sibuk kuliah.
Davian menoleh, memperhatikan diriku yang bersandar di dinding dekat pintu kelas dengan tangan kiri bersidekap sedangkan tangan kanan memegang ponsel.
Sorot mata yang di berikan lelaki itu terlihat dingin. Menghantarkan rasa kecewa dan tusukan perih di dada.
Bukan tatapan seperti itu yang aku harapkan setelah kami tidak bertemu selama hampir lima hari.
"Arah kelasku ke sebelah kiri, bukan ke sebelah kanan, " Sindirku keras.
"Aku mau pulang. "
"Wah... kebetulan banget kalo gitu, aku juga mau pulang! " seruku dengan mata berbinar seakan perkataan Davian adalah sebuah ajakan untuk pulang bersama.
"Aku masih ada urusan lain, " tukas Davian cepat.
Mata berbinar itu berubah dengan sorot curiga, bersamaan dengan sekali lagi hatiku merasakan tusukan dari namanya luka.
Aku berjalan mendekati Davian yang masih berdiri dengan angkuhnya. Sorot dingin di mata laki-laki itu tidak juga hilang bahkan ketika mataku memancarkan kekecewaan. Dia malah mengalihkan tatapannya begitu diriku berada di depannya.
"Urusan apa? Sebegitu pentingnya kah? Sebegitu sibuknya kah sampai kamu tidak ada waktu untuk sekadar membalas chat ku? Atau sebegitu nggak pentingnya aku kah hingga panggilanku pun kamu abaikan? " tanyaku dengan nada sinis. Kekesalan, marah, kecewa memupuk menjadi satu hingga pohon luka itu tumbuh begitu subur, terlebih rindu sepihak yang aku rasakan. Lantas di manakah hati Davian?
Begitu lelaki itu masih diam tanpa perubahan, aku memutuskan memperlihatkan bukti seberapa sering aku menghubunginya.
"158 pesan dan 75 panggilan. Apa kamu sadar itu? " tanyaku menyodorkan layar ponsel tepat di depannya, bahkan di depan matanya.
"Cuma orang nggak punya hati yang nggak peduli itu! " lanjutku hampir menjerit.
"Davian! " jeritku kesal karena Davian tidak juga mau menanggapi setiap kata-kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAVIAN
RomanceShort Story's Davian-Audrey. Sebagian sudah pernah di post di KCD, sebagian lagi baru di post. Cuma cerita singkat yang bisa di baca sekali duduk. Semoga suka... Jangan lupa Vote⭐ dan komen💬