Bagian 8

5.1K 298 7
                                    

Seberusaha apapun kamu bertahan, akan ada titik lelah ketika usahamu diabaikan. 

****

Aku tidak tahu menikah akan serumit ini.

Jika di awal aku berpikir semua akan berlalu dengan baik. 
Jika sebelumnya aku berpikir menikah akan semakin mempererat hubungan sepasang kekasih, maka aku salah. Setidaknya itu tidak terjadi pada hubunganku dan Davian.


Setahun menikah dengannya malah semakin menjauhkan hubungan kami.

Davian masih ingin bebas tapi waktu itu aku memaksanya untuk segera menikah. 
Aku tidak tahan melihatnya di kelilingi perempuan-perempuan pengagumnya.
A

ku cemburu, aku merasa sangat ketakutan jika dia berpaling, terlebih mantan pacarnya yang cantik masih berada di sekelilingnya. Jadi, di hari wisuda kami, aku memutuskan untuk melamarnya.


Katakan aku tidak tahu malu, tapi mau bagaimana lagi, aku terlalu mencintainya hingga begitu takut kehilangannya.

Aku memaksanya meninggalkan masa lajangnya, awalnya dia tidak mau, tapi aku terus memaksa.

Aku mengatakan bahwa aku hamil, yang tentu saja semua itu adalah sebuah kebohongan.

Davian tidak percaya tentu saja, karena kami tidak pernah sejauh itu. Tapi, ego membuatku tidak dapat mundur kembali.

Aku terus berbohong. 
Dan bersikeras kami pernah melakukannya sekali, tepat ketika dia mabuk beberapa bulan yang lalu.

"Aku hamil! " ucapku saat menemuinya di hari kami wisuda.

"Apa? "

"Aku hamil anak kamu, Dav. "

"Bohong! Kita belum pernah melakukannya, Audrey. "

"Pernah. Sekali. Waktu kita mabuk saat ulang tahun Dimas. Apa kamu lupa? " tanyaku berusaha semeyakinkan mungkin.

Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Jelas saja dia ingat pernah mabuk, namun tidak pernah ingat akhir dari mabuknya.

"Ayo kita menikah! "

"Apa kamu gila? Kita baru lulus kuliah. Dan aku masih ingin bekerja terlebih dahulu. "

Amarah kecemburuan mengusikku. 
"Alasan! Bilang saja kamu tidak pernah berniat menikahiku kan? Kamu masih belum bisa melupakan perempuan itu kan? " Emosiku tidak dapat ku kendalikan lagi.
D

an respont Davian yang langsung pergi begitu saja semakin membuatku yakin dengan dugaanku.


Dengan kenekatan di luar batas aku akhirnya menemui keluarganya, mengatakan kehamilanku.

"Om, Tante. Aku hamil anak Davian, " ucapku dengan tangis pura-pura dan wajah yang meyakinkan.

Dan itu cukup membuat kegemparan.

Ayah Davian bahkan memukul lelaki itu karena sudah menodai anak gadis orang dan berpikir putranya itu berniat lari dari tanggung jawab.
D

DAVIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang