Bagian 4

4.4K 292 12
                                    

Ada banyak cara untuk bahagia. Salah satunya adalah melihat orang yang kau sayang bahagia.

Namun apa gunanya jika dirimu sendiri malah terluka?

***

Davian membawaku ke ruang kesehatan. Lelaki itu sempat menoleh dengan raut mengingatkan ketika dokter jaga memintanya keluar. 
Dia memintaku untuk segera keluar jika sudah selesai, terlebih ternyata dokter yang sedang berjaga itu ternyata berjenis kelamin laki-laki.

Aku tersenyum tipis dan langsung mengiyakan tanpa banyak berdebat. Padahal ketika lelaki itu pergi, aku menolak untuk di obati dan memilih mengobatinya sendiri.

Setelah selesai membalut luka dengan perban, aku berjalan keluar ruang kesehatan. 

Davian sudah menunggu dengan pakaian yang telah berganti. Kemeja panjang hitam dengan motif kotak-kotak membalut tubuh kekarnya. Dengan lengan yang sengaja di gulung hingga siku, memperlihatkan otot tangannya yang juga kekar. Lelaki itu menyempurnakan penampilannya dengan celana jeans hitam, menempel pas di kakinya yang panjang. Benar-benar menarik kaum wanita untuk meliriknya lebih dari sekali. Termasuk aku. 
Dan di tangan lelaki itu terdapat paper bag dari merk pakaian terkenal.

Aku tersenyum begitu Davian menyerahkan paper bag itu padaku. Walau sikapnya menyebalkan tapi lelaki itu masih punya sedikit perhatian.

"Makasih. " Aku menerimanya dengan senang hati.

Senyum tipis yang jarang terlihat itu terukir manis di bibir Davian. Semakin menambah kesempurnaan wajah rupawannya.

"Aku tidak tahu ukuran bajumu, makanya aku cuma menebak-nebak. Semoga pas, karena aku nggak mungkin menyuruh Pak Tedy untuk membelikannya lagi, " ucap Davian.

Pak Tedy adalah supir pribadi keluarga Davian, dan orang yang selalu siap siaga jika lelaki itu membutuhkan bantuan.

"Cepat ganti pakaian kamu! " perintahnya begitu aku masih terdiam, memandangi kekasihku itu dengan senyum berseri.

Bibirku merengut kesal. "Nggak usah bentak-bentak juga bisa, kan? Nyebelin banget. "

Sebuah kecupan sekilas di bibirku membuat aku kaget dan terdiam. Davian tersenyum lebih lebar begitu menyadari pipiku memerah akibat ulahnya.

Otak warasku langsung tersadar, dan dengan panik melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan kejadian tadi tidak menjadi perhatian orang-orang.

Davian merangkulku, membawaku ke pelukannya. 
"Kenapa malu? Biasanya kamu malu-malu-in kan? " tanyanya dan berhasil mendapat cubitan dariku di pinggang.

"Jahat banget! "

"Jahat begini pun kamu cinta, bagaimana kalau aku baik banget. "

"Tahu, ah. " Aku kembali cemberut, namun hatiku sebaliknya. 
Aku merindukan saat-saat seperti ini, aku merindukan pelukan hangat ini, dimana karena ini lah aku merasa di sayangi.

Aku membalas pelukan Davian, dan semakin membenamkan wajah di dadanya. Suara detak jantung lelaki itu terdengar kencang, bagai hentakan melody yang menenangkan.

"Kangen... " bisikku lirih.

"Sama. Tapi, sekarang lebih baik kamu ganti baju dulu. Aku benci ketika kamu mengujiku dengan berani berpakaian seperti ini. "

DAVIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang