MENGALUN lembut senandungnya sambil menuliskan kata demi kata di sebuah platform kepenulisan. Dirinya menganggap punya profesi sebagai penulis berkomitmen untuk menerbitkan setiap bagian dari novel-novelnya sehari sekali. Ditemani lagu pop, nuansa yang berbeda dari sosok penulis pada umumnya, diam, tenang dan hening.
Di pertengahan, ia rehat sejenak. Tidak mau terlalu berpatok untuk selesai secara cepat, karena hal itu malah menyakiti otaknya.
Menuju aplikasi lain, gadis itu berniat memperbarui statusnya di sosial media. Ia mempersiapkan diri kala ponsel mulai menampilkan wajahnya, seketika saat menemukan filter yang mumpuni, Jovita tersenyum lebar.
Ia menuliskan keterangan yang sekiranya membangkitkan animo untuk kembali melanjutkan aktivitas. Lantas ketika semua sesuai ekspektasi, kembali dirinya pada realita untuk menyelesaikan apa yang sudah ditulisnya sejak awal. Kini, ia terfokus untuk meneruskan seri dwilogi. Ada jutaan ide yang mengambang di benaknya, harus segera dieksekusi agar tidak melayang pergi.
Baru juga memulai kembali, tiba-tiba ponselnya menampilkan panggilan dari nomor sahabatnya.
"Halo?"
"Jo, lagi sibuk?"
"Nggak, kenapa emang?"
"Temenin aku hari ini, yuk. Mata kuliah Pak Angga nanti disuruh bawa buku Pengantar Ilmu Hukum."
"Mau ke toko buku?"
"Iya, Jo, bisa? Kita nggak berdua aja, kok, aku juga udah ajak Erna, nanti baliknya kita nongkrong di Sempur."
"Ayo, aku siap-siap dulu, ya. Kalian bawa motor?"
"Bawa, nanti kamu kita jemput, ya."
"Oke, Ra."
Segera setelah panggilan terputus, ia menyudahi pekerjaannya pada hari itu. Jovita--namanya--langsung bersiap karena perkiraannya Tara dan Erna akan segera tiba.
Akhirnya, setelah sekian lama ia bisa menghirup aroma buku lagi. Gadis itu menganggap segala hal berbau sastra merupakan adiksi yang sangat kuat. Tidak secara ilmunya atau bentukannya. Dia sampai rela pergi ke pusat sastra demi meraup banyak pengetahuan dari titiknya.
Pernah merangkum rencana hidupnya setelah tamat SMA, ia teringin sekali melestarikan budaya Indonesia yang satu ini. Tapi apa daya, di antara yang lain sahabatnya, hanya Jovita yang tidak mampu kuliah. Bukannya apa, sudah menjalani tes masuk perguruan negeri, ia tidak lolos seleksi. Giliran ditawarkan kedua orang tuanya untuk kuliah swasta, gadis itu menolak. Baginya, sudah cukup membebani ayah dan bundanya.
Sebuah keputusan yang tidak pernah dirinya pikirkan, Jovita malah memberanikan diri untuk melamar kerja. Tidak yang posisinya bagus, hanya sebagai karyawan di salah satu toko baju.
Walau begitu, baginya gaji perbulan sudah cukup untuk memberikan apa yang pernah orang tua kasih. Ia berharap, saat ini mungkin Jovita belum menjadi apa-apa dan jauh dari kata sukses dibanding teman seusianya yang menuntut ilmu demi kejayaan nyata, tapi ia yakin Tuhan sudah mempunyai rencana terindah yang hanya dituliskan untuknya.
Jovita tahu, Tuhan menyayangi makhluk ciptaanNya.
***
Tawa menyeruak di antara ketiganya. Erna memang paling bisa membangun suasana positif dengan segala kehumorisannya. Jovita sampai tidak tahan, memegang perut saking terlalu banyak tertawa.
Mereka sedang duduk melingkar di salah satu kedai minuman di dalam mal. Seusai menemani Tara membeli buku Ilmu Pengantar Hukum dan Jovita menyelesaikan kerinduannya dengan buku-buku di rak toko, mereka memutuskan rehat sejenak sebelum pulang sembari bersenda gurau tentang apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Razbliuto (ON-GO)
RomanceJovita di masa lalu berpikir bisa menikah dengan Sakuta dan menjalani kehidupan rumah tangga bahagia tanpa drama meski selalu saja lara menyapa dalam menggapai sang pria. Sakuta di masa depan berpikir bisa memperbaiki kusutnya hubungan ia denga...