Siapa yang Sebenarnya Sedang Berkhayal, Kawanku?

45 2 0
                                    

Jendela malam ini basah diguyur air hujan. Embun menyamarkan apa yang bisa kulihat di luar jendela. Kucoba menggosok kacanya tapi embun yang hilang tidak menghentikan hujan menghalangi pandanganku. Sentuhan hangat di bahuku sedikit menyentak. "Apa yang kau lihat?" aku hanya menggeleng, tidak yakin.

Di cuaca yang dingin ini, aku ingin berbaring di ranjangku yang hangat. Memeluk istriku seperti biasa dan tertidur lelap. Mungkin aku bisa mimpi indah. Istriku tak perlu bangun dan menemuiku asyik memandangi jendela, mencari sosokmu.

Bukan hanya dari jendela, dirimu kadang kutemui mengintip dari sela-sela ventilasi udara. Kau coba mengusirku dari cermin saat aku hendak memakai kamar mandi. Lalu kau memancingku agar menangkapmu di taman luas belakang rumah saat aku sedang menikmati teh hangat buatan istriku. Pesonamu sangat kuat, sampai malam ini kau buat aku terjaga mengintai keberadaanmu.

"Masih tak bisa tidur?" Istilah sederhana istriku menggambarkan dirimu. "Sudah tiga hari berturut-turut. Kau harus berhenti." Andai semudah itu berhenti menghiraukan hidupmu yang seratus delapan puluh derajat berputar dibuatnya. Ah, lagi-lagi aku hanya memikirkan hidupku sendiri. Bukan hidupnya atau hidupmu yang mungkin sudah aku hancurkan berkat ketidaktahuanku. Mungkin? Ketidaktahuan? Ataukah aku yang acuh tak acuh? Yang mana saja tidak mengubah apa yang telah terjadi. Tapi mengapa kau tetap berada di sini, istriku?

"Memang kenapa? Kita saling mencintai." Matamu tajam menatapku. Tapi wajahku kubiarkan mengarah ke rembesan air hujan yang makin deras. Di kala itu jika hujan, bukan bersamamu, istriku, aku berteduh. Melainkan dia yang selalu tertawa betapa pun sulit kondisinya. Dia tak pernah marah ketika aku ingin pergi dan dekat denganmu. Dia selalu di sana menanti untuk menyambut kedatanganku. Dia juga selalu memercayai hal-hal yang kuucapkan tanpa berusaha membantah. Kira-kira begitulah ketulusannya. Tak pernah meminta lebih.

"Aku tak pantas. Aku telah membuatnya yakin dengan omong kosongku." "Omong kosong mana yang kau maksud?" Aku tak menjawab. Ini bukan hal yang bisa kubagi terutama denganmu, istriku. Biarkan aku menyimpan hal ini sendirian. Jadi kau tidurlah yang nyenyak dan hiraukan aku.

Saat istriku berpaling, barulah kulihat dirimu. Berdiri di tengah hujan menatap lurus ke arahku. Kau tidak murung tidak juga tersenyum. Hanya diam. Mengamati. Mengulangi hal yang biasa kau lakukan dulu. Selalu berada di antara aku dan dia untuk merasakan hal yang sama, namun tak berkesempatan melakukan hal yang sama. Kau diam.

Aku rasa kau tidak pernah membenciku karena kau orang yang baik. Tapi akulah yang terlalu pengecut membiarkanmu tak bisa memilih untuk tidak membenciku. Aku tak pernah terlalu peduli untuk tahu kebenaran yang kau sembunyikan. Karena kau diam.

Sebulan yang lalu keadaan masih sama dengan aku yang menikmati keseharianku tanpa memerhatikan maksudmu. Berkali-kali kau datang ke tempatku dan mengobrol dengan istriku. Kau tertawa, kau bahagia. Mungkin menikmati saat terakhir dalam hidupmu sebelum kembali ke kenyataan, sadar bahwa semuanya sudah terlambat. Di hari terakhir kau berkunjung kau ungkapkan maksudmu. Bagiku yang mendengar ucapanmu, kau layaknya anak kecil bercerita tentang dongeng yang dibacanya sendiri lalu dihadapkan pada orang tua realis mengatakan semua itu hanyalah khayalan. Seperti itulah kau, selalu menjadi anak kecil yang mudah percaya dan aku sebagai orang tua yang menghancurkan kepercayaan itu.

Aku yang tidak mengerti harus bagaimana haruslah menjadi penyebab kau yang tidak pernah kembali. Kau pergi entah ke mana menyisakan aku yang kebingungan. Aku rindu padamu. Semakin aku memikirkan saat-saat bersamamu, semakin aku merasakan sedalam apa luka yang kau pendam selama ini. Meskupun tak pernah menyentuh barang kulitnya saja. Sudah tentu itu semua tidak menjadi alasan kau akan kembali.

Di tengah kebingungan yang melandaku, kau datang mengejutkanku. Tiba-tiba kau yang jauh menjadi dekat tak terkendali. Kau mengawasiku dari semua sudut yang bisa kau tempati. Kau tak pernah biarkan aku merasa tenang. Pada dasarnya kau ingin aku tetap bergelut dengan kebingunganku karena kau hanya diam.

Sekarang aku justru semakin bingung menghadapimu. Perasaanku campur aduk. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Apa kau beralih menjadi kecewa padaku karena aku bahagia bersamanya sedangkan kau menderita sendirian?

Tak bisa kugambarkan bagaimana menyesalnya aku saat ini atau entah saat aku mulai menyadarinya. Kaulah yang terbaik. Saat ini tak seharusnya aku berada bersama istriku. Kilat mengagetkan tanganku yang segera menutup tirai jendela. Aku rasa itu akhir dari semua kegalauan untuk malam ini. Kubiarkan semuanya buyar untuk sementara. Kau tidak akan kulupakan.

Pagi cerah yang kuharapkan berujung gemuruh ribut alarm kedatanganmu. Kau berdiri tepat menempel pada dipan kasur yang kutiduri. Kali ini matamu merah. Wajahmu murka melihatku tertidur mengabaikanmu. Tanganmu sedingin es sergap menyekik leherku yang barusan nyaman bersandar bantal empuk. Tubuhku berontak berusaha melepaskan pegangan sedingin es yang menempel di sumber suaraku. Suaraku melengking tercekat jemarimu yang kian kuat menyengkeram menunjukkan kini kau makhluk beremosi sebagaimana pada umumnya.

Dalam berontakku yang percuma, mempertahankan sisa-sisa hidup dalam tenggorokan, aku sudah mengakhiri semuanya. Sejak kutahu kenyataannya, sejak itu pula aku telah bimbang untuk meluruskan keadaan sebagaimana seharusnya terjadi. Maka kini bila aku pergi dengan cara ini aku pun tak masalah. Meski bukan ini cara yang pernah aku pikirkan untuk meninggalkanmu, istriku. Aku pasrah.

***

Akan tetapi pagi yang cerah itu tiba. Tiada gemuruh, tiada pula hujan. Aku berada di ranjang yang berbeda dari tempat kau menemuiku. Bau-bauan alkohol dan obat-obatan di sekitar ruangan membuatku paham seseorang telah merebutku secara paksa dari cengkeramanmu. Ialah perempuan cantik yang matanya berbinar diterangi sinar matahari yang mengintip melalui jendela. Bibirnya lembut sembari berucap,

"Dia pergi karena kemauannya sendiri, bukan karenamu."

Ah, andai kau tahu dongeng yang Ia ceritakan sebelum kepergiannya untuk selamanya dari muka bumi ini. Akan betapa cantiknya bidadari di hadapanku ini dan betapa berharga senyum dan cintanya untuk kami berdua. Kau tak akan mengatakan itu. Aku tidak pantas melangkahi sahabat yang cintanya tak terukur dalamnya sebab diam yang Ia buat, menjadi rahasia kemalangan yang mengantarnya pergi meninggalkan dunia. Sekali lagi akan kuingat, akulah orang dengan omong kosong yang menghancurkan dongeng indah miliknya itu.


4 April 2020 s.d. 12 Mei 2020
DJMandalika

Angan dalam Mimpi (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang