Chapter 1: Sebuah Surat

983 97 10
                                    

Busan, Korea Selatan, 16 Januari  2020

Seorang remaja tanggung duduk dengan gelisah di kursinya. Tangannya berkeringat, tubuhnya yang kurus memeluk erat tas ransel hitam miliknya. Ia terus saja menggerak-gerakkan kakinya sambil menggigiti bibir bawahnya dengan perasaan tak enak.

Deru mesin yang menggebu-gebu semakin membuatnya gelisah. Ah, tidak. Sejujurnya, dia panik. Dia baru saja mengambil keputusan paling bodoh yang pernah ia buat sepanjang 17 tahun hidupnya, setidaknya itulah yang ia rasakan saat ini.

Namanya Jaemin. Na Jaemin.

Untuk saat ini, yang paling ingin dilakukannya adalah kembali ke waktu 5 jam yang lalu, ketika dengan sembrono ia menaiki kereta bertuliskan "Auxil Academy".

Ya. Sebuah akademi, jelas dari namanya. Namun, Jaemin sama sekali tidak memiliki ide tentang tempat apa yang sedang ditujunya saat ini.

Ia sudah berusaha mencari tahu tentang akademi ini, mulai dari mencarinya di mesin pencarian google, hingga bertanya ke orang-orang. Nihil. Tidak ada satupun informasi yang didapatkannya. 

Kenekatannya ini berawal dari sebuah surat yang didapatnya satu minggu yang lalu. Di atas surat itu jelas tertulis nama lengkap Jaemin, maka ia tahu pasti bahwa surat itu jelas untuknya. Isi suratnya singkat,

“Datanglah.

Auxil Academy selalu terbuka lebar untukmu.

Datang, dan temukan jati dirimu.”

Terlampir juga sebuat tiket kereta bertanggal 16 Januari 2020 bersama surat itu. Tanpa nama dan tanpa alamat pengirim. Benar-benar surat yang aneh bukan?

Sayangnya, Jaemin terlanjur mengikuti instruksi dari surat ‘aneh’ tersebut. Ya, sudah jelas sekali maksud dari surat tersebut agar Jaemin berangkat menuju akademi pada tanggal 16 Januari 2020.

Sebenarnya, Jaemin tidak tahu pasti apa yang mempengaruhi pikirannya sehingga kakinya terasa sangat ringan untuk berangkat menuju stasiun pagi tadi.

Seingatnya, sampai kemarin sore ia masih mempertanyakan tentang kebenaran surat misterius itu. Jaemin tidak bodoh, tentu saja. Nalurinya jelas menolak untuk memenuhi undangan itu, namun pagi tadi, pikirannya sedang kalut. Ia bertengkar hebat dengan ayahnya. Ayahnya lagi-lagi membawa seorang wanita –yang entah siapa, ke rumah. Jaemin juga mendapati ternyata ayahnya lah yang membawa kabur uang dan menghabiskan tabungannya yang sudah susah payah ia kumpulan sejak dua tahun lalu.

Jaemin marah, sangat marah. Tanpa pikir panjang ia mengambil ransel hitamnya, lalu menaruh paksa beberapa helai pakaian serta kebutuhan lainnya. Ia pergi. Langkah kakinya tanpa sadar membawanya ke stasiun. Ya, ternyata amarah lah yang membuatnya dengan sembrono mengambil keputusan ini.

Na Jaemin, bodoh!!! 

Rutuknya dalam hati. Bisa-bisanya amarah membuat pikirannya dangkal. Kini ia hanya bisa terduduk pasrah di kursinya.

Matanya menerawang keluar jendela. Hijau. Hanya ada warna hijau yang mendominasi. Bahkan tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan di sekitar sini. Instingnya mengatakan ia mulai memasuki kawasan hutan yang lebih lebat. Terdengar juga suara gemerincing air yang sepertinya berasal dari air terjun. Jika suaranya terdengar sekencang ini, pastilah ada aliran air terjun deras tak jauh dari lintasan kereta api ini.

 Jika suaranya terdengar sekencang ini, pastilah ada aliran air terjun deras tak jauh dari lintasan kereta api ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/jalur kereta api menuju akademi/

Jaemin heran dengan kenyataan bahwa ada lintasan kereta api di dalam hutan seperti ini. Padahal lima jam yang lalu ia masih berada di salah satu stasiun yang ada di kota Busan. Kini, kereta api ini telah membawanya ke antah berantah. 

Kemana sebenarnya kereta ini akan membawanya? Dimana sebenarnya letak Auxil Academy itu? Kenapa harus melewati hutan rimba seperti ini?

Belum lagi ia benar-benar sendirian di dalam kereta ini. Padahal awalnya Jaemin mengira akan ada banyak penumpang yang menaiki kereta ini. Tapi ia salah, kereta ini benar-benar hanya mengangkut dirinya seorang.

Yah, apalah yang harus diharapkannya dari secarik surat tanpa nama pengirim, serta sebuah akademi yang entah benar-benar ada atau hanya fiksi belaka. Mungkin saja banyak orang lain yang menerima surat sepertinya, namun tidak cukup bodoh untuk mempercayai surat tersebut.

Berbagai spekulasi mulai bergentayangan di kepalanya. 

Bagaimana jika ini hanya modus penipuan? Jangan-jangan dia diculik?

Ah, tapi untuk apa juga mereka menculik Jaemin? Jaemin sama sekali bukan orang kaya. Lagipula mana mau ayahnya memberi uang tebusan, jelas-jelas ayahnya tidak peduli sama sekali padanya, yang ada ayahnya malah bersyukur karena si tukang onar satu ini hilang dari hidupnya.

Atau jangan-jangan dia diculik lalu dijadikan objek penelitian? Untuk menemukan obat-obatan? Atau untuk mengembangkan virus baru demi kepentingan militer? Dibedah kepalanya, dikeluarkan isi otaknya.

Arrrghhh! Oke, stop! Sepertinya Jaemin terlalu banyak membaca novel bergenre science-fiction.

Sedari tadi, ia tergoda sekali untuk menelusuri gerbong kereta ini hingga sampai ke kursi masinis, ingin segera menumpahkan segala pertanyaan yang memberatkan kepalanya kepada si masinis.

Alih-alih, ia malah mengencangkan seat-beltnya. Lebih memilih duduk diam hingga sampai ke tujuan, dienyahkannya segala macam pemikiran buruknya. Siapa tahu ini tidak seburuk yang dibayangkannya. Siapa tahu akademi ini adalah tempat yang tepat untuknya.

Toh, ini sudah jadi pilihannya sendiri. Walaupun sebenarnya pilihan ini patut dipertanyakan, karena pilihan ini adalah pilihan terakhir yang ia putuskan dalam suasana hati yang amburadul, dan keadaan otak yang sedang kacau balau.

****

****

****

Seorang anak berperawakan tinggi kurus terperangah ketika mendengar suara samar mesin yang berasal dari kereta di kejauhan. Ia yang tadinya hanya duduk santai sambil terkantuk-kantuk di pos jaga, kini menegang.

Pupilnya membesar sembari menajamkan pendengarannya, perlahan ia membetulkan posisi duduknya, menatap sumber suara dengan khidmat.

Ia bertanya-tanya apakah ini hanya khayalannya saja? namun tidak, gema samar tadi perlahan-lahan terdengar lebih nyata, semakin mendekat dengan suara bising khas mesin, disusul peluit yang berbunyi ketika kereta menampakkan diri di belokan.

Anak itu hampir terlonjak dari kursinya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kereta datang. Dengan panik ia menekan sesuatu di pergelangan tangannya, mendekatkan ke mulutnya, lalu dengan buru-buru menyampaikan pesan

"Kereta datang, bersiaplah."

***

***

***

The Academy - NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang