F o u r

1.6K 182 2
                                    

═════════════════
𝐖𝐡𝐢𝐭𝐞 𝐟𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫
═════════════════


Kedua mata itu terpejam dengan erat, kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jari memutih. Bersikap pasrah layaknya hewan yang hendak disembelih ketika alat untuk bertahan hidup telah terhempas sangat jauh dari genggaman tangan.

Punggung terasa mati rasa, ujung rambut yang basah oleh keringat mulai membeku layaknya kristal. Tomioka Giyuu dikepung oleh dua musuh sekaligus. Formasi mereka sangat bagus, dan karena hal itulah Giyuu terpojok.

Mereka berasal dari tubuh yang sama. Sang pengendali mengatur mereka menjadi sedemikian rupa sehingga Giyuu benar-benar terpojokan. Sangat hebat, ia mengakuinya.

Sesaat rasa dingin menyentuh permukaan kulit leher, rasa perih menyusul tidak lama kemudian. Dengan wajah yang pias diiringi napas yang tercekat, Giyuu memejamkan mata.

Apakah ini akhir dari hidupku? Batinya bertanya dengan kepiluan yang melarakan hati. Mungkin perjuangan untuk bertahan hidup telah cukup sampai di sini saja.

Giyuu—pria yang sangat payah. Pria memiliki tekad bertahan hidup yang rendah dan pria yang memiliki nafsu birahi yang tinggi. Seharusnya jenis yang semacam ini telah musnah sejak dulu 'kan?

Raga telah siap untuk mendapatkan luka lebih lanjut. Namun apa yang ia tunggu tak kunjung menerpa. Kelopak mata itu terbuka secara perlahan, mengintip situasi yang terasa sangat janggal.

Mendapati ketiadaan bocah es itu membuat Giyuu membuka kedua matanya lebar-lebar. Dihadapannya tidak ada tanda-tanda keberadaan bocah itu. Ia mengerling rendah melalui pundaknya. Melihat situasi yang berada dibelakangnya tanpa perlu menoleh dengan sempurna.

Lagi, patung Bodhisattva raksasa itu juga menghilang—ah, tidak. Patung itu hancur dengan sendirinya. Sama seperti patung bocah itu yang hancur tepat dihadapan Giyuu.

“Apakah (Y/n) berhasil mengalahkan tubuh utamanya?” ujarnya penuh harap. Semoga saja benar, semoga saja—takkan ada korban lagi.

Tapi mengapa jauh didalam lubuk hatinya terasa sakit—sesak yang tidak di mengerti. Hal itu menyebabkan air menumpuk di sudut matanya.

◆◇◆◇◆◇◆◇

Seseorang pernah mengatakan kepada (Y/n) ketika orang yang hendak mati akan memutarkan kembali kilasan semasa hidupnya. Hal itu berupaya untuk menguatkan tekat orang tersebut untuk bertahan hidup meskipun tingkat keberhasilan dapat dinyatakan mustahil.

Ya, sekarang ini (Y/n) merasakan itu semua. Ia duduk di hamparan kosong berwarna hitam, ia menyaksikan seluruh ingatannya. Dari yang paling manis—hingga yang paling pahit.

Bahkan keinginan terbesarnya yang belum tercapai pun ikut terputar, seolah menghibur detik demi detik dimana sang maut mulai menjumpainya.

Ia tidak tahu saat ini berada di mana semuanya tampak abu-abu. Lidah tak mampu untuk bersua, seluruh anggota tubuhnya tak mampu untuk melakukan hal yang dikehendaki. Sosoknya hanya terdiam membisu untuk menyaksikan saja.

Menyaksikan betapa kejamnya sang Pencipta mempermainkannya dengan menampilkan impian penuh dusta di depan mata. Relung dadanya begitu sesak tak tertahan, kebohongan ini hanya semakin membuatnya merasa bersalah, tampilan yang (Y/n) lihat tentang betapa ringkihnya tubuh individu yang baru terlahir di dunia yang fana. Jemarinya menggendong tubuh itu dengan amat hati-hati. Lalu, ada tangan lain yang meremat lembut telapak tangannya.

Gambar bergulir menelusuri panjang lengan tersebut, dan tampaklah wajah seorang pria yang tersenyum penuh kebahagiaan. Sudut matanya terlihat berair. Bibir itu berkata tanpa suara. Meski begitu, (Y/n) teramat paham kalimat apa yang terlontar.

𝐒𝐋𝐎𝐖 𝐃𝐀𝐍𝐂𝐈𝐍𝐆 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐃𝐀𝐑𝐊 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang